Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

17 Tahun Mengabdi, Guru di Wilayah Terpencil Lotim ini Masih Honorer

Abiba saat mengajar di dalam kelas Satap 1 Keruak (IDN Times/Istimewa)

Lombok Timur, IDN Times – Mengabdikan diri untuk mencerdaskan anak bangsa yang tinggal di daerah terpencil ternyata tidak menjamin perhatian lebih dari pemerintah. Hal ini dialami oleh Abiba, seorang guru honorer yang mengajar di Sekolah Satu Atap (Satap) 1 Keruak, Gili Maringkik, Kabupaten Lombok Timur (Lotim), Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB).

Abiba telah mengabdikan dirinya mendidik anak-anak di wilayah terluar Lotim selama 17 tahun, sejak 2008. Namun, pengabdiannya belum mendapatkan apresiasi yang layak dari pemerintah. Hingga saat ini, harapannya untuk diangkat menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) belum terwujud.

1. Berjuang dalam kondisi terbatas

Guru Satap 1 Keruak saat menyeberangi laut (IDN Times/Istimewa)

Gili Maringkik adalah desa terluar di Lombok Timur yang hanya dapat diakses menggunakan perahu. Perjalanan menuju pulau ini membutuhkan waktu sekitar 30 menit dari Pelabuhan Nelayan Desa Tanjung Luar, Kecamatan Keruak. Setiap pagi, Abiba memulai rutinitas mengajarnya dengan menyeberangi lautan. Di sekolah, ia mengajar mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) untuk siswa kelas 7, 8, dan 9 SMP.

Sejak awal mengajar, Abiba hanya menerima honor sebesar Rp 150.000 setiap tiga bulan. Baru pada 2019, setelah mendapatkan Surat Perjanjian Kerja (SPK), honornya naik menjadi Rp 350.000 per bulan. Pada 2020, dengan status Kontrak Kerja (KK), penghasilannya meningkat menjadi Rp 550.000 per bulan. Terakhir, pada 2022, dengan Surat Perjanjian Kerja (PK), ia menerima Rp 650.000 per bulan.

"Jumlah itu tentu tidak cukup untuk kebutuhan sehari-hari, apalagi saya harus membiayai dua anak. Bahkan untuk biaya transportasi bolak-balik pun tidak mencukupi," keluh Abiba.

Pada 2013, Abiba menikah dan tinggal di Desa Bujak, Lombok Tengah. Selama empat tahun, ia harus bolak-balik dari Bujak ke Gili Maringkik demi menjalankan tugasnya sebagai pendidik. Meski menghadapi banyak tantangan, ia tetap bertahan dengan harapan diangkat menjadi ASN.

Namun, hingga kini, perjuangannya belum membuahkan hasil. Abiba telah mengikuti seleksi PNS sebanyak tiga kali, bahkan mencoba di Kabupaten Lombok Utara (KLU), tetapi tidak lolos. Ia juga sudah dua kali mengikuti seleksi PPPK, tetapi tetap gagal bersaing dengan guru-guru honorer yang lebih muda.

"Kami yang sudah mengabdi lama seharusnya mendapat prioritas untuk diangkat tanpa tes. Jika harus mengikuti seleksi, kami kalah bersaing dengan yang lebih muda dan masih segar dalam menghadapi ujian," ujarnya.

2. Belajar mengandalkan alam karena fasilitas minim

Abiba saat membimbing anak didiknya (IDN Times/Istimewa)

Kondisi di Sekolah Satu Atap (Satap) Keruak jauh dari kata ideal. Sekolah ini hanya memiliki dua guru PNS dan tiga guru berstatus PPPK, sedangkan sisanya masih berstatus honorer. Fasilitas sekolah sangat terbatas.

Sekolah hanya memiliki perpustakaan dan laboratorium, yang bahkan harus digunakan bersama karena jumlah ruang kelas tidak mencukupi. Sebelum listrik masuk, penerangan di sekolah hanya tersedia dari pukul 18.00 hingga 06.00 WITA. Kini, meskipun listrik lebih stabil, media pembelajaran masih sangat terbatas.

"Kami harus memanfaatkan alam sebagai media pembelajaran. Lokasi sekolah yang dekat dengan laut menjadi keuntungan tersendiri, tetapi tantangan seperti angin kencang tetap kami hadapi setiap hari," katanya.

3. Berharap di prioritaskan jadi PPPK

Guru Honorer Satap 1 Keruak Abiba (IDN Times/Istimewa)

Abiba dan para guru honorer lainnya berharap pemerintah lebih memperhatikan nasib mereka. Mereka ingin mendapatkan pengakuan atas pengabdian yang telah berlangsung belasan tahun.

Di tengah keterbatasan, guru-guru honorer di daerah terpencil seperti Abiba tetap berjuang mendidik generasi muda. Mereka berharap suatu saat pemerintah memberikan kebijakan yang lebih adil bagi mereka yang telah lama mengabdi demi pendidikan di pelosok negeri.

"Kami ingin diangkat menjadi ASN, minimal PPPK, tanpa harus melalui tes lagi. Kami sudah lama mengabdi, tetapi justru yang baru masuk langsung bisa jadi PPPK. Kami ingin merasakan hasil jerih payah kami," pungkasnya.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Linggauni
Ruhaili
Linggauni
EditorLinggauni
Ruhaili
EditorRuhaili
Follow Us