Fenomena Gunung Es Kasus Kekerasan di Kampus, Satgas PPKPT di Mana?

Kasus kekerasan di lingkungan kampus bisa jadi bom waktu jika tidak ditangani dengan serius dan profesional. Salah satu contoh yang belakangan jadi sorotan publik adalah kasus kematian Timothy Anugerah Saputra, mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Udayana.
Timothy ditemukan meninggal dunia setelah diduga bunuh diri di area kampus. Tak lama setelah kabar itu mencuat, tangkapan layar percakapan WhatsApp berisi ejekan dan komentar kejam tentang kematiannya beredar luas di media sosial. Meski kepolisian menyatakan kematian Timothy bukan akibat perundungan, reaksi publik tetap memuncak. Bukan hanya karena rasa kehilangan, tapi juga karena munculnya pertanyaan besar: seberapa aman sebenarnya lingkungan kampus bagi mahasiswanya?.
Peristiwa ini membuka tabir lemahnya sistem pencegahan dan penanganan kekerasan di perguruan tinggi. Padahal, pemerintah sudah mengatur hal ini melalui Permendikbudristek Nomor 55 Tahun 2024 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Perguruan Tinggi (PPKPT). Regulasi itu mewajibkan setiap kampus, baik negeri maupun swasta, membentuk Satuan Tugas (Satgas) PPKPT untuk mencegah dan menindak kasus kekerasan.
Secara ideal, Satgas PPKPT berperan sebagai garda terdepan dalam menciptakan kampus yang aman, bebas dari kekerasan fisik, verbal, maupun psikologis. Mereka seharusnya menjadi tempat pertama yang dituju mahasiswa ketika mengalami atau menyaksikan kekerasan.
Namun realitanya, banyak mahasiswa bahkan tak tahu kalau Satgas itu ada. Sosialisasi minim, mekanisme pelaporan tidak jelas, dan tindak lanjut sering kali tak transparan. Akibatnya, keberadaan Satgas PPKPT kerap hanya terdengar di atas kertas alias formalitas administratif semata agar kampus terlihat patuh pada regulasi.
Di tengah meningkatnya kasus perundungan, pelecehan, hingga kekerasan berbasis relasi kuasa di dunia akademik, pertanyaannya kini mengemuka: apakah Satgas Antikekerasan benar-benar bekerja melindungi mahasiswa, atau sekadar simbol kepatuhan birokrasi tanpa taring?.
Penafian: Artikel ini memuat informasi mengenai kekerasan di lingkungan kampus yang mungkin memicu ketidaknyamanan. Harap membaca dengan bijak, terutama bagi penyintas atau pihak yang memiliki pengalaman serupa.
1. Kasus kekerasan di kampus menjadi fenomena gunung es

Dalam keterangan resminya pada 24 April 2025, Komnas Perempuan mencatat kekerasan terhadap perempuan sebanyak 4.178 kasus sepanjang 2024. Sedangkan kekerasan seksual yang terjadi di Perguruan Tinggi sepanjang tahun 2021-2024 terdapat 82 kasus yang dilaporkan ke Komnas Perempuan.
Ketua Sub Komisi Pendidikan Komnas Perempuan Devi Rahayu menyatakan bahwa pembentukan Satgas PPKPT merupakan langkah strategis dalam merespons UU TPKS dan upaya pencegahan dan penanganan kekerasanseksual di lingkungan kampus. Maraknya kasus-kasus kekerasan seksual di lingkup kampus sebenarnya merupakan fenomena gunung es yang tampak banyak di permukaan padahal di bawahnya lebih banyak lagi kasus yang terjadi.
Selain itu, Devi mengatakan bahwa maraknya kasus dapat dimaknai secara dua sisi, yaitu sebagai indikator meningkatnya tingkat kesadaran korban untuk berani melapor karena keberadaan Satgas PPKPT pada lingkup kampus namun merupakan sebuah ironi karena terjadi pada ruang publik yang menjunjung etik dan moral.
Keduanya tetap menunjukkan urgensi perlunya evaluasi dan penguatan mekanisme perlindungan di lingkungan perguruan tinggi. Devi menyebut sudah terbentuk 1.724 Satgas TPKS (sekarang Satgas PPKPT) pada tahun 2024. Komnas Perempuan juga telah melakukan Survei terkait peran Satgas PPKS serta dukungan yang di dapat dari pimpinan. Didapatkan data, bahwa adanya dukungan dari pimpinan dalam melakukan upaya pencegahan dan penanganan kasus sebesar 53 persen sedangkan 23 persen mengeluhkan dukungan yang minim.
Dukungan dan keberpihakan pimpinan Perguruan Tinggi terhadap keberatan dan kinerja Satgas PPKPT/PPKKS menjadi faktor penting dalam efektivitas penanganan kasus kekerasan seksual. Secara implementasi adanya penunjukan anggota Satgas oleh rektor atau pimpinan perguruan tinggi, berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dan penguatan relasi kuasa, terutama apabila pelaku kekerasan adalah pejabat atau bagian dari pimpinan kampus itusendiri. Situasi ini membuka celah bagi potensi penyalahgunaan wewenang dan impunitas.
Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menilai banyak perguruan tinggi di Indonesia gagal menjalankan amanat pembentukan Satgas PPKPT secara serius. Koordinator Nasional JPPI, Ubaid Matraji, menyebut sebagian besar kampus justru membentuk Satgas secara reaktif dan seremonial tanpa kesungguhan dalam penegakan aturan.
“Sebagian besar kampus terlambat. Jika pun membentuk Satgas, sifatnya hanya reaktif dan seremonial. Kultur kekerasan, terutama senioritas dan patriarki, masih mendominasi dan bahkan dipertahankan oleh beberapa pimpinan kampus,” kata Ubaid, Minggu (26/10/2025).
Menurutnya, minimnya kemauan politik (political will) dari pimpinan kampus dan ketakutan untuk membuka aib institusi menjadi penyebab utama lambatnya pembentukan Satgas PPKPT. Ia menilai banyak perguruan tinggi masih berupaya menjaga citra lembaga, alih-alih melindungi korban kekerasan.
“Kampus belum bentuk Satgas PPKPT karena takut membuka aibnya sendiri. Padahal transparansi dan keberanian menghadapi masalah adalah bagian dari tanggung jawab moral kampus,” tegasnya.
Bagaimana gambaran kasus kekerasan di lingkungan kampus yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia?
Di Jawa Timur, Universitas Negeri Surabaya (Unesa) menangani 8 kasus perundungan sepanjang 2025. Kepala Sub Direktorat Pencegahan, Penanganan Kekerasan dan Isu Strategis (PPKIS) Unesa, Imam Pasu Purba, Jumat (24/10/2025) mengatakan, kasus kekerasan yang paling sering dilaporkan di PPKIS adalah kekerasan seksual dan kekerasan dalam hubungan kekasih.
Namun, tidak memungkiri PPKIS juga kerap menerima kasus perundungan antara mahasiswa. Kasus perundungan yang kerap dilaporkan adalah kekerasan fisik dan psikis yang dilakukan berulang. Perundungan yang paling menonjol adalah mengucilkan, penolakan, intimidasi, membuat perasaan tidak nyaman dan menghina di depan umum.
"Satu korban yang kami dampingi misalnya, dia dirundung dia cenderung menutup diri dan kemudian merasa tidak nyaman ketika datang ke kampus," ungkap dia.
Tanda-tanda awal menjadi korban kekerasan yang paling sering ditemui biasanya adalah sering menutup diri. Kemudian, lebih sering murung dari biasanya. Dari 8 kasus yang ditangani PPKIS yang ditangani Unesa, dampak psikologi yang ditimbulkan mayoritas masih kategori ringan. Tidak ada kasus yang sampai menimbulkan trauma.
Sementara itu, Satgas PPKPT Universitas Brawijaya (UB), Malang, Jawa Timur, menangani 6 kasus kekerasan, baik kekerasan fisik, kekerasan psikis, perundungan, kekerasan seksual, intoleransi/diskriminasi, dan kebijakan yang mengandung kekerasan. Ketua Satgas PPKPT Universitas Brawijaya, Ns. Muhammad Sunarto, mengungkapkan tingkat kekerasan di lingkungan mahasiswa UB masuk dalam kategori tinggi.
Meskipun tidak mau mengungkapkan jumlahnya, namun dia mengatakan ada peningkatan tren kekerasan di kalangan mahasiswa. Peningkatan ini disebabkan mahasiswa tidak berani speak up saat jadi korban.
"Kalau tidak ada itu bukan berarti tidak ada kasus, kasus kekerasan dipandang tinggi karena kondisi ini seperti fenomena gunung es, yang mana terlihat kecil di atas namun sebenarnya banyak kasus yang tidak terlihat di bawah," ungkapnya.
Di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung, Jawa Barat, kasus kekerasan menjadi persoalan serius. Ketua Satuan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan dan Isu Kritis (SPPIK) UPI, Hani Yulindrasari menyebut sudah ada tiga dosen yang diberhentikan. Selain itu, ada juga mahasiswa yang diskorsing dalam pembelejaran karena dianggap terbukti melakukan kekerasan khususnya kekerasan seksual.
Bagian Penanganan Satgas PPK Institut Teknologi Bandung (ITB), Rr. Diah Asih Purwaningrum S.T., M.T., Ph.D. mengatakan bahwa penanganan kasus kekerasan di ITB sudah dilakukan secara optimal. Ini terlihat dari angka pelaporan yang meningkat setiap tahunnya.
Meski demikian, Diah menyadari bahwa kasus kekerasan ini kampus bisa jadi lebih besar, karena biasanya hal seperti ini seperti gunung es di mana yang terlihat atau yang melapor masih sedikit dari kejadian sebenarnya.
"Untuk kasus jika ada yang melakukan cat calling saja dari pegawai yang dikontrak kami bisa langsung keluarkan karena takut kejadian pada korban lainnya," papar Diah.
Menurutnya, ITB pernah mengeluarkan mahasiswa yang terbukti melakukan kekerasan secara berulang dan bahkan tidak merasa ada penyesalan. Yang lebih parah di mana mahasiswa tersebut justu menantang dan minta diberi ruang untuk pembuktian ulang.
"Tapi dukungan dari rektor kami jelas dan ruang itu tidak kami berikan," ungkap Diah.
Di Sumatra Selatan (Sumsel), kasus pelecehan seksual menimpa mahasiswi Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas (FISIP) Universitas Sriwijaya (Unsri). Pelecehan bermula dari seorang dosen yang mengajak seorang mahasiswa bimbingannya ke hotel untuk merevisi tugas akhir dan modus mengerjakan skripsi. Dosen tersebut, bahkan meminta mahasiswa bimbingannya membawa baju renang ke hotel.
Kepala Kantor Humas dan Protokol Unsri, Nurly Meilinda, menyatakan, kampus sudah berkoordinasi dengan pimpinan FISIP dan telah menonaktifkan terduga pelaku. Proses penanganan kasus ini diserahkan kepada Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Perguruan Tinggi (Satgas PPKPT).
"Saat ini, dosen yang dilaporkan telah dinonaktifkan dari seluruh aktivitas pembelajaran, termasuk ujian skripsi sejak kasus ini dilaporkan," katanya, Jumat (24/10/2025).
Bahkan untuk menindaklanjuti masalah pelecehan dengan segera, Unsri sudah memproses dan mengeluarkan surat penggantian pembimbing bagi mahasiswa yang jadi korban termasuk kepada semua mahasiswa bimbingan lainnya, demi kenyamanan akademik.
Kekerasan senior terhadap junior pada penerimaan anggota baru Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Kampus masih rawan di perguruan tinggi. Ketua Satgas PPKPT Universitas Mataram, Joko Jumadi, mengatakan seringkali terjadi kekerasan yang dilakukan senior kepada junior pada saat pendidikan dasar anggota baru UKM Kampus.
Namun, sejauh ini, pihaknya belum menerima pengaduan dari mahasiswa yang menjadi korban. Satgas PPKPT Universitas Mataram, selama ini menangani kasus kekerasan seksual yang dilakukan oknum pegawai Universitas Mataram terhadap mahasiswi KKN yang saat ini ditangani aparat penegak hukum
Untuk kasus perundungan seperti yang dialami Timothy Anugerah Saputra, mahasiswa FISIP Universitas Udayana, banyak terjadi di ranah siber. Joko mengatakan mahasiswa banyak memiliki grup-grup WhatsApp, dimana perundungan sering terjadi di ranah tersebut. Pada ranah siber, seringkali candaan-candaan dianggap biasa, tetapi itu merupakan bentuk perundungan. Untuk itu, Satgas PPKPT yang sebelumnya bernama Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) Unram, sekarang juga memberikan atensi kekerasan fisik, intoleransi dan perundungan.
"Kita melakukan upaya meminimalisir, edukasi kepada mereka, pengawasan termasuk sedini mungkin melakukan upaya-upaya pencegahan. Pastinya adalah edukasi menjadi sangat penting dilakukan oleh kampus bukan hanya Satgas tapi juga program studi setiap fakultas," jelas Joko.
Pada tahun 2025 ini, minim laporan yang masuk ke Satgas PPKPT Universitas Mataram. Joko mengatakan belum ada laporan terkait perundungan di lingkungan kampus. Namun, ada satu laporan terkait kasus kekerasan seksual yang dilakukan oknum pegawai Universitas Mataram kepada seorang mahasiswi KKN yang kasusnya sudah berproses di pengadilan.
2. Cara perguruan tinggi mencegah dan menangani kasus kekerasan di kampus

Untuk mencegah kasus perundungan di kampus, PPKIS Unesa rutin menyebar survei jemput bola untuk mengidentifikasi mahasiswa yang mengalami masalah kesehatan mental. Kemudian, PPKIS Unesa akan memberikan pendampingan dan konseling.
PPKIS Unesa juga menyiapkan kanal yang bersifat rahasia. Mahasiswa yang hendak melapor dan melakukan konseling akan dijaga kerahasiaannya. "Kami pastikan pelapor melalui kanal itu yang mendaftarkan diri untuk konseling kita jaga kerahasiaannya," kata Kepala Sub Direktorat Pencegahan, Penanganan Kekerasan dan Isu Strategis (PPKIS) Unesa, Imam Pasu Purba.
Melalui berbagai seminar, webinar dan kegiatan lainnya, kampus selalu mengajak mahasiswa untuk saling peduli, membangun empati dan peduli terhadap sesama. Saat ada temannya yang tidak baik-baik saja, maka mereka bisa membantu untuk melapor ke PPKIS.
Imam menuturkan, budaya kampus yang perlu diperbaiki untuk mengindari perundungan adalah tidak menormalisasi kekerasan verbal baik antar mahasiswa maupun di dalam organisasi. Termasuk saat masa pelaksanaan orientasi pengenalan kehidupan kampus bagi mahasiswa baru.
Sementara, Satgas PPKPT UB memiliki banyak saluran untuk melaporkan tindakan kekerasan di kampus. Pertama mahasiswa bisa melaporkan dari tingkat fakultas melalui ULPKS (Unit Layanan Konseling Perundungan dan Kekerasan Seksual) masing-masing. Kemudian bisa juga lapor melalui dosen pembimbing akademik masing-masing mahasiswa. Selain itu, Satgas PPKPT di tingkat universitas juga bisa diakses melalui media sosial atau website, hotline 24 jam yang tersedia, email, dan datang secara langsung ke kantor.
"Kami bertindak berdasarkan laporan, kalau tidak ada laporan maka kami tidak bisa melakukan penindakan. Tapi sebenarnya siapapun bisa menjadi pelapor baik dari civitas maupun non-civitas juga, sehingga kami melakukan pemeriksaan berdasarkan informasi tersebut," jelas Ketua Satgas PPKPT Universitas Brawijaya, Ns. Muhammad Sunarto.
Sunarto mengungkapkan anggota Satgas PPKPT UB terdiri dari psikiater, ners spesialis keperawatan jiwa, psikolog, sampai pakar hukum. Satgas ini memiliki 2 tugas penting untuk edukasi dan preventif berupa sosialisasi serta pencegahan.
Psikolog, ners spesialis keperawatan jiwa dan psikiater memiliki peran penting karena bisa mengcover dua peran sebagai pemeriksa dan konselor. Tapi menurut Dosen Departemen Keperawatan ini, keilmuan mereka ini hanya digunakan saat tugas konselor saja.
Ketua Satuan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan dan Isu Kritis (SPPIK) UPI, Hani Yulindrasari, mengatakan, selama ini kampus UPI sudah melakukan berbagai cara lewat beberapa kegiatan dalam sosialisasi anti kekerasan di lingkungan kampus. Penegakan kasus kekerasan pada warga kampus pun dilakukan secara maksimal, sehingga pelaku kekerasan bisa mendapat sanksi yang sesuai.
UPI saat ini memiliki sekitar 100 relawan dari mahasiswa dan warga kampus lain yang bekerja memberikan berbagai informasi melalui sekolah advokasi gender. Mereka juga menjadi orang pertama yang ikut melakukan penanganan. Misalnya, apabila ada mahasiswa yang ingin curhat atau melapor, mereka bisa mengarahkan harus ke mana dan bagaimana menanganinya.
Tak hanya itu, kaderiasai relawan pun dilakukan bahkan hingga ke tingkat himpunan yang memang lebih dekat dengan mahasiswa. Setiap himpunan mahasiswa diharap bisa melakukan sosialisasi antikekerasan yang sesuai dengan arahan rektor.
Di Universitas Padjadjaran, upaya sivitas akademika untuk meminimalisir adanya kekerasan di lingkungan kampus sudah mulai berjalan sejak 2013. Ada persoalan di akar rumput yang membuat para dosen merasa harus ada pihak yang fokus dalam penanganan persoalan tersebut. Ini juga dilatarbelakangi bahwa seluruh warga Unpad harus aman termasuk ketika mereka berkegiatan pada malam hari.
"Dulu ada kebijakan tidak boleh ada kegiatan di jam segini (malam), tapi beberapa dosen tidak setuju karena membatasi ruang gerak akademisi karena ada yang memang harus berkegiatan sampai malam. Nah yang kemudian dilakukan adalah bagaimana warga Unpad ini tidak dibatasi, tapi mereka yang berpotensi melakukan kekerasan harus dibatasi," ujar Ketua Satgas PPK Unpad, Ari J. Adipurwawidjana saat berbincang dengan IDN Times, Kamis (23/10/2025).
Setelah adanya PPK, ruang aman untuk warga Unpad dalam melakukan kegiatan atau melaporkan kejadian kekerasan yang dialami makin baik. Setiap tahun angka pelaporan meningkat di Unpad, ini bukan berarti hal buruk, justru hal baik karena mahasiswa khususnya semakin berani untuk bersuara dan memberikan infomasi jika memang mereka menjadi korban kekerasan.
Meski demikian, banyaknya pelaporan ini belum tentu semuanya memang terbukti. Harus ada verifikasi secara ketat termasuk dengan bertemu terlapor untuk memastikan apakah laporan yang masuk memang sesuai dengan kategori kekerasan. Sebab, ada juga kasus di mana sesungguhnya terjadi kesalahpahaman atau konflik pribadi.
"Kesadaran warga makin meningkat karena kita tidak mengabaikan apapun laporan tersebut. Kita tahu bahwa perpelocoan misalnya sudah menjadi budaya di kampus dan dengan adanya kebijakan pun tidak bisa serta merta langsung berubah. Tapi kita harus ubah tradisi yang memang sudah berjalan puluhan tahun tersebut," papar Ari.
Terkait adanya mahasiswa yang dikeluarkan maupun tenaga pendidik dan dosen yang disanksi berat, Unpad selama ini melakukan pendekatan yang lebih persuasif. Khususnya para terlapor yang terbukti melakukan kekerasan sebisa mungkin mereka tidak langsung dikeluarkan.
"Kami juga tidak ingin mereka yang keluar ini justru jadi membahayakan masyarakat luar kampus. Maka kami ada pendampingan dulu baik ke psikiater atau psikolog sehingga pelaku ini kondisinya bisa semakin baik dan tidak melakukan kekerasan di kemudian hari," papar Ari.
Rektor UIN Raden Fatah Palembang Muhammad Adil menekankan pentingnya pencegahan melalui sosialisasi mengenai pencegahan kekerasan dan pelecehan seksual. "Pencegahan jauh lebih baik daripada mengobati. Sosialisasi pencegahan juga bentuk recharge kesadaran kita untuk menjaga kampus tetap aman dan sehat," kata dia.
Menurutnya, mahasiswa tidak perlu takut untuk bersuara dalam kasus kekerasan dan pelecehan yang terjadi di lingkungan kampus. Hal ini dilakukan untuk mewujudkan kondisi kampus yang aman.
"Jika ada masalah, silakan adukan secara langsung. Supaya kita tahu langkah-langkah apa saja yang perlu dilakukan untuk menghindari dan mencegah kekerasan serta perundungan di lingkungan kita," jelas dia.
Pendidikan tinggi tanpa kekerasan fisik dan seksual menjadi perhatian bagi Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Fatah Palembang. Di bawah naungan Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA), dosen dan mahasiswa berkolaborasi melakukan pencegahan kekerasan dengan berjejaring menciptakan ruang aman bagi semua.
Ketua PSGA UIN Raden Fatah Henny Yusalia mengatakan, semakin banyak mahasiswa yang berani bersuara dalam melaporkan kasus perundungan dan pelecehan yang mereka alami. Hal ini menunjukkan adanya perubahan budaya di lingkungan kampus menuju tempat yang lebih aman dan responsif terhadap isu kekerasan.
"Cukup banyak mahasiswa dan mahasiswi yang sudah berani melapor kasus perundungan maupun pelecehan. Kami bersyukur, karena kesadaran ini semakin tumbuh di kalangan mahasiswa," ungkap Henny Yusalia, kepada IDN Times, Jumat (24/10/2025).
Menurut Henny, saat ini UIN Raden Fatah memiliki fokus dalam perlindungan dan pencegahan kekerasan di lingkungan kampus. Hal ini sejalan dengan Permendikbudristek No. 55/2024 tentang pencegahan dan penanganan kekerasan di lingkungan perguruan tinggi.
"Tim advokasi merupakan beragam dosen dari berbagai kampus dengan berbagai latar belakang. Melibatkan tim hukum dari kampus, dokter dan psikologi berlisensi," jelas dia.
Sementara itu, Menteri Hak Asasi Manusia (HAM) Natalius Pigai, mengatakan tindakan perundungan dapat terjadi di mana saja. Baik di taman kanak-kanak, sekolah dasar, sekolah menengah pertama, atas, hingga perguruan tinggi. Hal itu dikatakan Pigai usai mengunjungi Universitas Udayana, Jumat (25/10/2025), terkait kasus meninggalnya mahasiswa FISIP Universitas Udayana inisial TAS.
Kementerian HAM menyoroti dua hal dalam kasus TAS. Pertama, investigasi yang transparan atas meninggalnya TAS. Kedua, tindakan perundungan atas kematian TAS dengan ucapan nir-empati.
Pihaknya berharap agar kampus berpedoman pada Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 55 Tahun 2024 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Perguruan Tinggi. Kata Pigai, melalui aturan itu, Rektor yang berperan sebagai pengambil keputusan termasuk sanksi. Ia meminta agar Rektor Unud mengambil keputusan seadil-adilnya.
“Pak rektorlah yang mengambil keputusan. Saya yakin rektor akan mengambil keputusan yang adil. Rasa keadilan harus dirasakan oleh korban, keluarga korban paling dekat. Baru dirasakan secara publik,” tegas Pigai.
3. BEM kritisi Satgas PPKPT, bikin layanan pengaduan online sendiri

Di NTB, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram mengkritisi lembaga yang dibentuk kampus dalam pencegahan dan penangan kekerasan. UIN Mataram membentuk UIN Care dalam pencegahan dan penanganan kekerasan di lingkungan kampus.
Ketua BEM UIN Mataram Abed Al Jabiri Adnan mengatakan Kopi.Ku sebagai ruang aman dan solutif untuk mendengar, menindaklanjuti, dan menyelesaikan persoalan mahasiswa UIN Mataram. Kopi.Ku hadir untuk mendengarkan curhatan seputar kampus, mewadahi pelaporan secara formal maupun informal dan mengawal advokasi hingga tuntas.
Dia menjelaskan Kopi.Ku menjadi platform pelayanan mahasiswa yang cepat, transparan, dan solutif demi mewujudkan kampus yang responsif. Kopi.Ku menyediakan dua jalur pelaporan yaitu secara resmi dan santai. Kemudian menindaklanjuti laporan secara nyata, mempublikasikan hasil advokasi secara transparan dan mendorong budaya "speak up" yang sehat di kalangan mahasiswa.
Abed mengatakan UIN Mataram sendiri sudah punya Satgas PPKPT yang diberi nama UIN Care. Semua keluhan mahasiswa terkait kasus kekerasan dapat dilaporkan ke UIN Care. "Kita di BEM juga membuat Kopi.Ku, semacam wadah aspirasi atau keluhan bagi seluruh mahasiswa yang mempunyai permasalahan di internal kampus," kata Abed saat berbincang dengan IDN Times, Sabtu (25/10/2025).
"Jadi kami sangat menyayangkan kejadian yang di Bali dan itu tidak mungkin kami akan biarkan kalau terjadi di Mataram. Makanya kami back up UIN Care dengan membuat layanan pengaduan tersendiri, independen tanpa kepentingan apapun," terangnya.
Kritikan terkait minimnya transparansi pihak kampus dalam penanganan kasus kekerasan juga disuarakan BEM Unsri Dalam kajian LENTERA juga menyatakan, dampak multidimensi kasus, baik terhadap korban, sivitas akademika, maupun nama baik Unsri, serta berisi desakan agar dilakukan reformasi sistem perlindungan di lingkungan kampus.
Pada Selasa (23/9/2025) lalu, LENTERA BEM KM FISIP Unsri menerima laporan dugaan pelecehan seksual yang melibatkan seorang mahasiswi sebagai korban dan seorang dosen sebagai terduga pelaku. Laporan disertai bukti awal berupa pesan dan undangan tidak pantas. Yakni terduga pelaku meminta korban membawa pakaian renang dan mengajak ke hotel beralasan membantu mengerjakan skripsi.
Kemudian usai mendapati informasi itu, Dinas Pemberdayaan Perempuan menyetujui langkah awal pengumpulan bukti dan prosedur administratif. Tujuannya agar ada transparansi dan keberpihakan kepada korban. Lalu BEM KM FISIP Unsri mengadakan audiensi dengan dekanat. Dalam pertemuan, BEM berharap penanganan adil, termasuk isolasi sementara terhadap terduga pelaku dari seluruh aktivitas akademik.
4. Independensi Satgas PPKPT

Ketua Satgas PPKS/PPKPT UPN ‘Veteran’ Yogyakarta, Ida Susi Dewanti, mengungkapkan berdasarkan Permendikbudristek Nomor 55 Tahun 2024 satgas PPKS berubah nama menjadi satgas PPKPT. “Satgas PPK ini tugas dan tanggung jawabnya lebih luas karena menangani tidak hanya kekerasan seksual namun juga jenis kekerasan yang lain (kekerasan seksual, fisik, psikis, perundungan, intoleransi, dan diskriminasi),” ujar Ida.
Tugas utama satgas PPK mencegah dan menangani kekerasan di lingkungan kampus dan mewujudkan kampus yang bebas dari kekerasan (seksual), melalui edukasi, penanganan laporan, pendampingan, dan rekomendasi sanksi kepada pimpinan. "Struktur satgas dibentuk melalui mekanisme seperti yang terdapat dalam Permendikbud No. 30 Tahun 2021 tentang satgas PPKS (dahulu) dan Permendikbudristek Nomor 55 Tahun 2024 tentang satgas PPK,” ujar Ida.
Mekanisme pembentukan satgas PPK(S) hampir sama. Dimulai pembentukan sekretariat atau tim seleksi yang membuka pendaftaran calon, seleksi, penetapan calon, mengirim nama calon ke kementrian untuk dilakukan assessment dan penetapan hasil seleksi anggota satgas.
“Satgas bekerja secara independen, kendali dari pihak rektorat berkaitan dengan anggaran dan sarpras, karena satgas berada di bawah koordinasi Warek 3 bidang kemahasiswaan dan kerja sama,” ucap Ida.
Satgas di UPN ‘Veteran’ Yogyakarta juga mendapatkan pelatihan psikologis dan bisa mengajukan untuk mendapatkan pendampingan psikologis jika diperlukan. Sejauh ini hambatan utama yang dihadapi adalah seringkali datang dari pihak luar, misalnya pelapor atau terlapor yang justru membuka kasus tersebut secara luas. Pimpinan universitas sendiri tidak banyak intervensi bahkan sangat mendukung ketugasan satgas.
“Untuk menjaga kerahasiaan dan keamanan pelapor atau korban, satgas tidak membuka identitas dari korban bahkan pimpinan juga tidak tahu siapa korbannya secara detail. Seringkali yang membuka justru teman-teman korban dan terlapor, atau justru korban sendiri yang membuka dirinya ke publik,” kata Ida.
Ketua Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Perguruan Tinggi (Satgas PPKPT) Unisa Yogyakarta, Wantonoro, menegaskan upaya pencegahan menjadi fokus utama agar kampus tetap menjadi ruang aman bagi seluruh civitas akademika.
“Prinsip kami adalah mencegah sebelum terjadi. Pencegahan dilakukan melalui edukasi, sosialisasi, serta membangun budaya saling menghargai di lingkungan kampus. Belum terdapat laporan dugaan kekerasan secara resmi ke Satgas PPKPT periode ini,” ujar Wantonoro, Jumat (24/10/2025).
Dirinya menyebut sejauh ini tidak ada hambatan dalam kerja PPKPT. Pihaknya pun berharap jika terjadi kekerasan, korban berani untuk memberikan keterangan yang sesuai dan bisa diadvokasi oleh organisasi kemahasiswaan jika diperlukan, dengan berita acara dan informed consent yang sesuai.
“Jika ada laporan, maka harus jelas siapa pelapor dan terduga yang dilaporkan, serta kronologi kejadian dan dokumen pendukung yanga da. Terkait dengan privasi, hanya Satgas PPKPT yang memiliki akses untuk hal tersebut, sehingga privasi akan terjaga sesuai dengan etika anggota Satgas,” ujar Wantonoro.
Ketua Satgas PPKPT Universitas Mataram Joko Jumadi memastikan Satgas bekerja secara independen dan tidak bisa diintervensi oleh pihak kampus. Dia menyebut sudah banyak contohnya oknum dosen dan pegawai Universitas yang melakukan. kekerasan seksual terhadap mahasiswi yang dipecat.
"Saya bisa memastikan Satgas bekerja independen. Artinya kita tidak bisa diintervensi dan itu banyak case-nya. Ada pegawai yang dipecat terkait kasus kekerasan seksual," tegas Joko.
Joko mengungkapkan mulai ada keberanian mahasiswi yang mengalami kekerasan seksual melapor ke Satgas PPKPT Unram. Seperti kasus mahasiswi KKN yang mengalami kekerasan seksual oleh salah seorang oknum pegawai Universitas Mataram atau yang dikenal dengan kasus Walid Unram.
Bagi mahasiswi yang menjadi korban, kata Joko, pihaknya menjamin kerahasian identitas. Korban juga dilakukan pendampingan psikologi serta bekerja sama dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) apabila terjadi kasus kekerasan seksual di kampus.
"Ada pendampingan psikologi kepada korban seperti kasus Walid Unram. Penanganan psikologi korban kita tangani oleh Satgas. Karena ini kaitannya dengan korban kekerasan, kami kerja sama dengan LPSK. Sehingga proses rehabilitasi selanjutnya kerja sama dengan LPSK," tuturnya.
Joko mengungkapkan tantangan dalam kasus kekerasan seksual dan perundungan, korban yang enggan melapor. Karena tidakbada luka fisik sehingga korban kadang-kadang tidak berani speak up. Untuk itu, Satgas PPKPT Universitas Mataram membuka diri bagi korban kekerasan untuk berani melapor.
Penulis: Muhammad Nasir (NTB), Khusnul Hasana (Jatim), Debbie Sutrisno (Jabar), Rangga Erfizal (Sumsel), Feny Maulia Agustin (Sumsel), Ni Komang Yuko Utami (Bali), Herlambang Jati (Jogja) dan Muhamad Iqbal (Banten)


















