Warga NTT Sebut Eks Kapolres Ngada Tak Tahu Malu karena Ajukan Banding

Kupang, IDN Times - Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Kekerasan Seksual Anak berdemonstrasi di Polda Nusa Tenggara Timur (NTT), Jumat (21/3/2025). Aksi ini merespon kasus eks Kapolres Ngada, AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja. Warga setempat menyebut Fajar tidak tahu malu karena masih punya nyali mengajukan banding pemecatan dirinya sebagai anggota Polri.
Massa dari 46 lembaga ini berkumpul di halaman Gereja Santo Yoseph Kupang dan melakukan long march ke Polda NTT di tengah guyuran hujan. Massa mendesak bertemu dan beraudiensi namun Kapolda NTT yang tidak berada saat itu.
1. Sebut Eks Kapolres Ngada memalukan

Puluhan warga ini menggeruduk Polda NTT. Mereka mengecam kasus eksploitasi dan asusila AKBP Fajar terhadap 3 korban anak. Demonstran ingin hak banding eks Kapolres Ngada dicabut. Fajar diketahui akan mengajukan banding usai pemecatannya secara resmi pada putusan sidang etik, 18 Maret 2025 lalu. Pendiri Komunitas Lowewoni, Linda Tagie, dalam orasinya mengecam Polri bila mengabulkan hal tesebut.
"Tidak tahu malu, bisa-bisanya sudah dipecat tapi masih mengajukan banding. Dia bukan saja melecehkan institusi, baik itu Polda NTT atau Polri, dia lebih tidak menghiraukan hak asasi manusia. Tapi kok naik banding?" tukasnya.
Menurut dia impunitas di institusi kepolisian bakal terulang apabila ini dikabulkan. Linda ingin kepolisian fokus membongkar jaringan sex child trafficking yang bisa jadi terselubung dari kasus ini.
"Jangan sampai bandingnya diterima! Bila sampai banding diterima maka Mabes Polri melanggengkan impunitas di tubuh institusinya sendiri walaupun kami tahu ini bukan kali pertama," tandasnya lagi.
2. Kapolri harus minta maaf dan evaluasi

Mantan Ketua Sinode GMIT, Pendeta Merry Kolimon, turut membacakan pernyataan sikap massa aksi. Mereka menuntut pelaku dijerat pasal berlapis tanpa impunitas melalui kebiri kimia sesuai Undang-undang Perlindungan Anak. Mereka pun ingin Kapolri dan jajarannya meminta maaf secara kelembagaan atas perbuatan Fajar.
"Ini sangat melukai warga Nusa Tenggara Timur dan kami menuntut Kapolri untuk memulihkan hubungan dengan warga NTT. Polri harus tahu adat," tandasnya.
Kapolri juga dituntut membongkar sindikat prostitusi anak, jaringan narkoba, serta memerangi cybercrime di wilayah NTT. Bagi korban, massa menuntut pemberian restitusi, jaminan hidup dan beasiswa hingga perguruan tinggi. Polri diminta menjamin pula pendampingan psikologi hingga korban dewasa dengan fasilitas dan perlindungan sosial yang memadai. Hal yang sama berlaku bagi orang tua korban.
3. Tolak banding eks Kapolres Ngada sebagai efek jera

Penolakan banding eks Kapolres Ngada juga telah ditegaskan sebelumnya oleh Saksi Minor (Solidaritas Anti Kekerasan dan Diskriminasi Kelompok Minoritas dan Rentan). Pernyataan ini dideklarasikan di PKBI NTT, Kamis (20/3/2025).
"Kami menolak bahwa tidak perlu lagi, dengan pertimbangan karena sudah ada bukti permulaan terkait tindak tidak etis, moral, sangat jelas melanggar, sudah dipublikasikan perbuatannya hingga Australia," tukas Veronika Ata dari Lembaga Perlindungan Anak (LPA) NTT.
Secara etika, lanjut Veronika, perbuatan Fajar sangat berat dan tidak lagi bisa diterima. Pengajuan banding itu bisa ditolak agar jadi pembelajaran bagi aparat kepolisian lain.
"Kami mendukung keputusan sidang komisi kode etik Polri yang menjatuhkan sanksi pemberhentian tidak dengan hormat terhadap mantan Kapolres Ngada. Berdasarkan keputusan tersebut Kapolri wajib menolak upaya banding yang dilakukan sebagai bentuk penghormatan terhadap institusi Polri, termasuk penghormatan dan rasa keadilan terhadap korban," tegas Veronika.