- Bupati Bima Indah Dhamayanti Putri menyiapkan putranya Muhammad Putra Ferryandi sebagai bakal calon Bupati Bima 2024.
- Bupati Sumbawa Barat W. Musyafirin menyiapkan istrinya Hanifah Musyafirin sebagai bakal calon Wakil Bupati Sumbawa Barat 2024.
- Bupati Lombok Utara Djohan Sjamsu menyiapkan putranya Kusmalahadi sebagai bakal calon Wakil Bupati Sumbawa Barat 2024.
Persoalan Dinasti Politik yang Sudah Merambah di Masyarakat NTB

Mataram, IDN Times - Pengamat politik di Nusa Tenggara Barat (NTB) Dr Ihsan Hamid menilai bahwa dinasti politik yang terjadi di tingkat nasional mulai merambah ke daerah. Pada pilkada serentak 2024, sejumlah bupati di NTB menyiapkan anak dan istrinya untuk maju sebagai bakal calon kepala daerah.
"Sekarang dinasti politik menular ke NTB. Orang-orang bilang, presiden saja begitu. Kenapa kita gak bisa, selama aturan tidak dilanggar. Tapi dinasti politik yang dilanggar adalah etika publik, etika kepantasan nilai. Tapi kalau aturan tidak ada yang dilanggar," kata Ihsan saat berbincang dengan IDN Times, Sabtu (6/7/2024).
1. Keluarga kepala daerah dipersiapkan maju dalam pilkada

Catatan IDN Times mencatat setidaknya ada tiga bupati di NTB yang saat ini mempersiapkan anak dan istrinya untuk maju sebagai bakal calon kepala daerah pada Pilkada 2024.
Selain itu, mantan Bupati Lombok Barat Fauzan Khalid menyiapkan istrinya Khaeratun sebagai bakal calon Wakil Bupati Lombok Barat 2024. Adik mantan Gubernur NTB Zulkieflimansyah, Dewi Noviany, maju sebagai bakal calon Bupati Sumbawa 2024. Adik mantan Bupati Lombok Timur Sukiman Azmy, Achmad Sukisman Azmy, juga maju sebagai bakal calon Wakil Bupati Lombok Timur. Kakak mantan Gubernur NTB dua periode, TGB. M. Zainul Majdi, yaitu Sitti Rohmi Djalilah, maju sebagai bakal calon Gubernur NTB 2024.
Ihsan menjelaskan bahwa demokrasi membuka ruang seluas-luasnya kepada setiap individu untuk menjadi calon pemimpin tanpa melihat komunal, kelompok, identitas, ras, atau agama. Hak politik setiap individu sama dalam demokrasi.
"Dalam konteks memberikan hak asasi manusia secara politik, itu tidak masalah. Namun, masalah muncul ketika kekuasaan disalahgunakan untuk memberikan akses kekuasaan kepada anak, keluarga, atau kroni. Sejatinya dalam demokrasi, kekuasaan tidak diwariskan, tetapi didapatkan secara kompetitif dan fair play," kata dosen Institut Agama Islam Negeri (UIN) Mataram ini.
2. Kekuasaan dikendalikan sehingga muncul dinasti politik

Ihsan mengatakan, seringkali kekuasaan yang sudah dikendalikan memonopoli modalitas dan hukum, sehingga memunculkan dinasti politik untuk mempermudah memperoleh kekuasaan berikutnya bagi anak, keluarga, atau kroni.
Dalam hukum demokrasi, dinasti politik tidak sepenuhnya buruk selama didapatkan dengan cara fair play. Namun, jika berkompetisi dengan memanfaatkan kekuasaan untuk memenangkan anak, keluarga, atau kroni, itu menjadi masalah.
"Selama diberikan ruang yang seimbang dalam kontestasi, memang tidak ada yang salah. Apalagi jika anak atau keluarga yang mencalonkan diri memiliki kemampuan dan kapasitas," terangnya.
Sekretaris Pusat Studi Demokrasi dan Kebijakan Publik UIN Mataram ini menambahkan bahwa dinasti politik bermasalah jika dibangun dengan cara memberikan ruang kekuasaan kepada anak atau keluarga dengan memanfaatkan kekuasaan yang sedang dipegang. Lebih fatal lagi jika diberikan kepada anak atau keluarga yang tidak memiliki kapasitas dan kemampuan.
"Tidak selamanya dinasti buruk. Tapi akan buruk jika memanfaatkan kekuasaan. Dinasti politik yang banyak dilanggar adalah etika. Dinasti politik ini terjadi hampir di seluruh Indonesia. Artinya yang dilanggar soal etika publik. Seharusnya ada regulasi yang membatasi," jelasnya.
Untuk memutus dinasti politik, Ihsan menyarankan adanya regulasi yang membatasi masa jabatan di parlemen, misalnya sampai dua periode, agar ada regenerasi tokoh publik yang bagus.
"Cara terbaik memotong dinasti politik adalah membatasi masa jabatan. Saya melihat yang sekarang memotong dinasti adalah pada penyelenggara pemilu. Misalnya, jika menjadi anggota KPU, istrinya tidak boleh menjadi Bawaslu. Itu bagus. Kenapa tidak berlaku dalam konteks jabatan publik di eksekutif? Batasi dari sisi regulasi. Cuma mau tidak legislator membuat regulasi itu," tandasnya.
3. Potensi penyalahgunaan wewenang

Ketua Bawaslu NTB Itratip mengatakan seluruh warga negara Indonesia yang memenuhi syarat boleh menjadi calon kepala daerah, termasuk dalam dinasti politik, asalkan tidak melanggar aturan. Namun, dia mengingatkan adanya potensi kecurangan atau penyalahgunaan kekuasaan untuk memenangkan calon tertentu.
"Potensi penyalahgunaan kekuasaan ini bisa terjadi, ada ataupun tanpa ada keluarga dari petahana yang maju di Pilkada. Jadi potensi penyalahgunaan kekuasaan tetap ada," kata Itratip.
Untuk mengantisipasi kecurangan dalam Pilkada 2024, Bawaslu NTB secara berjenjang mengimbau kepala desa dan seluruh ASN agar menjaga netralitas. Selain itu, Bawaslu NTB mendorong masyarakat untuk secara aktif melakukan pengawasan terhadap potensi dugaan kecurangan di Pilkada 2024.
"Partisipasi masyarakat sangat penting. Kami fokus melakukan pengawasan apakah ada penyalahgunaan kewenangan atau seluruh fasilitas negara untuk memenangkan pasangan calon tertentu," terangnya.
Itratip menjelaskan bahwa hampir semua kepala daerah merupakan pimpinan partai politik (parpol) di daerah. Artinya, setiap pimpinan parpol memiliki kepentingan untuk memenangkan calon yang diusung.
"Makanya ada atau tidak ada keluarga dari petahana yang maju sebagai peserta Pilkada, potensi itu tetap ada. Karena hampir sebagian kepala daerah kita adalah pimpinan parpol," tandasnya.
Komisioner KPU NTB Agus Hilman menambahkan bahwa pihaknya tidak melihat seorang bakal calon kepala daerah sebagai bagian dari dinasti politik atau tidak. Sepanjang kandidat memenuhi syarat pencalonan sebagai bakal calon kepala daerah, KPU akan menerima pendaftarannya.
"Sepanjang syarat prosedur dipenuhi, kami pasti akan menerima. Syarat calon gubernur, bupati/wali kota tidak secara tegas berkaitan dengan dinasti atau tidak, atau memiliki keterikatan keluarga," kata Hilman.



















