Ketimpangan Gaji Laki-laki dan Perempuan, Pekerja NTB: Tidak Adil

Mataram, IDN Times - Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data terbaru Keadaan Ketenagakerjaan Indonesia Februari 2025 pada 5 Mei lalu. Dalam salah satu aspek laporan itu, ada ketimpangan gaji buruh laki-laki dan perempuan. Rata-rata upah buruh laki-laki sebesar Rp3,37 juta, sedangkan perempuan sebesar Rp2,61 juta.
Salah satu karyawan swasta asal Lombok Timur, Riyanti mengaku baru mengetahui adanya kesenjangan gaji laki-laki dan perempuan. Karena selama ini perusahaan juga tidak terbuka soal gaji masing-masing karyawan.
"Misalnya karyawan A dapat gaji berapa, karyawan B dapat gaji berapa. Biasanya kita gak tahu. Kita diminta merahasiakan gaji antara sesama karyawan. Jadi kita gak tahu gaji karyawan laki-laki berapa, perempuan berapa," kata Riyanti di Mataram, Sabtu (17/5/2025).
1. Seharusnya melihat kemampuan bukan jenis kelamin

Jika melihat data BPS, seharusnya gaji laki-laki dan perempuan tidak berdasarkan jenis kelamin atau gender. Tetapi gaji laki-laki dan perempuan berdasarkan kemampuan. Meski demikian gaji laki-laki dan perempuan memang pada kenyataan ada ketimpangan.
"Memang infonya dari dulu dimana-mana kayaknya ini problem global juga. Maksudnya tidak hanya di Indonesia. Padahal beban kerja sama kenapa harus dibedakan. Misalnya kerja di pabrik sama saja beban kerjanya," kata Riyanti.
Dia mengungkapkan selama ini antara karyawan laki-laki dengan perempuan tidak mengetahui gaji masing-masing. Bahkan antara karyawan perempuan dengan perempuan juga tidak mengetahui gaji masing-masing.
"Seharusnya perusahaan terbuka dan gak boleh diskriminatif dilihat dari gender doang. Banyak kok perempuan yang punya kemampuan bagus kinerjanya," terangnya.
2. Ketimpangan gaji laki-laki dan perempuan tidak adil

Menurutnya, ketimpangan gaji laki-laki dan perempuan merupakan tindakan yang tidak adil. Karena beban kerja sama tetapi gaji laki-laki dan perempuan berbeda.
"Kadang ada di proyek konstruksi yang jadi buruh bukan cuma laki-laki tapi juga perempuan. Dan itu kerjanya sama, beban kerjanya sama. Kenapa mesti dibedakan, itu menurut saya gak adil," imbuhnya.
Dia mengatakan ketimpangan seperti ini jangan terus menerus dilanggengkan. Apalagi, sekarang banyak perempuan yang menjadi kepala keluarga.
"Kalau perempuan dan laki-laki beban kerjanya sama maka gak usah dibedakan gajinya. Mungkin orang melihat laki-laki upahnya lebih banyak karena menghidupi keluarganya. Tapi sekarang ini banyak perempuan yang jadi kepala keluarga," tuturnya.
Salah seorang karyawan di Kota Mataram, Abdi mengatakan bahwa gaji laki-laki dan perempuan untuk sektor formal hampir sama karena berdasarkan upah minimum kota (UMK). Dia menyebut ketimpangan gaji laki-laki dan perempuan banyak terjadi di sektor informal.
3. Berdampak pada indeks ketimpangan gender

Aktivis Gender NTB Nurjanah menyoroti kesenjangan gaji laki-laki dan perempuan disebabkan lemahnya pengawasan Dinas Tenaga Kerja. Seharusnya, Dinas Tenaga Kerja mengecek implementasi UU Ketenagakerjaan, salah satunya terkait dengan upah dan hak-hak lain yang spesifik yang dialami oleh perempuan seperti cuti melahirkan.
"Menurut saya yang tidak jalan sistem pengawasan dan salah satu yang berkontribusi terhadap indeks ketimpangan gender itu adalah dimensi ekonomi. Dimensi ekonomi itu ada kaitannya dengan upah. Itulah pentingnya pemahaman dukungan untuk mengatasi gap atau ketimpangan gender itu harus dilakukan lintas sektoral," kata Nurjanah.
Dia mengatakan Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) harus intens berkoordinasi dengan Dinas Tenaga Kerja untuk memastikan pengawasan di sektor upah. Nurjanah menyebut ketimpangan gaji laki-laki dan perempuan berkontribusi terhadap tingkat kemiskinan perempuan.
"Karena tidak adilnya keberpihakan yang sama antara laki-laki dan perempuan, ini memicu dampak kemiskinan terhadap perempuan. Kemiskinan perempuan itu salah satu kontribusinya adalah upah yang tidak sama antara laki-laki dan perempuan di pekerjaan yang sama," ungkapnya.
Nurjanah menambahkan bahwa sekarang banyak perempuan yang menjadi kepala keluarga. Bukan saja karena cerai hidup atau cerai mati, tetapi ada yang menjadi kepala keluarga karena suaminya tidak bisa bekerja karena sakit. Kemudian ada anak perempuan yang menghidupi orang tuanya yang sudah lansia sehingga dapat dikatakan sebagai kepala keluarga.