Kisah Pemecah Batu di Bima, Berjuang Demi Biaya Kuliah Anak di Jakarta

Berharap anaknya putuskan rantai kemiskinan keluarga

Kota Bima, IDN Times- Semua orang berjuang demi memenuhi kebutuhan hidupnya, termasuk M Saleh bersama istrinya Hawasah. Mereka menjadi pemecah batu kerikil agar bisa bertahan hidup. Warga asal Kelurahan Sambina'e Kecamatan Mpunda Kota Bima Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) itu mengaku sudah belasan tahun melakoni pekerjaan itu.

"Sudah lama sekali. Lebih kurang belasan tahun saya jalani pekerjaan ini," ungkap M Saleh saat ditemui IDN Times di sela-sela pecahkan batu akhir pekan lalu, Senin (4/7/2022).

1. Sehari-hari bekerja sebagai pemecah batu

Kisah Pemecah Batu di Bima, Berjuang Demi Biaya Kuliah Anak di JakartaLokasi untuk M Saleh bersama warga lain menggali batu di kawasan Sonco Tengge Kelurahan Dara. (IDN Times/Juliadin)

Ditemani sang istri, pria 47 tahun ini mengaku sehari-sehari bekerja sebagai pemecah batu di Kawasan Suncu Tengge Kelurahan Dara, Kecamatan Rasana'e Barat. Tidak mudah bagi mereka menjalani pekerjaan tersebut, batu harus digali lebih dulu di lokasi dengan kemiringan yang cukup curam. 

Kemudian bongkahan batu tersebut baru di kumpulkan pada satu tempat, lalu dipecahkan kecil-kecil menjadi kerikil menggunakan palu. Dari kerja keras mereka, dalam sehari hanya mampu menghasilkan kerikil beberapa gerobak dorong saja.

"Gak pasti kalau hitungan per harinya. Yang jelas dalam waktu satu pekan, kalau sungguh-sungguh saya bersama istri bisa hasilkan 1 truk kerikil," terang ayah dua anak ini.

Baca Juga: Regulasi Baru Pembelian Solar Pakai Aplikasi Sulitkan Nelayan di Bima

2. Jadi buruh di pelabuhan

Kisah Pemecah Batu di Bima, Berjuang Demi Biaya Kuliah Anak di JakartaPelabuhan Bima. (IDN Times/Juliadin)

Terhadap kerikil yang dihasilkan, diakui M Saleh, terkadang prosesnya cukup lama baru laris. Tergantung kebutuhan masyarakat dan pemerintah. Bahkan terkadang dua hingga hingga tiga bulan ia harus menunggu baru bisa bernilai uang dari hasil keringatnya tersebut.

"Biasanya untuk 1 truk kerikil, kami jual Rp700 ribu sampai Rp 800 ribu. Cuma itu, kendalanya lambat baru laku," terangnya.

Dengan kondisi tersebut, praktis membuat dia harus mencoba peruntungan sebagai buruh tani, bahkan jadi buruh jagung di Pelabuhan Soekarno-Hatta Kota Bima. Dari pekerjaan itu, tidak banyak yang diperoleh, dalam sehari hanya dihargai dari Rp80 hingga Rp 10ribu.

"Kalau gak peruntungan begitu, keluarga dan biaya kuliah anak saya mau cari di mana?," ungkap dia bernada sendu.

3. Kuliahkan anak dengan harapan bisa putuskan rantai kemiskinan

Kisah Pemecah Batu di Bima, Berjuang Demi Biaya Kuliah Anak di JakartaFoto M Saleh. (IDN Times/Juliadin)

Dia kadang meminjam uang ke tetangga jika tak ada penghasilan. Dia juga harus memberi biaya kuliah anaknya di Jakarta. Karena harus mengirim rutin biaya makan setiap bulan sebanyak Rp 400 ribu, sementara uang semester sebesar Rp 6 juta per dua kali setahun.

"Pengeluaran itu cukup tinggi. Tidak mudah bagi saya untuk mendapatkan uang sebanyak itu. Tapi karena demi pendidikan anak, saya lakukan semuanya," jelas M Saleh.

Dari kerja kerasnya menyekolahkan anak sulungnya tersebut, dia berharap bisa berbuah manis. Putrinya bisa menjadi orang yang sukses. Sehingga tidak lagi mengikuti jejak kemiskinan seperti yang ia jalani saat ini. 

"Saya sekolahkan dia, dengan harapan bisa sukses sehingga bisa putuskan kemiskinan ini. Saya gak mau anak saya ikuti jejak kami," pungkasnya.

Baca Juga: TKI Ilegal Asal Bima Ditemukan Tewas Tergantung di Malaysia

Topik:

  • Linggauni

Berita Terkini Lainnya