Hendak Dikirim ke Australia, 16 Warga Bangladesh Ditangkap di Lombok

Mataram, IDN Times - Kantor Imigrasi Kelas I TPI Mataram menangkap 16 warga negara Bangladesh pada salah satu perumahan di Desa Batulayar, Kecamatan Batulayar, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, Kamis (24/7/2025) sekitar pukul 10.00 WITA. Semuanya diamankan ke Kantor Imigrasi Mataram untuk pemeriksaan lebih lanjut.
Kepala Kantor Imigrasi Kelas I TPI Mataram Mirza Akbar menjelaskan belasan warga negara Bangladesh itu diduga akan dikirim ke Australia untuk bekerja. Pihaknya mengamankan barang bukti 10 paspor dan 16 alat komunikasi atau handphone (HP).
"Korban diantara mereka ada. Pendalaman lainnya sedang kita dalami. Karena mereka sudah dijanjikan diberangkatkan ke Australia untuk bekerja," kata Mirza di Mataram, Senin (28/7/2025).
1. Diduga terlibat tindak pidana penyelundupan manusia

Mirza menjelaskan Kantor Imigrasi Kelas I TPI Mataram bersama dengan Direktorat Intelijen Keimigrasian Ditjen Imigrasi dibackup pihak kepolisian melakukan pengamanan terhadap 16 warga Bangladesh yang tinggal di 3 rumah sewaan di Desa Batulayar pada Kamis, 24 Juli 2025 pukul 10.00 WITA. Seluruh warga Bangladesh tersebut diduga terlibat dengan Sindikat Tindak Pidana Penyelundupan Manusia (TPPM) dengan tujuan Australia.
Seluruh warga Bangladesh tersebut diamankan oleh petugas dalam kegiatan operasi gabungan dari Kantor Imgirasi Kelas I TPI Mataram bersama Direktorat Intelijen Keimigrasian Ditjen Imigrasi dan didampingi oleh pihak Kepolisian. Informasi awal mengenai sindikat penyelundupan manusia ini disampaikan ke Imigrasi Mataram oleh Tim Ditintelkim Ditjen Imigrasi. Kemudian bersama-sama melakukan pemetaan terhadap informasi ini.
Berdasarkan informasi awal yang didapatkan, terdapat sindikat penyelundupan manusia yang menampung 8 warga Bangladesh di sebuah rumah yang ada di Kabupaten Lombok Barat. Setelah dilakukan pengawasan lebih lanjut selama satu minggu, didapatkan informasi bahwa terdapat 3 rumah yang menjadi lokasi penampungan warga negara Bangladesh tersebut.
2. Satu bos dan 9 agen sindikat penyelundupan manusia

Berdasarkan hasil pemeriksaan awal, dari 16 WN Bangladesh yang diamankan, terdapat seorang warga negara Bangladesh yang menjadi bos sindikat berinisial SJ (33), dan 9 orang lain sebagai agen yang mengumpulkan warga Bangladesh lain untuk diberangkatkan.
Sedangkan 6 orang lainnya adalah korban yang dikuras habis uangnya oleh para agen dan bos sindikat penyelundupan manusia tersebut dengan iming-iming akan diberangkatkan ke Australia. "Saat ini, 16 WN Bangladesh tersebut sedang dalam proses pemeriksaan oleh Petugas dan telah di Detensi Kantor Imigrasi Kelas I TPI Mataram," jelas Mirza.
3. Diberangkatkan dari Malaysia ke Riau lewat jalur tikus

Kasi Intelijen dan Penindakan Kantor Imigrasi Kelas I TPI Mataram Iqbal Rifai menyebutkan ada 6 orang warga Bangladesh yang menjadi korban tindak pidana penyelundupan manusia. Sedangkan 9 orang berperan sebagai agen dan satu orang jadi bos sindikat penyelundupan manusia.
"Tapi masih kami dalami lagi, bisa bertambah atau berkurang," terangnya.
Para korban diberangkatkan dari Malaysia menuju Kota Dumai Provinsi Riau lewat jalur tikus. Dari Riau, mereka menggunakan angkutan darat ke Lombok. Sebelum ke Lombok, sesampainya di Jakarta sempat menginap selama semalam. Kemudian berangkat ke Bali dan menginap lagi. Selanjutnya, mereka ke Lombok.
Para korban rencananya akan dikirim ke Australia lewat jalur laut via Lombok Timur. "Dalam kasus ini tidak ada warga negara Indonesia yang terlibat. Namun salah satu dari agen mempunyai istri seorang WNI dan telah memegang izin tinggal sementara. Dugaan kuat satu orang ini mengkoordinir. Dimana dia memiliki agen-agen lagi di bawahnya," ungkap Rifai.
Adapun 16 warga negara Bangladesh tersebut diduga melanggar Pasal 113 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian. Mereka terancam pidana paling lama satu tahun dan denda paling banyak Rp100 juta. Selain itu, mereka juga melanggar pasal 119 ayat 1 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian dengan ancaman pidana paling lama 5 tahun dan denda Rp500 juta.