Gubernur Sebut Joki Cilik Tradisi Ratusan Tahun, Budayawan: Itu Keliru

Bima, IDN Times- Budayawan Bima, Fahrurizki dengan tegas membantah pernyataan Gubernur NTB yang menyebut menyetop joki cilik sama halnya menodai tradisi ratusan tahun. Menurut Fahrurizki, pacuan kuda dengan melibatkan joki cilik itu bukanlah tradisi masyarakat Bima.
Keterlibatan joki cilik dalam pacuan kuda dalam persepsi kultur Bima menurut penulis sejarah dan budayawan ini, sudah sangat keliru. Itu menunjukkan arogansi pemilik kuda maupun panitia pelaksana pacuan kuda.
“Ada pepatah Bima mengatakan ‘Ma Tua Sakontu Ma Toi’. Maknanya, orang-orang dewasa harus bisa mendorong kebaikan dan kreativitas anak-anak untuk masa depan mereka,” jelasnya.
1. Melanggar standar peraturan pordasi

Dia menegaskan, adanya joki cilik yang dimulai tahun 1960-an ini bukanlah tradisi pacuan kuda Bima. Secara garis besar, dalam pacuan kuda nasional pun penggunaan joki cilik ini sudah melanggar standar peraturan Pordasi.
“Itu budaya asimilasi. Maksudnya, pembauran satu kebudayaan yang disertai dengan hilangnya ciri khas kebudayaan asli sehingga membentuk kebudayaan baru,” katanya.
2. Tahun 1960 joki cilik dipakai untuk ringankan laju kuda saat event tertentu

Penggunaan joki cilik, sebut Fahrurizki, pertama kali digelar sejak tahun 1960-an. Saat itu dipakai untuk meringankan laju kuda saat event pacuan. Pacuan kuda ini merupakan budaya barat. Pertama kali digelar oleh pemerintah Belanda tahun 1920 untuk merayakan ulang tahun Wilhelmina Belanda.
"Belanda pada masa itu juga membangun arena pacuan kuda pertama di Manggemaci, Bima. Jadi, sangat keliru kalau pacuan kuda dan joki cilik adalah budaya ratusan tahun,” tegasnya.
3. Libatkan joki cilik bertentangan dengan ksatria masyarakat Bima

Menurut Fahrurizki, pelibatan joki cilik pada even pacuan kuda justru sangat bertentangan dengan kesatria masyarakat Bima yang dikenal, Anangguru Jara Mbojo (pasukan berkuda kerajaan Bima). Dulu, masyarakat Bima diseleksi untuk menunggangi kuda perang. Para pemenang kemudian dikirim ke beberapa daerah seperti Manggarai, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).
“Jadi, berkuda ini sudah bagian dari falsafah hidup masyarakat Bima. Yakni, Pasaka Mataho, Ngaha Mataho, Wei Mataho dan Jara Mataho,” terang dia.
4. Gubernur sebut larang joki cilik sama halnya menodai dan menganggu tradisi

Sebelumnya, pada suatu kesempatan, Gubernur NTB Zulkieflimansyah sempat menyinggung soal pelibatan joki cilik pada event pacuan kuda di NTB. Saat itu, dia mengatakan, joki cilik dan pacuan kuda terlihat sederhana, tapi sesungguhnya tidak semudah yang dibayangkan para pembela hak-hak anak.
"Butuh waktu dan kesabaran untuk menata dan mengubahnya," kata Gubernur dikutip pada status media sosial yang diunggahnya belum lama ini.
Pacuan kuda dengan joki cilik menurut orang nomor satu di NTB ini, sudah membudaya dan jadi tradisi turun temurun yang usianya puluhan bahkan ratusan tahun. Jadi, kalau melarang penggunaan joki cilik dalam pacuan kuda tradisional sama halnya dengan menodai dan mengganggu tradisi.
“Terlalu vulgar dan demonstratif melarang joki cilik, maka kita akan berhadapan dengan perlawanan 'kultural' yang serius dan tidak mudah,” tegasnya.