Alokasi Pupuk Bersubsidi Lotim Dikurangi, Kok Bisa?

- Penurunan alokasi pupuk bersubsidi
- Penyebab rendahnya serapan pupuk
- Rendah karena harga tebus masih mahal
Lombok Timur, IDN Times - Alokasi pupuk bersubsidi untuk wilayah Lombok Timur (Lotim) pada tahun 2025 ini dikurangi oleh pemerintah pusat. Hal disebabkan karena rendahnya serapan pupuk oleh petani di tahun sebelumnya, sehingga pemerintah pusat melakukan pemotongan jatah.
Kepala Bidang Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP) Distan Lotim, Darajata, menjelaskan bahwa alokasi pupuk bersubsidi pada 2024 cukup besar, namun banyak yang tidak terserap hingga akhir tahun. Akibatnya, jatah untuk tahun 2025 terpaksa dikurangi.
“Banjir pupuk sekarang, saking banyaknya, banyak yang tidak terserap di akhir 2024, sehingga jatah kita turun,” ujarnya.
1. Penurunan alokasi Urea dan NPK

Awal tahun 2025, alokasi pupuk urea untuk Lotim semula ditetapkan sebanyak 35.058 ton, naik 2.000 ton dibandingkan realisasi akhir 2024 yang hanya 33.000 ton. Namun, karena serapan pupuk hingga pertengahan tahun baru mencapai 30%, terjadi realokasi dengan pengurangan 2.500 ton, sehingga jatah saat ini menjadi 33.000 ton.
Hal serupa terjadi pada pupuk NPK, yang awalnya dialokasikan 30.747 ton, kemudian dipotong menjadi 29.483 ton, berkurang 1.400 ton lebih. Sementara itu, untuk pupuk SP36, meski diatur dalam Perpres, Lotim tidak mendapat alokasi sama sekali tahun ini.
Hal serupa juga terjadi pada alokasi pupuk organik. Pupuk organik yang semula dialokasikan 14.468 ton mengalami pengurangan sekitar 900 ton setelah evaluasi di Mei 2025.
“Kalau penyerapannya masih minim, bisa berkurang lagi,” ungkapnya.
2. Penyebab rendahnya serapan

Menurut Darajata, lambatnya penyerapan pupuk di awal tahun diduga karena petani masih memanfaatkan stok sisa tahun sebelumnya. Pada 2024, realisasi penyerapan pupuk hanya mencapai 89%. Karena itu, ia mendorong petani segera menebus pupuk bersubsidi agar alokasi tahun depan tidak semakin berkurang.
“Jangan sampai jatah kita turun drastis seperti tahun 2023 yang hanya 17.000 ton. Jika kembali seperti dulu, maka bisa berdampak terhadap kelangkaan pupuk,” tegasnya.
Untuk mengatasi rendahnya serapan ini, pihaknya akan mengusulkan komoditas tembakan mendapat alokasi. Sebab petani tembakau sangat membutuhkan pupuk bersubsidi ini, terutama untuk urea dan SP 36.
“Kami sudah mengajukan perubahan E-RDKK dan memasukkan komoditas tembakau ke Kementan, tapi belum ada tanggapan,” jelas Darajata.
3. Rendah karena harga tebus masih mahal

Sementara itu, rendah serapan pupuk di tingkat petani karena disebabkan harga tebus pupuk yang masih mahal. Di tingkat pengecer pupuk masih ditebus dengan harga jauh di atas HET yaitu, Rp 3.500 per kilogram.
"Meskipun pupuk tidak langka, tetapi harga tebus pupuk ini masih sangat tinggi," ujar Amhad Muazayyani, petani asala desa Kabar.
Menurut Muzayyani, rendahnya serapan pupuk bersubsidi kemungkinan disebabkan karena dampak petani yang sebagian besar beralih menanam komoditas tembakau. Sementara tembakau tidak mendapat alokasi pupuk subsidi.
"Kita kan tidak bisa menggunakan pupuk subsidi, sementara areal wilayah selatan yang biasanya menanam jagung, beralih menanam tembakau," pungkasnya.