6 Tahun Diresmikan, RS Pratama Boking NTT Masih Kosong dan Terbengkalai

Kupang, IDN Times - Ombudsman RI Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) menemukan sejumlah kejanggalan saat melakukan inspeksi mendadak di Rumah Sakit Pratama (RSP) Boking, Desa Meusin, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS).
Kunjungan tanpa pemberitahuan ini dipimpin langsung oleh Kepala Ombudsman NTT, Darius Beda Daton, pada Rabu (29/10/2025). Dalam sidak tersebut, tim menemukan belasan penyimpangan, mulai dari bangunan rumah sakit yang terbengkalai sejak diresmikan tahun 2019, hingga potensi kerugian negara mencapai 94,5 persen dari total anggaran pembangunan.
“Rumah sakit ini sudah enam tahun diresmikan, tapi tidak pernah beroperasi secara normal. Standarnya, rumah sakit harus beroperasi penuh maksimal satu tahun setelah diresmikan,” ujar Darius dalam keterangannya, Jumat (31/10/2025).
1. Tak ada dokter dan nakes yang bertugas

Darius menjelaskan, saat inspeksi dilakukan pukul 15.30 WITA, tidak ditemukan satu pun tenaga medis di lokasi. Padahal, instalasi gawat darurat (IGD) seharusnya beroperasi 24 jam.
“Kami masuk ke ruang IGD, apotek, hingga ruang pendaftaran. Banyak tempat tidur berserakan di lorong, hampir semua pintu rusak berat, dan gedung bagian belakang tak bisa digunakan,” katanya.
Ironisnya, rumah sakit dengan fasilitas tempat tidur dan tabung oksigen itu bisa diakses bebas oleh warga tanpa pengawasan. Berdasarkan keterangan warga, RSP Boking hanya buka dari pukul 07.30 hingga 14.00 WITA.
2. Daftar hal tak wajar di RSP Boking

Darius menuturkan, RSP Boking dibangun sejak 2017 menggunakan Dana Alokasi Khusus (DAK) fisik pusat, dengan total anggaran Rp17,459 miliar. Namun berdasarkan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), negara mengalami kerugian Rp16,526 miliar atau sekitar 94,5 persen dari nilai proyek.
Lebih parahnya, RSP Boking tidak tercatat di data Kementerian Kesehatan sebagai rumah sakit beroperasi karena dianggap bermasalah secara hukum. Selain itu, akses jalan menuju rumah sakit juga tidak memenuhi standar keamanan sesuai Permenkes No. 24 Tahun 2014.
“RS ini sejak awal tidak layak, tapi tetap diresmikan. Selain lokasi yang tidak strategis, tidak ada dokter, IGD tidak berfungsi, dan stok obat kosong. Ini contoh nyata gagalnya pengelolaan fasilitas publik,” tegas Darius.
Ia menambahkan, dari data terakhir hanya ada lima tenaga kesehatan di rumah sakit itu—dua perawat, satu bidan, satu tenaga gizi, dan satu staf administrasi—tanpa satu pun dokter umum atau dokter gigi sebagaimana standar RS Pratama tipe D.
3. Pihak rumah sakit juga akui tak punya obat

Darius menegaskan kondisi ini menjadi tanggung jawab penuh pemerintah daerah selaku pemilik rumah sakit. Ia juga menilai RSP Boking tidak fungsional karena warga TTS justru lebih memilih berobat ke RS Betun di Kabupaten Malaka yang jaraknya lebih dekat dan beroperasi penuh.
“Ini pola kegagalan yang berulang. Banyak RS Pratama di NTT bernasib sama—dibangun dengan dana pusat, tapi operasionalnya diabaikan oleh daerah,” ungkapnya.
Pelaksana harian Direktur RS Pratama Boking, Yotam Nauf, membenarkan temuan Ombudsman tersebut. Ia mengakui pelayanan di rumah sakit hanya terbatas di poli umum, dan itu pun tidak setiap hari karena minim pasien dan tenaga medis.
“Saat ini stok obat kosong karena belum ada distribusi dari Dinas Kesehatan Kabupaten TTS,” ujarnya.
Yotam juga mengakui kondisi rumah sakitnya jauh dari standar RS Pratama tipe D sebagaimana diatur dalam Permenkes Nomor 24 Tahun 2014 tentang Rumah Sakit Pratama.


















