Merindukan Suasana Lebaran di Kampung Halaman

Lebaran selalu memiliki makna mendalam bagi setiap orang. Bagi saya, momen ini bukan hanya sekadar hari kemenangan setelah sebulan berpuasa, tetapi juga kesempatan untuk kembali ke akar, ke tempat yang selalu saya sebut rumah, yaitu Desa Aikdewa, Kecamatan Pringgasela, Kabupaten Lombok Timur. Di sanalah semua kenangan masa kecil saya tertinggal, di sanalah keluarga dan sahabat lama menanti dengan tangan terbuka.
Setiap kali bulan Ramadan memasuki hari-hari terakhir, hati saya mulai dipenuhi dengan kerinduan yang mendalam. Bayangan suasana Lebaran di kampung halaman muncul begitu jelas. Hiruk-pikuk persiapan menyambut hari raya, aroma khas masakan ibu yang memenuhi rumah, serta kebersamaan yang terasa begitu erat dan hangat. Namun, ada satu momen yang paling saya rindukan, yaitu salat Idulfitri di masjid dekat rumah.
Pagi hari Lebaran di kampung halaman saya selalu dimulai dengan takbir yang berkumandang dari masjid. Suara bedug bertalu-talu seakan membangunkan warga di seluruh desa, mengajak semua orang untuk segera bersiap-siap menuju tempat salat Id. Saya masih ingat betapa antusiasnya saya saat masih kecil, mengenakan pakaian terbaik yang sudah disiapkan sejak malam sebelumnya, lalu berjalan bersama keluarga menuju masjid yang menjadi tempat salat Idulfitri.
Di sana, ribuan warga berkumpul, duduk bersaf-saf rapi di atas tikar atau sajadah yang dibawa dari rumah. Udara pagi masih terasa sejuk, dan embun yang menempel di rumput belum sepenuhnya mengering. Saat imam mulai mengangkat takbir, suasana menjadi begitu khusyuk. Ada perasaan yang sulit dijelaskan, rasa damai yang meresap ke dalam hati, seolah semua beban selama setahun terakhir luruh dalam sujud di pagi yang suci itu.
Selesai salat, momen yang paling menghangatkan hati pun tiba. Warga desa saling bersalaman, memohon maaf, dan berbagi kebahagiaan. Tak ada sekat, tak ada batas, semua melebur dalam suasana kekeluargaan yang tulus. Saya selalu merindukan perasaan itu, di mana semua orang tersenyum, tertawa, dan saling mendoakan kebaikan.
Tradisi yang Tak Tergantikan
Setelah salat Id, rumah-rumah seolah berubah menjadi ruang tamu besar yang terbuka bagi siapa saja. Tradisi saling berkunjung sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari perayaan Lebaran di desa. Tidak peduli apakah seseorang masih keluarga dekat atau hanya tetangga jauh, semua tetap disambut dengan tangan terbuka.
Hidangan khas Lebaran seperti opor ayam, bulayak dan ketupat dan poteng jaja tujak tersaji di atas meja, menggoda siapa saja yang datang. Saya selalu menantikan saat-saat ini, ketika bisa duduk di ruang tamu bersama sanak saudara, mendengar cerita-cerita lama yang kembali diingat sambil makan hidangan penuh kenikmatan. Ada kehangatan yang sulit ditemukan di tempat lain, sesuatu yang hanya bisa dirasakan saat berada di rumah sendiri.
Bagi perempuan yang sudah menikah seperti saya, kesempatan untuk merasakan semua itu tidak selalu datang setiap tahun. Ada waktu-waktu ketika jarak dan kesibukan menjadi penghalang. Saat tak bisa pulang, saya hanya bisa membayangkan suara takbir yang menggema di desa, membayangkan aroma masakan ibu, serta membayangkan wajah-wajah yang menyambut dengan penuh kebahagiaan.
Lebaran di kampung halaman bukan sekadar perayaan, tetapi juga pengingat bahwa ada tempat yang selalu menanti kepulangan. Desa Aikdewa bagi saya bukan hanya sekadar titik di peta, tetapi juga bagian dari diri yang tak pernah bisa dihapus oleh waktu.
Setiap kali akhirnya saya bisa pulang dan merasakan kembali momen-momen itu, saya menyadari bahwa kebahagiaan sejati bukanlah tentang seberapa jauh kita pergi, tetapi tentang seberapa dalam kita merindukan dan menghargai tempat di mana kita berasal. Dan bagi saya, Lebaran di kampung halaman adalah bentuk kebahagiaan yang paling sempurna di antara doa-doa yang dipanjatkan di pagi Idulfitri, di dalam pelukan keluarga yang selalu menyambut dengan senyum, dan di bawah langit desa yang selalu menawarkan kedamaian.