Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Ternyata Begini Cerita di Balik Pernikahan Dini yang Heboh di Lombok

Kasus perkawinan anak di bawah umur di Lombok Tengah. (dok. Istimewa)
Kasus perkawinan anak di bawah umur di Lombok Tengah. (dok. Istimewa)

Mataram, IDN Times - Kasus perkawinan anak di bawah umur di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB) yang viral di media sosial, disoroti Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan). Pengantin laki-laki yang masih duduk di bangku SMK ini berasal dari Desa Beraim Kecamatan Praya Tengah. Sedangkan mempelai perempuan dari Desa Sukaraja, Kecamatan Praya Timur Lombok Tengah.

Komnas Perempuan menegaskan perkawinan anak yang terjadi di Lombok Tengah merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak-hak anak berdasarkan UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Sementara itu, aparat Desa Beraim Kecamatan Praya Tengah menjelaskan cerita di balik terjadinya kasus perkawinan anak tersebut.

1. Orangtua melanggar UU Perlindungan Anak

Ketua Komnas Perempuan Maria Ulfah Anshor. (IDN Times/Muhammad Nasir)
Ketua Komnas Perempuan Maria Ulfah Anshor. (IDN Times/Muhammad Nasir)

Ketua Komnas Perempuan Maria Ulfah Anshor mengatakan bahwa orang tua kedua anak tersebut melanggar UU Perlindungan Anak. Dalam UU itu, orangtua berkewajiban melindungi anak-anaknya dari pernikahan usia anak.

"Itu ada pasalnya di UU Nomor 35 Tahun 2014. Kemudian juga ada pasal lain yang menyebutkan bahwa persetubuhan terhadap anak bagian dari kekerasan seksual. Tidak disebutkan persetubuhan itu apakah dalam pernikahan atau luar pernikahan. Intinya, persetubuhan terhadap anak dilarang," kata Ulfah di Mataram, Senin (26/5/2025).

Dia menegaskan orangtua melanggar UU Perlindungan Anak. Karena orangtua berkewajiban melindungi anak-anaknya dari perkawinan anak. Sehingga, wajar jika Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Kota Mataram melaporkan kasus perkawinan anak itu ke Polres Lombok Tengah.

Menurutnya, hal itu merupakan bentuk penegakan hukum terhadap orangtua yang memfasilitasi perkawinan anak. Terkait penanganan kedua bocil yang sudah terlanjur menikah, anak-anak itu harus diberikan pendampingan di lingkungan terdekatnya.

Orangtua pengantin perempuan maupun laki-laki harus memastikan kedua anak itu tetap bersekolah. Kemudian, kedua orang tuanya harus mendampingi anak-anak itu tidak hamil dulu.

"Jadi proses kesehatan reproduksi harus tuntas dulu. Beri tahukan kepada suami dan istrinya bahwa hubungan seksual itu ada konsekuensinya. Sementara organ tubuh keduanya belum tumbuh secara maksimal," ujar Ulfah.

Hubungan seksual dari anak yang sudah menikah itu sangat berisiko dan membahayakan terutama bagi perempuan. Untuk kepentingan terbaik, sebaiknya mereka dipisahkan untuk tidak melakukan hubungan seksual sebelum usianya betul-betul matang.

"Karena berisiko pada organ reproduksi mereka apalagi perempuan. Karena organ tubuhnya masih tumbuh. Itu berisiko dan membahayakan terutama perempuan," jelasnya.

2. Cerita di balik perkawinan anak di Lombok Tengah

Kepala Dusun Petak Daye Desa Beraim Kecamatan Praya Tengah Syarifudin. (IDN Times/Muhammad Nasir)
Kepala Dusun Petak Daye Desa Beraim Kecamatan Praya Tengah Syarifudin. (IDN Times/Muhammad Nasir)

Sementara, Kepala Dusun Petak Daye Desa Beraim Kecamatan Praya Tengah Syarifudin mengungkap cerita di balik perkawinan anak tersebut. Dia mengatakan pengantin laki-laki berasal dari keluarga broken home. Kedua orangtua pengantin laki-laki bercerai ketika masih berusia tiga atau empat tahun.

Setelah bercerai, baik ibu dan bapak mempelai laki-laki kawin lagi. Sehingga, pengantin laki-laki tinggal bersama neneknya yang sudah janda karena suaminya meninggal dunia.

"Neneknya sudah tua, secara ekonomi juga sangat kurang," tutur Syarifudin saat ditemui di kediamannya.

Sebagai aparat desa yang menjadi kepala dusun, Syarifudin mengaku sudah berupaya maksimal agar perkawinan anak itu tidak terjadi. Kedua anak itu telah berhasil dicegah untuk menikah dua kali pada April lalu karena mereka masih di bawah umur.

Setelah berhasil dipisahkan kedua kalinya, calon pengantin laki-laki membawa kabur mempelai perempuan ke Sumbawa selama dua hari dua malam. Mereka dihubungi lewat telepon supaya kembali ke Lombok.

Setelah kembali ke Lombok, dia menghubungi keluarga perempuan untuk mengantarnya ke rumah orangtuanya. Namun, keluarga dari pihak perempuan tidak menerima anaknya diantar ke rumah karena sudah dibawa kabur ke Sumbawa selama dua hari.

"Kita juga tidak bisa berbuat banyak. Kita sangat khawatir namun apalah daya kami, pernikahan itu terjadi atas dasar persetujuan orang tua. Kita sudah berusaha memisah tapi keluarga perempuan tidak menerima karena sudah dibawa dua hari dua malam ke Sumbawa," ungkap Syarifuddin.

Pernikahan kedua bocil itu akhirnya terjadi pada awal Mei lalu. Setelah terjadinya pernikahan, pihak desa juga meminta agar mereka tidak melakukan nyongkolan menggunakan alat kesenian.

Namun secara sepihak antara keluarga laki-laki dengan perempuan, mereka sepakat untuk mengadakan nyongkolan menggunakan alat kesenian.

"Malah ada penekanan dari keluarga perempuan harus memakai kesenian. Karena ada kakaknya pengantin perempuan dulu menikah dan pakai kesenian. Sehingga ayahnya bilang supaya tidak berprasangka anaknya ini, supaya tidak pilih kasih, harus pakai kesenian," tutur Syarifudin.

Dia mengungkapkan bahwa pengantin laki-laki merupakan anak putus sekolah di kelas 2 SMK. Sehari-hari bekerja ikut pamannya mencari barang rongsokan.

3. Tanggapan Gubernur NTB soal kasus perkawinan anak di Lombok Tengah

Aktivis Perempuan NTB, Ira Apryanthi. (dok. Istimewa)
Aktivis Perempuan NTB, Ira Apryanthi. (dok. Istimewa)

Gubernur NTB Lalu Muhamad Iqbal hanya merespons singkat terkait viralnya kasus perkawinan anak di Lombok Tengah. Dia mengatakan akan mendalami kasus pernikahan anak tersebut. "Saya lagi mendalami itu," katanya singkat.

Sebagaimana diketahui, NTB menempati peringkat pertama perkawinan anak secara nasional dengan presentase 17,32 persen. Terdapat tiga kabupaten di NTB dengan kasus perkawinan anak tertinggi yaitu Lombok Timur 21 persen, Lombok Tengah 29,9 persen dan Lombok Utara 19 persen.

Meski berbagai program pencegahan telah digulirkan dari edukasi ke sekolah hingga komitmen dari pemerintah daerah, kenyataannya praktik ini masih terus terjadi, bahkan cenderung dianggap sebagai hal yang lumrah oleh sebagian masyarakat NTB.

Padahal, perkawinan anak bukan sekadar peristiwa sosial, tetapi berisiko besar terhadap masa depan generasi muda, terutama anak perempuan. Dampaknya bisa mencakup putus sekolah, kehamilan di usia dini, kerentanan terhadap kekerasan dalam rumah tangga, hingga kemiskinan struktural antar generasi.

Aktivis Perempuan NTB, Ira Apryanthi menyuarakan keresahannya. Kasus viral perkawinan anak di Lombok Tengah ini bukan yang pertama, dan sayangnya mungkin bukan yang terakhir.

Berdasarkan data Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) NTB, jumlah perkawinan anak pada tahun 2024 sebanyak 581 kasus.

"Ini alarm keras bagi semua pemangku kepentingan pemerintah, tokoh agama, pendidik dan keluarga bahwa sistem perlindungan anak kita belum bekerja maksimal. Kita tidak bisa hanya reaktif ketika kasus viral, tapi harus mulai serius membangun sistem pencegahan dan pendampingan yang berkelanjutan," kata Ira.

Ira menggarisbawahi pentingnya keterlibatan anak muda dalam proses edukasi dan advokasi di komunitasnya.

"Kita harus libatkan remaja dan anak-anak sebagai agen perubahan. Mereka harus tahu hak-haknya, berani bicara dan punya ruang aman untuk tumbuh tanpa tekanan menikah dini. Jika tidak, kita akan terus mengulang lingkaran yang sama," ucapnya.

Dia mengatakan sudah saatnya NTB mengevaluasi ulang strategi perlindungan anak secara menyeluruh. Evaluasi ini harus melibatkan pendekatan lintas sektor, yaitu hukum, pendidikan, kesehatan, dan sosial budaya agar tidak hanya menyentuh permukaan. Tetapi menyasar akar persoalan norma sosial, tekanan ekonomi, dan ketimpangan gender.

Pemerintah, lembaga adat, serta tokoh agama diharapkan bersinergi menciptakan lingkungan yang benar-benar aman dan suportif bagi anak-anak. Karena masa depan NTB, dan Indonesia, ditentukan oleh bagaimana hari ini melindungi generasi muda.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Linggauni -
Muhammad Nasir
Linggauni -
EditorLinggauni -
Follow Us