Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Pria Disabilitas Tanpa Lengan Pakai Kaki Lakukan Pelecehan, Benarkah?

Ketua HIMPSI NTB Lalu Yulhaidir. (IDN Times/Muhammad Nasir)

Mataram, IDN Times - Ditreskrimum Polda NTB menggandeng ahli psikologi atau psikolog dalam kasus seorang pria disabilitas tanpa tangan inisial IWAS alias Agus yang ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan pelecehan seksual terhadap tiga mahasiswi di Kota Mataram.

Ketua Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) Provinsi NTB Lalu Yulhaidir menyampaikan peran psikolog sebagai saksi ahli dalam kasus tersebut untuk membantu aparat kepolisian membuat terang suatu perkara.

"Jadi melalui pemeriksaan psikologi yang kami lakukan kepada korban maupun pelaku tujuannya menghadirkan profil psikologis mereka. Sehingga menjadi salah satu referensi dalam mengambil keputusan terkait dengan pelaku atau korban," kata Yulhaidir di Mataram, Senin (2/12/2024).

1. Lakukan pemeriksaan terhadap tersangka dan korban

Ilustrasi psikolog dan pasien (pexels.com/SHVETS production)

Yulhaidir menjelaskan pihaknya melakukan pemeriksaan paikologi bukan hanya kepada pelaku atau tersangka. Tetapi pemeriksaan psikologi juga dilakukan kepada korban. Dalam perspektif psikologi, penyandang disabilitas juga memungkinkan melakukan pelecehan seksual.

Individu dalam melakukan kebaikan dan keburukan, ada latar belakangnya. Tidak serta merta secara tiba-tiba terjadi suatu kasus atau capaian tertentu tanpa ada latar belakang pengalaman, proses pembelajaran, berlatih perilaku sampai akhirnya terbentuk suatu pola atau keahlian tertentu baik dalam hal kebaikan maupun keburukan.

"Kebaikan bisa dilatih, keburukan juga bisa dilatih. Termasuk korban juga memiliki latar belakang kondisi tertentu misalnya pengalaman, experience, gangguan emosi atau kondisi psikologis tertentu yang terjadi pada hari ini. Sehingga kondisi psikologis tertentu membuat individu rentan sebagai korban," jelasnya.

Dijelaskan, psikososial individu disabilitas dengan non-disabilitas itu sama, tidak ada perbedaan. Hanya saja yang membuat perbedaan, disabilitas cenderung terlambat dalam puberitas. Kemudian akses terhadap pendidikan seks yang terbatas.

"Apakah disabilitas bisa menjadi pelaku kekerasan tertentu, itu sangat memungkinkan. Dan itu terjadi tidak pada satu atau dua kasus. Tetapi banyak disabilitas mental, disabilitas intelektual bisa melakukan tindakan-tindakan kekerasan, pelecehan bahkan kriminal," tutur Yulhaidir.

2. Manipulasi emosi

ilustrasi pelecehan

Yulhaidir mengatakan ada kondisi psikologis tertentu pada individu yang membuat rawan menjadi korban. Begitu pun pelaku, ada karakteristik tertentu, yaitu kontrol diri yang lemah dan kemampuan kendali diri yang terbatas.

"Jadi ada permasalahan pada kemampuan mengontrol seksualitas baik terjadi karena usia. Semakin tinggi usia, kalau tak mendapatkan perhatian semakin berisiko. Bahkan kemudian mengalami permasalahan emosional sosial. Apalagi disertai latar belakang perundungan, kekerasan, pengabaian usia dini akan menjadi pola tertentu di usia berikutnya," terangnya.

Lalu bagaimana seseorang melakukan pelecehan seksual? Dalam konsep psikologi, kata Yulhaidir, ada yang disebut manipulasi emosi. Manipulasi emosi umumnya terjadi dalam kasus pelecehan di luar sana. Di mana, pelaku muncul menawarkan keahlian tertentu atau solusi tertentu.

"Dalam kajian psikologi kasus pelecehan, kekerasan, pemerkosaan, persetubuhan ini, ada gangguan kepribadian tertentu. Umumnya, banyak gangguan tertentu dalam psikologi yang akhirnya mengerakkan individu melakukan kekerasan, pelecehan seksual. Banyak aspek dalam psikologi yang memudahkan seseorang terlibat dalam kekerasan seksual tertentu," tandas Yulhaidir.

3. Meski tak punya tangan, pelaku bisa gunakan kaki buka celana korban

Ilustrasi (Pinterest)

Dalam kasus pelecehan seksual yang diduga dilakukan pria disabilitas tanpa tangan inisial IWAS, ada tiga mahasiswi di Kota Mataram yang menjadi korban. Pendamping Korban dari Pusat Bantuan Hukum Mangandar (PBHM) NTB Andre Saputra menjelaskan kenapa pelaku bisa melakukan pelecehan seksual kepada tiga mahasiswi yang menjadi korban.

"Gambaran umumnya adalah modus pelaku melakukan demikian kepada korban. Karena ada ancaman, intimidasi, manipulasi dan tipu muslihat yang dilakukan pelaku. Itu modusnya semua sama kepada korban lainnya," kata Andre.

Andre menjelaskan saat pelaku dilaporkan ke Polda NTB terkait dugaan pemerkosaan kepada mahasiswi, pelaku langsung memberikan klarifikasi lewat media sosial. Tim pendamping korban kemudian melakukan identifikasi untuk menemukan korban-korban lainnya.

"Kami sudah mengidentifikasi itu, ada beberapa korban, pertama 8 September 2024. Kedua, 1 Oktober 2024, ada dua korban. Kemudian tanggal 7 Oktober 2024, yang sekarang ini menjadi pelapor," tutur Andre.

Andre juga menjelaskan kenapa pelaku bisa melakukan pelecehan seksual padahal tidak memiliki tangan atau disabilitas. Dia mengatakan pelaku dalam melakukan aksinya bisa menggunakan kakinya untuk membuka legging celana korban.

"Jadi, framing yang disampaikan pelaku tidak benar adanya. Kami dapatkan dari korban, pelaku bisa membuka celana korban menggunakan kaki," ungkap Andre.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Linggauni
Muhammad Nasir
Linggauni
EditorLinggauni
Follow Us