Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Penarikan Royalti Musik, Gubernur NTB: Banyak yang Gelisah!

IMG_20250730_111553_612.jpg
Gubernur NTB Lalu Muhamad Iqbal. (IDN Times/Muhammad Nasir)

Mataram, IDN Times - Gubernur NTB Lalu Muhamad Iqbal mengungkapkan banyak pengusaha hotel, restoran dan kafe yang gelisah dengan kebijakan penarikan royalti musik atau lagu. Untuk itu, Pemprov NTB akan mendengar masukan dan pandangan berbagai pihak agar aturan penarikan royalti musik dapat dikaji ulang.

"Banyak sekali yang menyampaikan kegelisahan tentang royalti musik ini. Tapi kita mau dengar dulu pandangan beberapa pihak," kata Iqbal dikonfirmasi di Mataram, Jumat (15/8/2025).

1. Berdampak pada industri hotel dan restoran

IMG-20250814-WA0028.jpg
Ilustrasi hotel di Senggigi Lombok Barat. (IDN Times/Muhammad Nasir)

Kebijakan penarikan royalti musik banyak diprotes pengusaha hotel dan restoran di NTB. Karena minimnya sosialisasi terhadap pengusaha hotel dan restoran di NTB.

Menurut Iqbal, penarikan royalti musik ini akan berpengaruh terhadap sektor pariwisata khususnya industri hotel dan restoran. Untuk itu, dia akan menghimpun masukan dan pandangan dari pihak-pihak terkait untuk disampaikan ke pemerintah pusat.

"Mudah-mudahan nanti kita bisa menyampaikan. Tidak mungkin tidak langsung berdampak. Tapi mungkin akan ada dampaknya. Makanya kita mau dengar dulu pandangan dari pihak terkait dengan royalti ini," jelasnya.

2. Pertanyakan dasar penetapan dan transparansi penyaluran royalti musik

IMG_20250807_180831_014.jpg
General Manager Aruna Senggigi Resort & Convention, Yeyen Heryawan. (IDN Times/Muhammad Nasir)

Royalti musik diberlakukan bagi pelaku usaha yang memutar lagu di ruang publik, termasuk hotel dan restoran. Namun, sebagian pengusaha menilai kewajiban tersebut tidak sepenuhnya relevan, terutama jika musik yang diputar tidak memiliki tujuan komersial.

Pengusaha hotel dan restoran di Lombok memprotes kebijakan terkait pembayaran royalti pemutaran lagu. Penetapan besaran tarif royalti musik yang diputar di hotel dan restoran oleh Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) dinilai belum jelas.

Pengusaha hotel dan restoran di NTB juga mempertanyakan transparansi penyaluran royalti yang telah dibayarkan. Apakah royalti yang dibayarkan disalurkan tepat sasaran oleh LMKN kepada para musisi yang lagunya diputar. Mereka juga mendesak agar dilakukan uji materi atau judicial review Undang-Undang No. 8 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

"Intinya kami sebenarnya memohon untuk meninjau ulang UU-nya. Karena aturannya harus lebih jelas terutama aturan dasarnya pembayaran royalti. Kalau di hotel berdasarkan jumlah kamar itu dari mana dasarnya," kata General Manager Aruna Senggigi Resort & Convention, Yeyen Heryawan.

Selama ini belum ada sosialisasi yang dilakukan LMKN kepada pengusaha hotel dan restoran di NTB terkait penarikan royalti. Tiba-tiba, pengusaha hotel dan restoran dikagetkan dengan kasus Mie Gacoan yang kena pidana karena tak membayar royalti lagu.

Dia juga meminta LMKN memberikan daftar lagu-lagu yang harus berbayar. Karena selama ini, belum ada sosialisasi terkait hal itu. "Selama ini belum ada sosialisasi, hanya kita dikejar UU. Tiba-tiba kena pidana orang," keluhnya.

Hotel Aruna Senggigi, kata Yeyen, harus membayar royalti lagu sekitar Rp6 juta per tahun. Penetapan besaran royalti itu berdasarkan jumlah kamar yang dimiliki sebanyak 136. Yeyen mengaku pihaknya tidak keberatan atas pengenaan royalti lagu, asalkan perhitungannya harus jelas.

3. Sudah kena pajak, harus bayar royalti

ilustrasi royalti (pexels.com/Photo By: Kaboompics.com)
ilustrasi royalti (pexels.com/Photo By: Kaboompics.com)

Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) NTB Ni Ketut Wolini mengatakan pihaknya pernah diajak bicara terkait penarikan royalti lagu yang diputar di hotel dan restoran. Seharusnya, LMKN memberikan sosialisasi kepada pengusaha hotel dan restoran di daerah.

"Ini tidak pernah diajak bicara, sosialisasi belum pernah ke PHRI. Jadinya kalau PHRI pusat, okelah. Tapi secara teknis di lapangan kita langsung, agak sulit juga kita tidak bisa koordinasi," kata Wolini.

Wolini mengatakan penarikan royalti memberatkan industri hotel dan restoran di NTB. Meski demikian, pengusaha hotel dan restoran tetap membayar royalti dengan terpaksa karena adanya ancaman hukuman pidana.

Dia mengungkapkan selama ini industri hotel dan restoran sudah kena pajak yang cukup tinggi. Hampir 30 persen pendapatan digunakan untuk membayar pajak, baik pajak daerah maupun pusat. "Kalau dihitung hampir 30 persen kita bayar pajak dari total semua pajak," sebutnya.

Dia mengatakan industri hotel dan restoran di NTB menghadapi tantangan yang semakin berat. Industri hotel dan restoran terkena dampak gempa Lombok 2018. Belum pulih dari dampak gempa, muncul pandemik COVID-19 dan sekarang kebijakan efisiensi anggaran yang dilakukan pemerintah.

"Gimana bisa bangkit. Ini baru bangkit kita diterpa bencana, sekarang efisiensi dan royalti," tandasnya.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Linggauni -
EditorLinggauni -
Follow Us