Bencana Banjir Menghantui, 60 Persen Hutan NTB dalam Kondisi Kritis

Mataram, IDN Times - Bencana banjir bandang yang terjadi di Sumatra membayangi wilayah Nusa Tenggara Barat (NTB). Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) NTB mencatat sekitar 60 persen kawasan hutan dalam kondisi kritis.
Di samping itu, terdapat 718 izin usaha pertambangan baik logam dan non logam yang merusak lingkungan di NTB. "Apakah kita punya tingkat keterancaman kayak banjir bandang di Sumatra? Pasti, karena agenda pembangunan kita diorientasikan di kawasan hutan," kata Amry dikonfirmasi IDN Times di Mataram, Kamis (4/12/2025).
1. Marak aktivitas pertambangan dan proyek strategis nasional di kawasan hutan NTB

Walhi mengingatkan bahwa kerusakan kawasan hutan di NTB sudah sangat kritis. Dari satu juta hektare luas kawasan hutan, sekitar 60 persen atau 600 ribu hektare dalam kondisi kritis.
Pemerintah daerah harus segera menyikapi kondisi ini dengan melakukan pemulihan atau recovery kawasan hutan. Dia menyebutkan, sangat marak aktivitas pertambangan baik yang legal maupun ilegal di kawasan hutan di NTB.
Kemudian pengembangan pariwisata seperti proyek kereta gantung Rinjani dengan luas kawasan hutan mencapai 500 hektare. Selain itu, banyak proyek strategis nasional (PSN) seperti pembangunan bendungan yang juga di kawasan hutan.
Ada juga pertanian monokultur tanaman jagung yang marak di Pulau Sumbawa. Seharusnya, pemerintah menjaga kelestarian dan tutupan hutan. Tetapi justru, agenda pembangunan banyak di kawasan hutan.
"Itu juga potensi-potensi yang juga harus direfleksikan oleh pemerintah daerah untuk diubah pola pembangunannya. Tidak kemudian pembangunan yang diorientasikan di kawasan hutan yang hari ini sudah kritis sampai 60 persen," jelas Amry.
2. Soroti 718 izin usaha pertambangan di NTB

Amry menyoroti semakin banyaknya izin usaha pertambangan di NTB. Data terbaru yang diperoleh terdapat 718 izin usaha pertambangan baik mineral logam dan non logam di NTB sampai 2025. Angkanya meningkat cukup signifikan dibandingkan 2023 lalu yang hanya 355 izin usaha pertambangan.
Selain kawasan hutan, pembangunan juga menyasar kawasan pesisir dan lahan pertanian pangan berkelanjutan yang sudah ditetapkan pemerintah. Seharusnya, pemerintah daerah NTB melakukan refleksi terhadap agenda pembangunan di NTB, mengingat sudah banyak bencana hidrometeorologi yang terjadi di Lombok dan Sumbawa.
Dia juga menyoroti hutan tanaman industri oleh PT Sadhana Arif Nusa di Lombok Tengah yang berada di kawasan hutan. WALHI NTB mendapatkan pengaduan dari masyarakat bahwa lahan pertanian mereka rusak begitu turun hujan lebat.
"Artinya pengelolaan kawasan hutan tidak sesuai peruntukannya dan tidak menjamin pemulihannya. Belum lagi kita mau kroscek wilayah yang ingin dijadikan wilayah pertambangan rakyat di kawasan hutan kayak Sekotong. Seharusnya dilakukan evaluasi terlebih dahulu," ujarnya.
Pihaknya mendorong pemerintah menyetop izin pertambangan di NTB. Kemudian melakukan evaluasi, recovery dan penegakan hukum pemanfaatan kawasan hutan yang merusak lingkungan karena banyak aktivitas ilegal yang terjadi.
3. Reorientasi pembangunan di kawasan hutan

WALHI NTB mendorong gubernur untuk melakukan reorientasi pembangunan di kawasan hutan. Jangan lagi kawasan hutan diperuntukkan untuk konsesi izin yang mengurangi luasan kawasan tutupan hutan di NTB.
Menurut Amry, kawasan hutan di Pulau Lombok dan Sumbawa sudah mengalami kerusakan yang parah. Jika aktivitas pembangunan di kawasan hutan tidak disetop, maka NTB tinggal menunggu waktu mengalami bencana banjir bandang seperti di Aceh, Sumatra Utara dan Sumatra Barat.
"Kalau kawasan hutan dibiarkan kayak sekarang, kita akan menunggu dampak bencana ekologi terjadi. Kita tidak berdoa, tapi kalau tidak ada tindakan konkret pemerintah khususnya melakukan pemulihan ekosistem berkelanjutan, maka kita akan menuai bencana yang lebih besar lagi dari kejadian di wilayah lain," kata dia.
Sementara itu, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) NTB mengungkapkan sebanyak 180 hektare hutan di NTB dalam kondisi kritis. Luas hutan kritis di NTB mengalami penurunan sekitar 10 hektare dari data tahun 2022 ke 2024.
Kepala Bidang Planologi dan Produksi Hutan Dinas LHK NTB Burhan Bono menyebutkan luas hutan kritis pada 2022 sebesar 192 ribu hektare. Kemudian turun menjadi 180 ribu hektare pada 2024. Untuk merehabilitasi 180 ribu hektare hutan yang kritis di NTB, membutuhkan anggaran sekitar Rp1,4 triliun hingga Rp2,16 triliun.
"Data 2022 ke 2024, lahan kritis mengalami pengurangan sekitar 10 ribu hektar. Dari 192 ribu hektare menjadi 180 ribuan hektare. Biaya perbaikannya lumayan besar kalau dikali Rp8 juta sampai Rp12 juta per hektare, berapa triliun itu," kata Bono di Mataram, Senin (15/9/2025).
Dia menyebutkan biaya untuk merehabilitasi hutan yang kritis sekitar Rp8 juta sampai Rp12 juta per hektare. Artinya, rehabilitasi hutan kritis seluas 180 ribu hektare membutuhkan anggaran sebesar Rp1,4 triliun sampai Rp2,16 triliun.
Apabila rehabilitasi hutan kritis hanya ditangani pemerintah, maka butuh waktu bertahun-tahun. Tetapi jika melibatkan masyarakat dia memperkirakan bisa sampai lima tahun.
"Kalau bisa mengubah mindset masyarakat, mungkin bisa lima tahun. Karena yang kita butuhkan mindset masyarakat. Sekarang pengelolanya masyarakat banyak, yang sudah melakukan pengelolaan. Kalau strateginya mungkin kita tak butuh biaya banyak untuk perbaikan hutan kritis jika melibatkan masyarakat," kata dia.
Bono menjelaskan untuk mengurangi hutan yang kritis di NTB, saat ini masyarakat telah didorong untuk menanam kemiri. Dia mengungkapkan penanaman kemiri di hutan yang kritis sudah mulai dilakukan di beberapa kabupaten/kota seperti hutan Parado di Kabupaten Bima dan hutan Mareje Timur di Lombok Barat.
Harga jual kemiri juga sangat menjanjikan yaitu Rp10 ribu per kilogram. Dia mencontohkan seperti di hutan Mareje Timur, pada lahan seluas 2 hektare terdapat 150 pohon kemiri. Produksinya mencapai 1,3 ton sekali musim.



















