5 Alasan Mengapa Seseorang Tetap Bertahan di Hubungan yang Menyakitkan

- Takut kesepian lebih dari takut terluka
- Ketergantungan emosional dan pola trauma
- Meyakini bahwa pasangan akan berubah
Hubungan seharusnya menjadi tempat untuk tumbuh, merasa aman, dan saling menyembuhkan. Namun tidak semua hubungan berjalan seperti itu. Ada kalanya, hubungan justru menjadi sumber luka, kecemasan, bahkan kehilangan jati diri. Meski begitu, banyak orang tetap bertahan di dalamnya, bahkan ketika hati mereka terus-menerus tersakiti. Mengapa?
Pertanyaan ini sering muncul, baik dari orang luar maupun dari diri sendiri. Jawabannya ternyata tidak sesederhana “karena cinta”. Ada banyak faktor psikologis, emosional, dan sosial yang membuat seseorang tetap bertahan dalam hubungan yang menyakitkan.
Berikut 5 alasan umum mengapa seseorang enggan keluar dari relasi yang merugikan, meskipun tahu bahwa itu menyakitkan.
1. Takut kesepian lebih dari takut terluka

Bagi banyak orang, kesepian adalah ketakutan yang lebih besar daripada rasa sakit yang mereka alami dalam hubungan. Perasaan “lebih baik terluka tapi ada yang menemani” sering kali menjadi alasan seseorang bertahan. Mereka merasa bahwa kehadiran pasangan, meski menyakitkan, tetap lebih baik daripada sendirian.
Rasa takut ini biasanya berakar dari pengalaman masa lalu atau keyakinan bahwa diri mereka tidak cukup layak dicintai oleh orang lain. Akhirnya, mereka memilih bertahan meski tidak bahagia, karena merasa tidak ada pilihan yang lebih baik atau takut tidak akan menemukan cinta lagi.
2. Ketergantungan emosional dan pola trauma

Orang yang tumbuh dalam lingkungan keluarga yang tidak sehat sering kali tidak memiliki referensi hubungan yang aman dan suportif. Mereka mungkin terbiasa dengan dinamika yang penuh konflik, manipulasi, atau pengabaian, dan tanpa disadari menganggap pola itu sebagai “normal”.
Ketika pola relasi seperti ini terbawa ke dalam hubungan dewasa, mereka bisa menjadi sangat tergantung secara emosional pada pasangan yang menyakitkan. Meski menyadari bahwa hubungan itu tidak sehat, mereka merasa sulit pergi karena ada bagian dari diri mereka yang “terikat” secara traumatis pada dinamika yang menyakitkan tersebut.
3. Meyakini bahwa pasangan akan berubah

Harapan bisa menjadi hal yang sangat kuat, bahkan ketika tidak realistis. Banyak orang bertahan karena percaya bahwa pasangannya akan berubah, bahwa luka yang terjadi hanya sementara, atau bahwa cinta mereka cukup kuat untuk menyembuhkan semuanya.
Masalahnya, perubahan tidak bisa dipaksakan atau dijanjikan. Jika seseorang terus-menerus tersakiti, namun tetap menaruh harapan pada perubahan tanpa ada tanda konkret, maka harapan itu bisa berubah menjadi jebakan. Ini menciptakan siklus harapan-pengkhianatan-penyesalan yang terus berulang dan membuat seseorang sulit melepaskan diri.
4. Harga diri yang terlanjur terkikis

Hubungan yang menyakitkan sering kali mengikis harga diri seseorang secara perlahan. Kata-kata merendahkan, gaslighting, atau pengabaian emosional membuat seseorang mulai percaya bahwa dirinya memang tidak pantas dicintai atau dihargai. Mereka merasa beruntung masih “dipertahankan”, meski hanya sebagai pelampiasan.
Ketika harga diri sudah rusak, seseorang bisa kehilangan kemampuan untuk melihat dirinya secara objektif. Ia mungkin merasa bahwa tidak ada orang lain yang akan mencintainya, atau bahwa semua hubungan akan sama menyakitkannya. Pemikiran ini membuat mereka bertahan bukan karena cinta, tapi karena kehilangan rasa percaya diri untuk keluar.
5. Takut penilaian sosial dan tekanan lingkungan

Di banyak budaya, hubungan terutama pernikahan, dianggap sebagai sesuatu yang harus dipertahankan, apapun kondisinya. Orang yang ingin keluar dari hubungan sering kali mendapat tekanan dari keluarga, lingkungan sosial, atau bahkan komunitas keagamaan agar “sabar”, “mempertahankan”, atau “jangan egois”.
Tekanan ini membuat seseorang merasa bersalah jika memilih dirinya sendiri. Mereka lebih takut dicap gagal atau durhaka daripada menghadapi kenyataan bahwa dirinya sedang terluka. Ini menciptakan jebakan emosional yang sulit dilepaskan, karena keputusannya tidak lagi soal perasaan pribadi, melainkan tentang pandangan banyak orang.
Bertahan dalam hubungan yang menyakitkan bukanlah tanda kelemahan, melainkan refleksi dari kompleksitas emosi manusia dan luka batin yang belum selesai. Untuk bisa keluar dari siklus tersebut, seseorang perlu lebih dulu menyadari nilai dirinya, berani melihat realita hubungan apa adanya, dan memberi ruang bagi diri sendiri untuk sembuh. Ingatlah, cinta yang sehat tidak pernah melukai secara terus-menerus. Kamu berhak untuk dicintai dengan cara yang tidak menyakitimu.
Demikian 5 alasan umum mengapa seseorang enggan keluar dari relasi yang merugikan, meskipun tahu bahwa itu menyakitkan.