Pemda Bilang Turun, Angka Stunting di NTB Justru Naik Jadi 32,7 Persen

Lombok Tengah tertinggi angka stunting di NTB

Mataram, IDN Times - Angka stunting di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) naik menjadi 32,7 persen berdasarkan hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2022. Angka stunting naik sebesar 1,3 persen dari tahun 2021 yaitu 31,4 persen.

Sementara, berdasarkan pendataan yang dilakukan lewat aplikasi elektronik-Pencatatan dan Pelaporan Gizi Berbasis masyarakat (e-PPGBM) tahun 2022, Pemprov NTB menyatakan angka stunting terjadi penurunan. Pada 2022, angka stunting di NTB turun menjadi 16,84 persen.

1. Angka stunting tertinggi di Lombok Tengah

Pemda Bilang Turun, Angka Stunting di NTB Justru Naik Jadi 32,7 PersenKepala Seksi Gizi dan Promosi Kesehatan Dinkes NTB Muhammad Johansyah. (IDN Times/Muhammad Nasir)

Kepala Dinas Kesehatan Provinsi NTB melalui Kepala Seksi Gizi dan Promosi Kesehatan Muhammad Johansyah di Mataram, Selasa (31/1/20223) mengatakan bahwa memang terjadi perbedaan data angka stunting antara SSGI dan e-PPBGM tahun 2022.

Berdasarkan SSGI, angka stunting pada 2022 terjadi kenaikan sebesar 1,3 persen menjadi 32,7 persen. Sedangkan berdasarkan pendataan lewat e-PPBGM, angka stunting di NTB turun menjadi 16,84 persen.

Berdasarkan hasil SSGI 2022, angka stunting tertinggi di NTB berada di Kabupaten Lombok Tengah, yaitu sebesar Tengah 37 persen. Kemudian disusul Lombok Utara 35,9 persen, Lombok Timur 35,6 persen, Dompu 34,5 persen, Lombok Barat 34 persen, Kota Bima 31,2 persen, Sumbawa 29,7 persen, Bima 29,5 persen, Kota Mataram 25,8 persen, dan Sumbawa Barat 13,9 persen.

Baca Juga: Bima Mengkhawatirkan, 12 Penderita DBD di NTB Meninggal 

2. 75.503 balita di NTB mengalami stunting berdasarkan data e-PPBGM 2022

Pemda Bilang Turun, Angka Stunting di NTB Justru Naik Jadi 32,7 PersenIlustrasi Pengecekan kesehatan anak. (ANTARA FOTO/Maulana Surya)

Sedangkan berdasarkan pendataan by name by address lewat aplikasi e-PPBGM 2022, kata Johansyah, angka stunting di NTB turun menjadi 16,84 persen. Dengan jumlah balita yang stunting sebanyak 75.503 orang.

Dari data e-PPBGM 2022, angka stunting tertinggi berada di Lombok Utara sebesar 22,94 persen, Lombok Tengah 20,81 persen, dan Lombok Barat 18,98 persen. Tiga kabupaten ini, kata Johansyah, menjadi lokus penanganan stunting di NTB. Selanjutnya, Kota Mataram 17,8 persen, Lombok Timur 16,98 persen, Bima 13,88 persen, Kota Bima 13,73 persen, Dompu 13 persen, Sumbawa Barat 8,78 persen, Sumbawa 8,11 persen.

Dari sisi jumlah balita yang mengalami stunting, kata Johansyah di Lombok Barat sebanyak 11.761 balita, Lombok Tengah 18.683 balita, Lombok Timur 20.890 balita, Sumbawa 2.925 balita, Dompu 2.715 balita, Bima 6.003 balita, Sumbawa Barat 1.025 balita, Lombok Utara 5.383 balita, Kota Mataram 4.462 balita, dan Kota Bima 1.656 balita.

3. Pemda NTB gunakan data e-PPBGM sebagai acuan

Pemda Bilang Turun, Angka Stunting di NTB Justru Naik Jadi 32,7 PersenIlustrasi penimbangan berat badan bayi di Posyandu. (ANTARA FOTO/Anis Efizudin)

Johansyah menjelaskan Pemda di NTB sepakat menggunakan data e-PPBGM untuk penanganan stunting karena sifatnya lebih operasional. Dimana, pengukuran balita stunting dilakukan by name by address lewat 7.676 posyandu keluarga yang tersebar di seluruh kabupaten/kota.

Dari 7.676 posyandu keluarga di NTB, sebanyak 99,57 persen yang menginput data lewat aplikasi e-PPBGM tahun 2022 dengan jumlah sasaran sebanyak 455.000 anak. Sehingga, menurut Johansyah, pengukuran yang dilakukan lewat posyandu keluarga hampir menyentuh semua populasi atau sasaran.

"Yang menjadi acuan tentunya untuk menilai status gizi karena ini berkenaan dengan sistem yang berjalan. Kalau kita di NTB, sudah disepakati oleh pimpinan daerah, karena sifatnya operasional, itu menggunakan e-PPBGM. Karena data ini by name by address.," terangnya.

4. Kemenkes gunakan acuan data hasil SSGI

Pemda Bilang Turun, Angka Stunting di NTB Justru Naik Jadi 32,7 Persengoogle

Tetapi secara nasional, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menggunakan data SSGI sebagai acuan. Karena menurut Johansyah, pelaksanaan pendataan lewat e-PPBGM ini tidak semua provinsi bisa maksimal dalam proses penginputan data sehingga Kemenkes mengeluarkan data survei SSGI.

"Walaupun masing-masing ada justifikasinya, tujuan berbeda, sasaran juga lain. Adanya perbedaan ini, dua hal kita korelasikan," ucapnya.

Terlepas dari perbedaan data tersebut, Johansyah mengatakan bahwa yang paling penting adalah intervensi penanganan stunting. Data SSGI yang merupakan hasil survei dilengkapi dengan data yang diperoleh secara by name by address lewat e-PPBGM.

Dikatakan penanganan stunting dilakukan melalui intervensi spesifik dan intervensi sensitif. Intervensi spesifik dilakukan Dinas Kesehatan dengan 9 indikator. Dari 9 indikator intervensi spesifik yang dilakukan dalam penanganan stunting, hanya 2 indikator yang tidak memenuhi target yaitu ibu hamil minum tablet tambah darah dan remaja putri minum tablet tambah darah.

Sedangkan 7 indikator lainnya telah memenuhi target. Johansyah menjelaskan intervensi spesifik dalam penanganan stunting berkontribusi sebesar 30 persen, sedangkan intervensi sensitif di luar Dinas Kesehatan daya ungkitnya sebesar 70 persen.

Sehingga, perlu terus didorong penguatan intervensi sensitif dalam upaya menekan kasus stunting di NTB. Intervensi sensitif itu sendiri seperti masalah sosial, budaya, sanitasi, pemberian bantuan sosial dan jaminan kesehatan bagi penderita stunting.

Baca Juga: 25.796 Anak di NTB Menderita Gizi Buruk, Lombok Timur Terbanyak

Topik:

  • Linggauni

Berita Terkini Lainnya