FJPI Sesalkan Penghentian Kasus Persekusi Jurnalis Perempuan di NTB

Mataram, IDN Times - Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) menyesalkan keputusan Polresta Mataram yang menghentikan penyelidikan kasus kekerasan yang dialami seorang jurnalis perempuan bernisial YNQ di Nusa Tenggara Barat (NTB). FJPI mendesak polisi untuk melanjutkan kembali kasus tersebut menggunakan UU No. 40/1999 tentang Pers karena korban mengalami kekerasaan saat sedang menjalankan tugas jurnalistik.
Ketua Umum FJPI Pusat Khairiah Lubis mengatakan, tindakan pelaku yang melakukan persekusi, intimidasi, dan kekerasan fisik pada korban jelas-jelas melanggar UU Pers. Sesuai dengan Pasal 8 UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, jurnalis sudah semestinya mendapatkan perlindungan hukum dalam melaksanakan profesinya.
Dalam Pasal 4 ayat (2) UU Pers juga disebutkan, Pers berhak mengakses, mengolah, dan menyampaikan informasi kepada publik tanpa adanya intervensi dari pihak mana pun. Selain itu, Pasal 4 ayat (3) menyatakan, kebebasan pers harus dilindungi dari segala bentuk pembatasan yang dapat menghambat kinerjanya.
1. FJPI bakal adukan ke Dewan Pers

Dalam kasus tersebut, YNQ yang merupakan jurnalis Inside Lombok menjadi korban kekerasaan saat sedang meliput dan meminta konfirmasi terkait banjir yang terjadi di kompleks perumahan milik PT MA di Kecamatan Labuapi, Lombok Barat, pada 11 Febaruari 2025. Saat itu, korban bersama sejumlah jurnalis lain datang untuk meminta konfirmasi pada pihak pengembang perumahan.
Namun, saat proses wawancara, pihak PT MA memprotes unggahan terkait banjir di akun media sosial Inside Lombok pada korban. Korban lantas mendapat persekusi dan intimidasi dari pihak pengembang perumahan yang tidak bersedia dikonfirmasi dengan mempertanyakan kredibilitas pribadinya.
Saat itu, korban memutuskan keluar ruangan dan menangis karena tidak tahan dengan perlakuan tersebut. Namun, oknum pihak pengembang perumahan inisial AG kemudian mengejar korban. Saat itulah, pelaku diduga melakukan tindak kekerasan dengan menarik tangan dan meremas bagian wajah korban.
Kasus tersebut kemudian dilaporkan ke Polresta Mataram. Namun, Polresta Mataram justru menghentikan penyelidikan kasus tersebut dengan alasan perbuatan terlapor belum memenuhi unsur pidana sesuai pasal yang disangkakan, yakni Pasal 335 KUHP terkait dengan kekerasan atau ancaman kekerasan.
“Kami menyesalkan penghentian penyelidikan kasus kekerasan ini oleh Polresta Mataram. FJPI akan mengadukan kasus kekerasan terhadap jurnalis perempuan dan penghentian penyelidikan kasus ini ke Dewan Pers,” kata Khairiah, Jumat (11/4/2025).
Menurut Khairiah, tindak kekerasan yang dialami korban telah menimbulkan trauma. Hal itu dibuktikan dari hasil tes psikologi dari Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Mataram yang menyebutkan korban mengalami trauma berat dan tertekan. Apalagi, korban mengalami kekerasan saat sedang bekerja dalam kondisi hamil.
2. Desak polisi melanjutkan penyelidikan

Ketua Divisi Hukum FJPI Devy Diani mendesak aparat kepolisian melanjutkan penyelidikan kasus kekerasan itu menggunakan UU No. 40/1999 tentang Pers. Hal ini karena korban mengalami kekerasan saat sedang melaksanakan tugas jurnalistik.
“Hal ini sesuai dengan MoU yang sudah disepakati antara Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan Dewan Pers yang tertuang dalam surat Nomor 03/DP/MoU/III/2022 dan Nomor NK/4/III/2022, tentang Perlindungan Kemerdekaan Pers dan Penegakan Hukum dalam Kaitan dengan Penyalahgunaan Profesi Wartawan. PKS pertama ini merupakan turunan dari nota kesepahaman Dewan Pers-Mabes Polri yang telah disepakati sebelumnya. Tujuan utama PKS tersebut untuk meminimalkan kriminalisasi terhadap karya jurnalistik,” jelas Devy.
Dalam UU Pers, ketentuan pidana diatur dalam Pasal 18 ayat (1) UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers yang menyebutkan, setiap orang yang melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp500 juta.
3. Tim Penasihat Hukum bakal laporkan ke Kompolnas

Kasatreskrim Polresta Mataram melalui Kanit Jatanras, Iptu Ahmad Taufik membenarkan penghentian penyelidikan kasus persekusi atau ancaman kekerasan terhadap pelapor YNQ. Dia mengatakan berdasarkan hasil penyelidikan, dengan melakukan pemeriksaan terhadap saksi-saksi, CCTV dan keterangan ahli pidana, perbuatan terlapor dinilai belum memenuhi unsur pidana sesuai pasal yang disangkakan yaitu pasal 335 KUHP terkait dengan kekerasan atau ancaman kekerasan.
Taufik menjelaskan beberapa pertimbangan penyidik dalam menghentikan penyelidikan kasus tersebut. Berdasarkan fakta-fakta penyelidikan dan keterangan saksi ahli pidana. Dia menjelaskan dari keterangan sejumlah saksi, tidak melihat korban yang mukanya dibejek-bejek oleh terlapor.
Dia menyebutkan selama proses penyelidikan sebanyak 11 orang saksi yang telah diperiksa penyidik Unit Jatanras Satreskrim Polresta Mataram. Sebelas saksi tersebut merupakan warga, wartawan, terlapor, security dan driver perumahan.
Tim Penasihat Hukum korban YNQ, Joko Jumadi menyayangkan penghentian kasus persekusi jurnalis Inside Lombok tersebut. Dia mengatakan bahwa ada perbedaan pendapat antara saksi ahli pidana dalam kasus ini. Joko menjelaskan pihaknya sedang mendalami penghentian kasus ini.
Pihaknya sedang melakukan pendalaman dan melakukan langkah hukum berikutnya. Yaitu melaporkan aparat kepolisian yang melakukan penyelidikan ke Pengawas Penyelidik/Penyidik ( Wassidik) dan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas).
"Kita akan pikirkan langkah hukumnya apakah laporkan ke Wassidik atau Kompolnas, nanti kita lihat langkah-langkah hukumnya," kata Joko.