Kawasan hutan yang kritis di kabupaten Bima, NTB. (IDN Times/Istimewa)
WALHI NTB mendorong gubernur untuk melakukan reorientasi pembangunan di kawasan hutan. Jangan lagi kawasan hutan diperuntukkan untuk konsesi izin yang mengurangi luasan kawasan tutupan hutan di NTB.
Menurut Amry, kawasan hutan di Pulau Lombok dan Sumbawa sudah mengalami kerusakan yang parah. Jika aktivitas pembangunan di kawasan hutan tidak disetop, maka NTB tinggal menunggu waktu mengalami bencana banjir bandang seperti di Aceh, Sumatra Utara dan Sumatra Barat.
"Kalau kawasan hutan dibiarkan kayak sekarang, kita akan menunggu dampak bencana ekologi terjadi. Kita tidak berdoa, tapi kalau tidak ada tindakan konkret pemerintah khususnya melakukan pemulihan ekosistem berkelanjutan, maka kita akan menuai bencana yang lebih besar lagi dari kejadian di wilayah lain," kata dia.
Sementara itu, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) NTB mengungkapkan sebanyak 180 hektare hutan di NTB dalam kondisi kritis. Luas hutan kritis di NTB mengalami penurunan sekitar 10 hektare dari data tahun 2022 ke 2024.
Kepala Bidang Planologi dan Produksi Hutan Dinas LHK NTB Burhan Bono menyebutkan luas hutan kritis pada 2022 sebesar 192 ribu hektare. Kemudian turun menjadi 180 ribu hektare pada 2024. Untuk merehabilitasi 180 ribu hektare hutan yang kritis di NTB, membutuhkan anggaran sekitar Rp1,4 triliun hingga Rp2,16 triliun.
"Data 2022 ke 2024, lahan kritis mengalami pengurangan sekitar 10 ribu hektar. Dari 192 ribu hektare menjadi 180 ribuan hektare. Biaya perbaikannya lumayan besar kalau dikali Rp8 juta sampai Rp12 juta per hektare, berapa triliun itu," kata Bono di Mataram, Senin (15/9/2025).
Dia menyebutkan biaya untuk merehabilitasi hutan yang kritis sekitar Rp8 juta sampai Rp12 juta per hektare. Artinya, rehabilitasi hutan kritis seluas 180 ribu hektare membutuhkan anggaran sebesar Rp1,4 triliun sampai Rp2,16 triliun.
Apabila rehabilitasi hutan kritis hanya ditangani pemerintah, maka butuh waktu bertahun-tahun. Tetapi jika melibatkan masyarakat dia memperkirakan bisa sampai lima tahun.
"Kalau bisa mengubah mindset masyarakat, mungkin bisa lima tahun. Karena yang kita butuhkan mindset masyarakat. Sekarang pengelolanya masyarakat banyak, yang sudah melakukan pengelolaan. Kalau strateginya mungkin kita tak butuh biaya banyak untuk perbaikan hutan kritis jika melibatkan masyarakat," kata dia.
Bono menjelaskan untuk mengurangi hutan yang kritis di NTB, saat ini masyarakat telah didorong untuk menanam kemiri. Dia mengungkapkan penanaman kemiri di hutan yang kritis sudah mulai dilakukan di beberapa kabupaten/kota seperti hutan Parado di Kabupaten Bima dan hutan Mareje Timur di Lombok Barat.
Harga jual kemiri juga sangat menjanjikan yaitu Rp10 ribu per kilogram. Dia mencontohkan seperti di hutan Mareje Timur, pada lahan seluas 2 hektare terdapat 150 pohon kemiri. Produksinya mencapai 1,3 ton sekali musim.