Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

[WANSUS] Fenomena Tarian Erotis dan Kecimol di Pulau Seribu Masjid

Ketua Dewan Kebudayaan Provinsi NTB Prof. Abdul Wahid. (IDN Times/Muhammad Nasir)

Mataram, IDN Times - Fenomena tarian erotis kesenian Kecimol dan Ale-Ale menjadi sorotan masyarakat di Lombok, yang terkenal dengan sebutan pulau seribu masjid. Majelis Adat Sasak (MAS) secara tegas menyatakan bahwa tarian erotis kesenian Kecimol dan Ale-Ale menyimpang dari budaya Sasak.

Lalu, bagaimana Dewan Kebudayaan Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) menyikapi maraknya tarian erotis yang banyak dipertontonkan di khalayak umum, bahkan banyak beredar di media sosial? Berikut wawancara khusus IDN Times bersama Ketua Dewan Kebudayaan Provinsi NTB, Prof. Abdul Wahid.

1. Bagaimana Dewan Kebudayaan NTB melihat maraknya tarian erotis kesenian Kecimol dan Ale-Ale?

ilustrasi menari (pixabay.com)

Kalau joget erotis dan lain sebagainya itu jelas bentuk kebudayaan yang sudah mengalami transformasi. Artinya, serapan dari budaya luar, sebetulnya. Budaya kita yang asli tidak mengenal itu. Kebudayaan kita sebagai masyarakat muslim, itu bersendikan agama dan norma-norma.

Jadi hal-hal yang berbau pornografi, pornoaksi dan segala macam itu harus segera kita curigai sebagai penyerapan yang keliru terhadap budaya lain atau kreasi setempat yang salah kaprah.

2. Apa yang harus dilakukan menyikapi fenomena ini?

Terhadap kreasi budaya itu, di situlah esensi pentingnya tugas pemangku kepentingan melakukan penyadaran dan pembinaan. Sehingga ekspresi kebudayaan itu tidak terlepas dalam bingkai budaya kita yang asli, menghormati tata krama, mengedepankan norma-norma dan nilai-nilai keagamaan. Nilai keagamaan penting sekali karena kita ini masyarakat yang hidup dalam lingkup masyarakat muslim.

Pertama, bahwa ada lapisan budaya kita yang asli yang harus disadari nilai-nilainya dan itu harus kita kembangkan. Kedua, format-format budaya, lapisan-lapisannya itu memang tidak lepas dari pengaruh budaya lain atau budaya luar.  Cuma memang kita butuh filter di dalam melihat atau menyerap kebudayaan lain. Apakah kebudayaan itu bagus atau bisa kita instalasi dalam kebudayaan kita.

3. Bagaimana peran pranata adat dan budaya menyikapi persoalan ini?

Desa Adat Sasak Sade (Dok. Pribadi/Chairul Manek Ismail)

Menurut saya harus ada pendidikan, edukasi terus menerus melalui sekolah, pranata kebudayaan harus hidup. Jangan sampai format budaya kita yang sekarang dan masa mendatang itu, residu atau sisa-sisa dari kebudayaan luar.

Orang luar sudah meninggalkan demikian, tetapi justru kita tampilkan kreasi kebudayaan kita menjadi inspirasi kebudayaan lain. Penguatan pranata adat, lembaga adat dan budaya perlu digidupkan.

Harus bergandengan dengan pranata keagamaan, sekolah keagamaan. Jadi nilai itu saling memperkuat jati diri kebudayaan kita.

4. Apa yang harus dilakukan agar kreasi kebudayaan tidak menyimpang dari budaya Sasak?

Jadi kebudayaan kita tak boleh lepas per komponen. Mestinya terkoneksi sehingga itu menjadi pranata budaya yang kuat yang memungkinkan kita menangkal pengaruh buruk budaya luar. Semua stakeholder kebudayaan harus sama-sama bergerak.

Infrastruktur kebudayaan harus baik, dunia pendidikan juga lebih sistematis untuk pengembangan dan pembinaan kebudayaan, pelestarian dan pemanfaatan. Kemudian pentahelix dalam semua aspek masuk di situ.

5. Tarian erotis ini sekarang banyak beredar di media sosial, apakah ini yang menyebabkan banyaknya kasus kekerasan seksual?

ilustrasi medsos Instagram (pexels.com/Amar Preciado)

Iya saya kira kekerasan seksual yang terpampang di depan kita hari-hari ini itu dikontribusikan banyak hal. Ditambah lagi objek-objek observasi yang kentara di depan mata kita melalui media sosial.

Jadi media sosial itu masih maya tetapi ketika informasi itu diserap ditemukan versi lainnya melalui tarian erotis, terutama bagi generasi kita yang masih lemah filternya.

Tentu saja mereka akan menganggap budaya kita juga begitu. Jika ini terjadi maka berbahaya sekali. Kita melakukan edukasi secara sistematis terhadap fenomena ini. Tentu ini menjadi keprihatinan kita.

6. Seharusnya bagaimana pembinaan terhadap sanggar-sanggar kesenian agar kreasinya tidak menyimpang dari budaya Sasak?

Sanggar-sanggar kesenian atau lembaga yang selama ini berperan menghasilkan bentuk-bentuk kreasi budaya mungkin agak kurang tersusupi nilai-nilai budaya kita.

Sehingga perlu ada regulasi. Nilai itu bisa diterapkan melalui regulasi. Karena regulasi itu akan mengikat secara moral, dan kita punya pranata seperti itu. Jangan dibiarkan harus ada kontrol sosial.

7. Bagaimana seharusnya peran pemerintah desa menindak budaya yang menyimpang?

representasi proses hukum (pexels.com/SoraShimazaki)

Duduk bersama itu sangat penting. Desa dan kampung punya Balai Mediasi, itu pranata baru tempat membicarakan banyak hal. Termasuk bentuk kebudayaan yang menyimpang seperti tarian erotis sehingga besoknya tidak terulang.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Muhammad Nasir
EditorMuhammad Nasir
Follow Us