Kasus Dugaan Korupsi Dana Pokir, Ketua DPRD NTB Bakal Diperiksa Jaksa?

Mataram, IDN Times - Proses penyelidikan dugaan korupsi dana pokok-pokok pikiran (Pokir) di DPRD NTB tahun 2025, terus bergulir. Penyidik pidana khusus (Pidsus) terus memeriksa anggota DPRD NTB secara maraton.
Pada Kamis (31/7/2025), penyidik pidsus Kejati NTB memeriksa dua anggota DPRD NTB yaitu Marga Harun dan Ruhaiman. Sampai saat ini sebanyak 6 anggota dan Wakil Ketua DPRD NTB telah diperiksa kejaksaan.
Apakah Ketua DPRD NTB Baiq Isvie Rupaeda juga bakal segera diperiksa penyidik? Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) NTB Wahyudi mengatakan proses penyelidikan yang sedang dilakukan nantinya akan dievaluasi.
"Ini masih penyelidikan. Nanti kita evaluasi kepentingannya sejauhmana. Kalau memang harus dipanggil (Ketua DPRD NTB), dibutuhkan keterangannya, iya kita panggil," kata Wahyudi dikonfirmasi usai pelantikan tujuh pejabat lingkup Kejati NTB, Kamis (31/7/2025).
1. Ketua DPRD NTB dipanggil jika keterangannya dibutuhkan

Wahyudi menjelaskan pihaknya akan melakukan evaluasi terkait proses penyelidikan yang dilakukan. Jika dari hasil evaluasi tersebut dibutuhkan keterangan dari Ketua DPRD NTB, maka yang bersangkutan harus dipanggil.
"Kan manggil artinya memperpanjang waktu dan sebagainya. Kalau memang itu dibutuhkan, iya harus," tandasnya.
Kejati NTB mengusut dugaan korupsi dana pokir DPRD NTB tahun 2025 berdasarkan surat perintah penyelidikan Kepala Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Barat nomor: PRINT-09/N.2/Fd. 1/07/2025 tanggal 10 Juli 2025. Penyidik Pidsus Kejati NTB telah memeriksa sejumlah saksi. Di antaranya Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) NTB Nursalim.
2. Anggota dan Wakil Ketua DPRD NTB yang telah diperiksa

Selain pejabat Pemprov NTB, penyidik juga telah memeriksa sebanyak 6 anggota dan Wakil Ketua DPRD NTB. Antara lain, Wakil Ketua I DPRD NTB Lalu Wirajaya dan Wakil Ketua II DPRD NTB Yek Agil pada Jumat (25/7/2025) lalu.
Kemudian empat anggota DPRD NTB, diantaranya Indra Jaya Usman dan Abdul Rahim pada Kamis (24/7/2025). Selanjutnya, pada Kamis (31/7/2025), dua anggota DPRD NTB diperiksa yaitu Marga Harun dan Ruhaiman.
Anggota DPRD NTB Marga Harun keluar dari ruangan penyidik Pidsus Kejati NTB sekitar pukul 17.30 WITA. Namun dia irit bicara terkait pemeriksaan yang dilakukan penyidik hingga menjelang petang.
"Saya inisiatif sendiri datang ke Kejati NTB, itu saja. Saya tidak tahu (pengembalian uang), tanya ke penyidik. Selanjutnya tanyakan ke penyidik," kata Marga Harun singkat.
3. Dugaan bagi-bagi uang siluman di DPRD NTB

Sebelumnya, Anggota DPRD NTB periode 2019-2024, Najamuddin Mustafa mengungkap dugaan bagi-bagi uang siluman di DPRD NTB yang menyasar para pendatang baru di lembaga wakil rakyat tersebut. Sehingga membuat kasus yang sedang diusut Kejati NTB kian terang benderang.
Dia mengungkapkan, kasus ini bermula dari pemotongan dana Pokir DPRD NTB dalam APBD NTB 2025 yang dilakukan Pemprovinsi NTB melalui BPKAD. Belakangan diketahui terdapat andil Gubernur NTB Lalu Muhamad Iqbal dan Kepala BPKAD Nursalim, dalam pemotongan tersebut.
Dalih pemotongan yang dikemukakan adalah kebijakan efesiensi angaran sesuai instruksi pemerintah pusat. Padahal, program Pokir tersebut seluruhnya berupa pekerjaan fisik, maka seharusnya tidak boleh dipotong karena dikecualikan dari kewajiban efisiensi. Kendati demikian, BPKAD NTB tetap memotong dana Pokir.
Najamudin bersama sejumlah anggota DPRD NTB kemudian menemui langsung Gubernur NTB untuk menanyakan perihal pemotongan tersebut. Mereka diterima di ruang kerja Gubernur Iqbal. Dalam pertemuan itu, Gubernur Iqbal menepis dirinya berada di balik pemotongan Program Pokir para wakil rakyat, karena hal tersebut sudah sangat teknis. Sebaliknya, jika pun terdapat pemotongan, Gubernur Iqbal menyebut itu adalah kewenangan internal dan diatur pimpinan DPRD NTB.
Najamudin menegaskan, dirinya dan semua yang hadir dalam pertemuan dengan Gubernur tersebut segera tahu, bahwa jawaban yang disampaikan orang nomor satu di NTB tersebut tidak mencerminkan situasi yang sebenarnya. Politisi Partai Amanat Nasional ini menegaskan, tidak masuk akal Program Pokir dipotong oleh Pimpinan DPRD.
Kecuali program tersebut masih dalam proses pembahasan anggaran di dewan. Faktanya, aksi pemotongan tersebut dilakukan setelah Program Pokir tersebut sudah menjadi Daftar Pelaksanaan Anggaran (DPA), yang berarti APBD NTB Tahun Anggaran 2025 sudah ditetapkan DPRD NTB, sudah dievaluasi oleh Kementerian Dalam Negeri, dan sudah dikembalikan ke Pemerintah Provinsi untuk dieksekusi.
Belakangan diketahui, pemotongan Program Pokir tersebut tidak menyasar seluruh Anggota DPRD NTB. Melainkan hanya bagi Anggota DPRD NTB yang tidak terpilih kembali di periode 2024-2029. Diketahui, dari 65 Anggota DPRD NTB periode 2019-2024, terdapat 39 orang yang tidak terpilih kembali.
Dari situlah kecurigaan mulai menyeruak. Sebanyak 39 anggota DPRD NTB periode 2019-2024 menilai Gubernur sudah melakukan kezaliman mengingat program Pokir dalam APBD NTB Tahun 2025 masih menjadi hak para anggota DPRD periode sebelumnya.
Sebab, program tersebut berasal dari penyerapan aspirasi mereka, didaftarkan pada aplikasi e-Pokir atas nama mereka, dan ditetapkan dalam APBD NTB Tahun 2025 dalam sidang paripurna DPRD NTB pada 21 Agustus 2024. Sedangkan anggota DPRD NTB periode 2024-2029 baru dilantik pada 2 September 2024.
Mantan Ketua Badan Kehormatan DPRD NTB ini menelusuri apa yang terjadi. Dan terciumlah aroma bagi-bagi uang yang menyasar kepada para Anggota DPRD NTB pendatang baru. Disinyalir ada beberapa oknum anggota dewan pendatang baru yang mengkoordinir pembagian uang kepada rekan-rekannya sesama anggota dewan baru. Uang yang dibagikan tersebut merupakan fee dari anggaran program yang akan didapatkan para anggota dewan.
Program tersebut berasal dari pemotongan program Pokir Anggota DPRD NTB lama yang tidak terpilih kembali. Seharusnya, Anggota DPRD NTB lama mendapat program Pokir Rp 4 miliar di APBD NTB Tahun 2025, tetapi dipotong menjadi hanya Rp 1 miliar.
Selanjutnya dari pemotongan tersebut, masing-masing anggota dewan baru diduga akan mendapatkan program senilai Rp 2 miliar. Namun, mereka tidak diberikan dalam bentuk program, melainkan dalam bentuk uang fee sebesar 15 persen dari total anggaran program tersebut, atau setara dengan sekitar Rp 300 juta. Dia pun memberikan dukungan agar Kejati NTB mengusut kasus ini hingga tuntas.