ilustrasi kekerasan seksual
Sementara itu, Anggota KPAI sekaligus Pengampu Klaster Anak Korban Kekerasan Seksual, Dian Sasmita, menyampaikan keprihatinannya terhadap dua korban anak dalam kasus ini. Kekerasan seksual terhadap anak tidak hanya menimbulkan trauma mendalam tetapi juga dapat berdampak jangka panjang pada perkembangan psikologis mereka.
“KPAI saat ini terus berkoordinasi dengan pihak pendamping kedua anak korban untuk memastikan pemulihan psikologisnya dengan baik. Kami mendorong agar korban mendapatkan layanan psikososial yang memadai dan berkelanjutan untuk membantu mereka pulih dari trauma,” jelas Dian.
KPAI juga menekankan pentingnya upaya pencegahan kekerasan seksual terhadap anak melalui edukasi di sekolah dan keluarga, termasuk penguatan nilai-nilai perlindungan terhadap anak di masyarakat. Kemudian perlindungan terhadap identitas anak korban sangat penting, termasuk nama, sekolah, dan domisili, mengingat tindak pidana kekerasan seksual yang dilakukan oleh pelaku sangat menyita perhatian publik.
Perlindungan identitas anak adalah langkah penting untuk mencegah trauma lebih lanjut yang dapat memperburuk kondisi psikologis anak. Selain itu, anak korban kekerasan seksual wajib mendapatkan pendampingan hukum yang memadai, serta dukungan psikososial yang berkelanjutan, agar mereka dapat memulihkan diri dan kembali menjadi individu yang positif dalam masyarakat.
Hal ini sesuai dengan amanat Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2021 tentang Perlindungan Khusus Anak yang menegaskan bahwa anak korban kekerasan harus mendapatkan layanan yang cepat dan tepat. KPAI juga mendesak Kepolisian untuk menggunakan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) dan Undang-Undang Perlindungan Anak untuk menjerat pelaku kekerasan seksual, serta berupaya mengupayakan hak restitusi bagi korban, sebagai bentuk pemulihan atas hak-hak mereka yang telah dirampas.
Komisioner Komisi Nasional Disabilitas (KND), Jonna Damanik, menyoroti aspek yang berkaitan dengan status pelaku sebagai penyandang disabilitas. Berdasarkan hasil koordinasi dengan Komite Disabilitas Daerah (KDD) NTB, Polda NTB, dan pihak terkait lainnya, diketahui bahwa Polda NTB telah memberikan akomodasi yang layak selama proses hukum terhadap pelaku.
“Polda NTB telah memenuhi prinsip-prinsip akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2020. Beberapa langkah yang dilakukan meliputi penilaian personal terhadap pelaku, penerapan tahanan rumah berdasarkan rekomendasi KDD NTB, serta penyediaan pendamping hukum bagi pelaku selama proses hukum berlangsung,” ungkap Jonna.
KND menegaskan bahwa memberikan akomodasi yang layak kepada pelaku tidak berarti mengabaikan hak-hak korban. Sebaliknya, langkah ini merupakan bagian dari pemenuhan prinsip keadilan inklusif dalam sistem peradilan, di mana semua pihak, baik korban maupun pelaku, diperlakukan sesuai dengan hak-haknya.
Ketiga lembaga sepakat bahwa kasus ini menjadi pengingat akan pentingnya upaya kolektif dalam melawan kekerasan seksual, terutama terhadap perempuan, anak, dan penyandang disabilitas. Penanganan kasus ini harus menjadi contoh bagaimana negara hadir dalam memberikan keadilan bagi korban, sekaligus memastikan proses hukum yang adil bagi semua pihak.
Dalam rangka Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan, Komnas Perempuan, KPAI, dan KND mengajak seluruh pihak, termasuk pemerintah, masyarakat, dan media, untuk memperkuat sinergi dalam menciptakan lingkungan yang aman dan bebas dari kekerasan.