Datangi PN, Tokoh Agama NTT Desak Eks Kapolres Ngada Dihukum Berat

Kupang, IDN Times - Tokoh agama di Nusa Tenggara Timur (NTT) Rm. Leonardus Mali atau yang akrab disapa Romo Leo Mali, mendesak majelis hakim menjatuhkan hukuman seberat-beratnya kepada eks Kapolres Ngada AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja yang merupakan terdakwa kasus kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur.
Romo Leo Mali mendatangi Pengadilan Negeri (PN) Kupang pada Selasa (7/10/2025) untuk menyerahkan dokumen Amicus Curiae (Sahabat Pengadilan) sekitar pukul 10:00 WITA. Dokumen tersebut merupakan bentuk dukungan moral, etis, filosofis, dan hukum terhadap proses persidangan pidana Nomor: 75/Pid.Sus/2025/PN.Kpg, yang mendakwa Eks Kapolres Ngada AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja atas dugaan kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur.
1. Tiga poin dokumen amicus curae yang diserahkan ke PN Kupang

Kedatangan Romo Leo Mali diterima langsung oleh Ketua PN Kupang, Ferry Haryanto. Dokumen Amicus Curiae yang disusun oleh Romo Leo Mali memuat tiga poin utama. Pertama, pencegahan impunitas. Yakni memastikan bahwa tidak ada pejabat yang berada di atas hukum dan menolak pembiaran terhadap pelaku kejahatan, terutama dari aparat penegak hukum.
Kedua, mencegah banalitas kejahatan. Yaitu mengingatkan bahwa kekerasan seksual terhadap anak bukanlah tindak pidana biasa, melainkan ancaman serius terhadap peradaban dan moralitas publik, yang harus dilawan dengan putusan seberat-beratnya.
Ketiga, pemulihan kepercayaan publik. Dia menegaskan bahwa putusan yang adil, tegas, dan berpihak pada korban adalah momentum krusial untuk memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap institusi hukum.
2. Hukum harus melindungi yang lemah

Dalam dokumen tersebut, Romo Leo Mali menyoroti argumentasi filosofis berdasarkan pemikiran Thomas Aquinas (Lex iniusta est non lex) yang menekankan bahwa hukum harus melayani keadilan dan melindungi yang lemah. Serta pemikiran Immanuel Kant tentang martabat kemanusiaan dan perlunya memperlakukan manusia sebagai tujuan, bukan sarana.
Dia juga secara tegas menolak reviktimisasi yang dilakukan melalui pleidoi kuasa hukum dan keterangan ahli pelaku, yang melabeli korban anak sebagai "pelacur anak,". Dia menegaskan ini sebuah tindakan yang dianggap melanggar prinsip moral Kantian.
Lebih lanjut, dia menerapkan teori Hannah Arendt tentang Banalitas Kejahatan, memperingatkan bahwa hukuman ringan atau pembiaran terhadap impunitas akan membuat kejahatan seksual menjadi biasa dan mengancam moralitas publik secara menyeluruh.
3. Kritik penuntutan yang tidak memasukkan UU TPPO dan UU Pornografi

Secara hukum, kata dia, Amicus Curiae ini mendesak Majelis Hakim untuk menerapkan instrumen hukum nasional secara maksimal dan komprehensif. Termasuk UUD 1945 Pasal 28B ayat (2) tentang perlindungan anak dari kekerasan Kemudian Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), dengan perspektif korban dan pencegahan reviktimisasi.
Serta Undang-Undang Perlindungan Anak yang menempatkan anak sebagai subjek hukum dengan hak istimewa atas perlindungan. Amicus Curiae juga mengkritik fragmentasi penuntutan yang tidak memasukkan UU Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU TPPO) dan UU Pornografi, padahal fakta menunjukkan adanya eksploitasi dan penyebarluasan konten pornografi anak ke dark web oleh pelaku.
Romo Leo Mali berharap majelis hakim akan mengambil putusan yang benar-benar mencerminkan keadilan substantif, menolak impunitas, dan memulihkan harapan masyarakat terhadap hukum.
Sebelumnya, Eks Kapolres Ngada AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja dituntut hukuman 20 tahun penjara pada sidang penuntutan di PN Kupang, Senin (22/9/2025). Jaksa Penuntut Umum, Arwin Adinata, menyebut Fajar bersalah melakukan tindak pidana. Fajar juga diyakini dengan sengaja melakukan tipu muslihat dan atau membujuk anak untuk melakukan persetubuhan dengannya.
Fajar akan tetap berada dalam tahanan dan pidana denda sebesar Rp5 miliar subsidair 1 tahun dan 4 bulan kurungan. Mantan polisi ini juga dituntut untuk membayar restitusi sebesar Rp359.162.000 subsidair 4 tahun sebagaimana surat dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).