Darurat TPPO, Pemprov Ungkap 5 Penyebab Warga NTB Jadi TKI Ilegal

Mataram, IDN Times - Balai Penempatan dan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP3MI) NTB menyatakan provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) darurat kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dengan modus pengiriman tenaga kerja Indonesia (TKI) ke luar negeri secara ilegal atau non prosedural. Setiap adanya kasus pencegahan pengiriman calon TKI ilegal ke luar negeri di beberapa daerah di Indonesia, pasti ada warga NTB yang menjadi korban TPPO.
Sementara itu, Pemprov NTB melalui Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) mengajak kepala dusun dan kepala desa menjadi garda terdepan untuk pencegahan pengiriman TKI ilegal ke luar negeri. Disnakertrans NTB menyebutkan, sedikitnya ada 5 penyebab warga NTB menjadi TKI ilegal ke luar negeri.
1. Darurat kasus TPPO

Kepala BP3MI NTB Mangiring Hasoloan Sinaga mengatakan banyaknya warga NTB yang menjadi korban TPPO dengan modus pengiriman TKI secara ilegal harus menjadi atensi semua pihak. Menurutnya, permasalahan ini tidak boleh hanya dibebankan kepada BP3MI dan aparat penegak hukum (APH). Tetapi, pemerintah desa juga harus mengawasi supaya tidak ada lagi warga NTB yang bekerja ke luar negeri secara ilegal.
"Yang pasti NTB darurat penempatan PMI non prosedural. Setiap pencegahan TPPO, pasti ada orang NTB, ke negara mana pun," kata Sinaga di Mataram, Rabu (14/6/2023).
Pengiriman TKI dengan negara penempatan Timur Tengah sangat diminati warga NTB. Sehingga memudahkan para sponspor ataupun perusahaan yang memberangkatkan para calon TKI asal NTB merayu korban dengan memberangkatkan ilegal. Berbagai modus dilakukan dalam melancarkan pemberangkatan TKI ilegal.
Seperti kasus pencegahan pengiriman 22 calon TKW asal NTB oleh Polda Metro Jaya dan 24 orang warga NTB di Lampung. Sinaga mengatakan TKI yang diberangkatkan dari NTB sebagian ada yang punya paspor, sebagian lagi ada yang dibuatkan di luar daerah.
2. Kepala dusun dan kepala desa menjadi garda terdepan

Kepala Disnakertrans NTB I Gede Putu Aryadi mengajak para Kepala Desa dan kepala Dusun bersama para tokoh masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya di desa menjadi garda terdepan dalam memberikan perlindungan kepada warga desa yang ingin menjadi TKI ke luar negeri. Apabila ada warga yang berangkat bekerja ke luar negeri harus dipastikan sesuai prosedur.
“Mari kita setop rekrutmen oleh calo dan penempatan non prosedural,” kata Aryadi.
Menurutnya, upaya pencegahan TKI ilegal harus dimulai dari hulu yaitu dari desa dan dusun. Para Kades, Kadus, Babinsa, Babinkamtibmas, kader posyandu keluarga dan ibu PKK harus bisa mengedukasi dan memberikan layanan akses informasi yang lengkap tentang bursa kerja luar negeri. Selain itu memberikan informasi yang lengkap tentang P3MI yang memiliki izin perekrutan, negara penempatan dan job order yang tersedia, serta persyaratan dan prosedur yang dipenuhi bila ingin menjadi TKI.
Sejak 2017 - 2022, tercatat sebanyak 537.497 TKI asal NTB yang bekerja di 108 negara penempatan dengan berbagai sektor pekerjaan di luar negeri. Dimana, sekitar 80 persen dari jumlah tersebut bekerja di sektor ladang sawit di Malaysia. Dari data Badan Pusat Statistik (BPS) per Agustus 2022, angkatan kerja di Provinsi NTB sebanyak 2,87 juta orang. Artinya 18 persen angkatan kerja di NTB adalah TKI.
"Bekerja adalah hak setiap warga. Karena itu, pemerintah tidak pernah melarang masyarakat untuk bekerja ke luar negeri. Hanya saja, siapa pun yang ingin bekerja ke luar negeri menjadi PMI, wajib mengikuti prosedur yang ada. Dengan mengikuti prosedur, maka warga yang bekerja ke luar negeri akan terdata oleh pemerintah, sehingga akan mudah pemerintah memberikan pelindungan," tegasnya.
Aryadi menyebutkan jumlah tren kasus TKI ilegal mengalami penurunan, tetapi masih banyak warga yang belum paham tentang informasi pasar kerja luar negeri. Sehingga masih ada yang berangkat secara non prosedural. Oleh karena itu, Disnakertrans beserta stakeholders terkait perlu duduk bersama untuk mengidentifikasi penyebab TKI non prosedural agar dapat ditentukan solusi yang tepat.
3. 5 penyebab warga NTB menjadi TKI ilegal

Mantan Kepala Diskominfotik NTB ini menyebutkan setidaknya ada 5 penyebab warga NTB menjadi TKI ilegal atau non prosedural. Pertama, warga NTB yang menjadi TKI ilegal kebanyakan adalah pekerja non skill dengan pendidikan SMP ke bawah dengan pekerjaan yang dilirik adalah Asisten Rumah Tangga atau pekerjaan di sector domestik.
Oleh karena itu, pemerintah gencar memberikan pelatihan gratis untuk meningkatkan skill dan kompetensi agar TKI memiliki value sehingga semakin diperhitungkan ketika bekerja ke luar negeri.
"Saat ini pemerintah juga memberikan perhatian lebih pada pengiriman tenaga kerja yang memiliki skill ke luar negeri seperti ke Jepang, Korea, Hongkong, Taiwan, danblain-lain," ucap Aryadi.
Kedua, informasi dan pengetahuan masyarakat tentang prosedur kerja ke luar negeri masih sangat terbatas. Menurutnya, perlu ada kerja sama dengan berbagai pihak agar informasi yang benar bagaimana menjadi TKI prosedural bisa sampai ke warga.
Ketiga, warga seringkali terbuai dengan iming-iming para calo. Modus yang banyak ditemukan di lapangan adalah masyarakat direkrut oleh oknum yang mengatasnamakan diri sebagai petugas lapangan perusahaan. Padahal kantor pusat P3MI tersebut tidak tahu ada rekrutmen. Oknum petugas lapangan menjanjikan warga pekerjaan yang mudah di tempat yang enak dengan gaji besar.
Kemudian semua dokumen diurus oleh petugas lapangan, yang mana tentunya dokumennya ilegal atau palsu. Bahkan warga diberikan uang uang jalan agar lebih yakin untuk berangkat. "Sampai di negara penempatan, karena gajinya sudah diambil mafia, jadi gajinya tidak dibayar oleh user. Bahkan seringkali mereka dieksploitasi disuruh bekerja keras melebihi jam kerja, dilecehkan dan disiksa," tutur Aryadi.
Keempat, ada juga warga yang modusnya berangkat secara prosedural tapi ketika masa kontrak habis, mereka memperpanjang secara non prosedural. Kelima, meski awalnya berangkat secara prosedural, tapi di negara penempatan TKI itu kabur dari perusahaannya sehingga menjadi ilegal. Sayangnya meski sudah tahu ada resiko seperti itu, warga seringkali abai dan tetap termakan buaian janji calo. Padahal apa yang dilakukan calo ini sudah termasuk TPPO.
"Jika sudah bermasalah di negara penempatan, baru mengeluh di sosmed dan melapor kepada pemerintah minta dipulangkan. Padahal ketika berangkat sama sekali tidak ada melapor kepada kami," tandas Aryadi.