Ahli Gizi di NTT ini Curhat Rela Kerja "Overtime" Demi MBG

- Indri Janisari bekerja overtime sejak subuh hingga malam untuk program Makan Bergizi Gratis di Kota Kupang.
- Profesi ahli gizi memiliki sumpah dan kode etik, serta penting dalam menentukan kualitas menu bergizi.
- Edi Lau menyatakan bahwa peran ahli gizi sangat krusial dalam program tersebut, terutama di daerah terpencil.
Kupang, IDN Times - Perasaan Indri Janisari terluka. Salah satu ahli gizi yang mengurusi program Makan Bergizi Gratis (MBG) di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) ini mengaku masih sakit hati atas pernyataan Wakil Ketua DPR RI Cucun Ahmad Syamsurijal yang viral di jagat maya. Ia bahkan rela kerja overtime atau lembur demi memastikan gizi makanan yang disajikan kepada anak-anak terpenuhi.
Cucun dalam video itu berada Rapat Konsolidasi SPPG MBG se-Kabupaten Bandung dan merespons salah satu peserta. Ia sempat melontarkan kata-kata yang kurang pantas di ruang publik tersebut dan menyinggung profesi ahli gizi yang bisa digantikan dengan lulusan SMA saja. Meski pada akhirnya ia meminta maaf, namun pernyataan itu telah menyinggung perasaan ahli gizi yang selama ini sudah bertugas demi kelancaran program pemerintah ini.
Pernyataan Cucun ini juga direspons oleh Edi Lau yang merupakan pemilik Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) tempat Indri bertugas. Ia menilai Cucun sudah membuat pernyataan yang sangat keliru dan tak sesuai dengan misi Presiden Prabowo Subianto.
1. Kerja sejak subuh sampai malam

Indri mengaku bekerja mulai subuh, bahkan sejak pukul 03.00 WITA, dan itu ia jalani setiap harinya sesuai jadwal pemberian MBG. Tugasnya, di SPPG meliputi pengawasan produk sejak dari bahan makanan yang masuk, membuat dan menghitung nilai gizi tiap menu hingga jadi menu yang akan diantar.
Proses kerjanya dari persiapan bahan makanan, pengolahan, permorsian, distribusi, hingga masih mengawasi pengembalian ompreng ke dapur. Tugas utamanya, memastikan kualitas gizi menu harian, memeriksa bahan makanan yang layak dikelola di tim di dapur dan tim persiapan, termasuk untuk keesokan harinya lagi. Profesi ini ibarat denyut dalam SPPG dan jadi ujung tombak program MBG.
"Jadi kerja bisa lebih dari 8 jam kerja, bisa 24 jam. Semua pasti kendalanya pasti penyesuaian waktu dan ini juga dikeluhkan juga teman-teman sejawat. Mau tidak mau ini tanggung jawab karena kita punya kode etik profesi," jawab wanita itu.
Dengan jam kerja seperti itu, tentunya ia telah berkorban tenaga dan banyak waktu bagi kesehatan dan keluarganya. Harusnya pemerintah mempunyai kompensasi lebih, bukan sebaliknya membuat pernyataan yang tidak etis seperti Cucun.
"Jujur sakit hati, tersinggung. Sebenarnya kalau dia berbicara tidak butuh ahli gizi, tidak semua orang pun bisa mengganti profesi ini yang ada di dalam program yang judulnya saja Makan Bergizi Gratis," ungkap lulusan Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga ini.
2. Bersumpah dan patuhi kode etik

Ia menyebut program MBG tanpa keterlibatan ahli gizi seperti dimaksud Cucun bisa berpotensi pada penipuan publik.
"Tentu label 'bergizi' bukan hiasan kata atau klaim semata dan jujur itu buat sakit hati, tersinggung, karena pihak yang bilang tidak perlu ahli gizi di SPPG. Siapapun tidak bisa serta merta menjadi ahli gizi hanya karena bisa mengurusi makanan," jawab Indri, Kamis (20/11/2025) di tempat kerjanya.
Profesi ini, kata dia, sama halnya dengan dokter, apoteker atau tenaga farmasi lainnya yang memiliki kompetensi dan keahlian khusus. Semua kemampuan yang memadai ini mereka miliki karena pendidikan dan regulasi khusus, serta atas tanggung jawab etik. Pendidikan ini ditempuh berjenjang dan lama hingga 3 - 4 tahun baik D3 atau S1. Ia juga wajib mengambil STR yang harus ditempuh selama 1,5 tahun. Setelahnya pun mereka juga disumpah profesi.
"Bukan lulusan SMA bisa tiba-tiba saja menjadi ahli gizi. Sama seperti orang yang meracik obat di rumah sakit bukan otomatis menjadikan dia apoteker. Begitu juga menyusun menu tanpa ilmu dasar keahlian gizi tidak bisa menjadikan siapa pun itu seorang ahli gizi," tukasnya.
Baginya, judul program ini lebih baik diganti daripada emblem 'bergizi' ditunggangi untuk mendapatkan kredit dari kompetensi yang bukan dimiliki oleh seorang ahli gizi. Dampak ialah pada integritas program ini
"Akan jauh lebih jujur bila program ini dinamai program makan siang gratis saja, jangan memakai kata gizi tanpa dasar keahlian. Dampak bukan saja menurunkan nilai program ini tapi merendahkan profesi kami," kata dia.
3. Pengakuan SPPG soal profesi ahli gizi

Edi Lau, Pemilik Yayasan Sinar Mentari Sejati dan juga mitra BGN tempat Indri bertugas mengungkap pendapat serupa. Ia juga kasihan dengan kerja ahli gizi yang mengawasi semua proses dari awal hingga selalu overtime.
"Mereka paling kasihan ya karena harus terlibat dalam saat masak, permorsian, hingga pengiriman," tukasnya.
Ia menilai Cucun sudah keliru memandang profesi ahli gizi. Peran ahli gizi justru krusial dalam program besutan Presiden Prabowo Subianto ini. Ahli gizi yang baik akan meracik menu sesuai dengan takaran atau komposisi gizi dari bahan makanan yang bisa mereka pasok ke dapur.
"Itu pendapat yang salah dan sangat-sangat keliru karena profesi ini punya keahlian khusus dan ilmu yang tidak semua tahu. Tujuan Pak Prabowo dengan program ini kan bukan asal makan saja kan tapi ada nilai gizinya sesuai dengan anak-anak. Program ini bagus kalau ahli gizi dan nilai gizi yang diutamakan bisa bagus. Dan kami selalu dengarkan mereka. Kita melapor hari ini buah apa, sayur apa, daging apa, mereka yang akan kombinasikan. Mau protein misalnya, nanti nilainya diangkat dari bahan apa-apa," jelasnya.
Berbeda dengan di kota, masalah pasokan bahan makanan, buah-buahan tertentu hingga sayuran di daerah terpencil ini menjadi tantangan untuk mendapatkan menu yang berkualitas. Hal ini tentunya hanya bisa diperhitungkan oleh seorang ahli gizi dalam menetapkan menu yang baik untuk hari selanjutnya.
"Dari kandungan dari makanan, nabatinya, proteinnya, itu mereka yang hitung dan dibuat menu dengan perhitungan itu untuk kita masak nanti. Kalau kita di daerah harus sampaikan ke ahli gizi, pasokan yang ada apa saja. Nanti mereka hitung. Jadi kalau tidak ada ahli gizi ya tidak beda dengan kita beri makan biasa, tidak ada nilai gizinya," jelas dia.
SPPG miliknya, kata dia, sangat bergantung dan baru bisa berjalan dengan adanya seorang ahli gizi. Saat ini yayasannya memiliki 9 SPPG di wilayah Pulau Timor termasuk di Kota Kupang dan masing-masing memiliki ahli gizi yaitu 3 lulusan S1 dan sisanya adalah lulusan D3.
"Kalau menurut saya ada ahli gizi baru dapur bisa berjalan. Kita tahunya masak saja tapi kalau mereka ini tahu nilai gizi apa yang ada dan itu harus di-share terus ke BGN apa yang sudah mereka masak hari ini. Nanti kita bisa lihat, oh ini proteinnya berapa, karbohidrat berapa," kata dia.


















