Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

5 Ciri Self-Labeling yang Bersifat Merusak

Ilustrasi ciri self-labeling yang bersifat merusak. (Pinterest/collective.world)

Self-labeling adalah kecenderungan seseorang memberi label tertentu pada dirinya sendiri berdasarkan perasaan, pengalaman, atau kesalahan tertentu. Label ini bisa berbentuk kata-kata seperti “aku bodoh”, “aku pemalas”, atau “aku gagal”.

Sekilas, ini mungkin tampak seperti bentuk refleksi diri, tetapi jika dilakukan secara berulang dan tanpa disadari, ia bisa mengakar sebagai kebenaran yang palsu dalam pikiran.

Masalah dari self-labeling adalah ia menyederhanakan kompleksitas manusia hanya dalam satu kata negatif. Padahal, manusia adalah makhluk yang dinamis dan penuh kemungkinan untuk berubah. Ketika seseorang mulai percaya pada label negatif yang ia berikan sendiri, ini bisa membatasi potensi, merusak harga diri, dan menurunkan kesehatan mental secara keseluruhan.

Berikut ini 5 ciri umum dari self-labeling yang bersifat merusak.

1. Menggeneralisasi diri dari kesalahan satu kali

Ilustrasi tips berkelas menyikapi orang yang membenci kamu. (Pinterest/Nana)

Salah satu ciri utama dari self-labeling yang merusak adalah kecenderungan menyimpulkan jati diri dari satu kesalahan atau kegagalan. Contohnya, setelah gagal dalam satu proyek, seseorang langsung melabeli dirinya dengan, “Aku gagal” atau “Aku tidak kompeten”.

Masalahnya, satu kesalahan bukan cerminan keseluruhan identitas. Setiap orang pernah gagal, dan kegagalan seharusnya dilihat sebagai bagian dari proses belajar, bukan sebagai penentu nilai diri. Label negatif semacam ini akan menghambat pemulihan emosional dan mengurangi motivasi untuk mencoba lagi.

2. Menggunakan kata "Aku memang begitu" secara negatif

Ilustrasi ciri self-labeling yang bersifat merusak. (Pinterest/collective.world)

Pernyataan seperti “Aku memang malas” atau “Aku selalu kacau” sering kali terdengar sebagai bentuk penerimaan, padahal sebenarnya adalah penyerahan diri pada label negatif. Pernyataan ini membuat seseorang menolak kemungkinan perubahan.

Self-labeling semacam ini bisa menjadi bentuk pembenaran untuk tetap berada dalam kebiasaan yang tidak sehat. Ini tidak hanya memperkuat citra diri yang buruk, tetapi juga membuat seseorang tidak mencoba memperbaiki diri karena sudah merasa terlanjur rusak.

3. Menolak pujian dan mengabaikan keberhasilan

Ilustrasi tips membawa diri agar kamu disegani orang-orang sekitarmu. (Pinterest/elsewherelse)

Orang yang sering memberi label negatif pada dirinya akan kesulitan menerima pujian. Kalimat seperti “Ah, aku cuma beruntung” atau “Itu bukan karena aku pintar” muncul karena dalam pikirannya ia sudah melekatkan identitas negatif yang tidak sejalan dengan keberhasilan yang ia terima.

Hal ini menghambat rasa bangga dan pencapaian diri. Akibatnya, meskipun orang tersebut berhasil, ia tetap merasa tidak layak. Ini juga berkaitan erat dengan impostor syndrome, di mana seseorang merasa dirinya menipu orang lain karena sebenarnya ia merasa tidak sebaik yang terlihat.

4. Terjebak dalam identitas masa lalu

Ilustrasi tanda kamu tanpa sadar terlalu keras pada diri sendiri. (Pinterest/xemoxe3870)

Self-labeling juga sering berakar dari pengalaman buruk di masa lalu, misalnya kegagalan akademik, kritik dari orang tua, atau peristiwa memalukan. Dari sana muncul label seperti “Aku memang nggak pinter” atau “Aku ini troublemaker sejak kecil”.

Melekatkan diri pada masa lalu menutup peluang untuk berubah di masa kini. Padahal, identitas bukanlah sesuatu yang tetap. Setiap orang bisa berkembang, tapi self-labeling negatif membuat seseorang terus terjebak dalam cerita lama yang sudah tidak relevan.

5. Menghindari tantangan karena merasa sudah "tahu diri"

Ilustrasi tips mengatasi emosi negatif agar kamu lebih tenang. (Pinterest/CNBC)

Orang yang memberi label negatif pada dirinya sering kali merasa tidak pantas mencoba hal baru. “Aku bukan tipe orang yang bisa sukses” atau “Itu bukan untuk aku” adalah bentuk self-sabotage yang lahir dari keyakinan bahwa label negatif itu benar.

Keyakinan semacam ini membuat seseorang menghindari tantangan dan tidak memberi kesempatan pada dirinya untuk tumbuh. Alih-alih berkembang, ia justru membatasi diri karena merasa identitasnya sudah ditentukan dan tidak bisa berubah.

Self-labeling yang merusak bukan hanya membatasi pertumbuhan pribadi, tetapi juga mengikis harga diri dan memperkuat narasi negatif yang tidak akurat. Mengenali pola ini adalah langkah awal untuk membangun kembali hubungan yang lebih sehat dengan diri sendiri.

Kamu bukan satu kesalahan, satu kelemahan, atau satu pengalaman buruk. Kamu adalah cerita yang terus berkembang, bukan satu label yang statis.

Demikian 5 ciri umum dari self-labeling yang bersifat merusak. Semoga bermanfaat, ya.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Linggauni
EditorLinggauni
Follow Us