Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Potret Keamanan Jalur Pendakian Gunung di Indonesia, Selamat atau Tamat?

Ilustrasi Tim SAR melakukan penyelamatan di gunung. (IDN Times/Rakan)
Ilustrasi Tim SAR melakukan penyelamatan di gunung. (IDN Times/Rakan)
Intinya sih...
  • Persiapan pendakian harus matang, mulai dari fisik, mental, hingga pengetahuan medan gunung
  • Fenomena pendaki FOMO yang hanya mendaki demi konten sosial media mengabaikan persiapan dan keselamatan
  • Kecelakaan dan proses penyelamatan di gunung menunjukkan pentingnya mematuhi aturan pendakian dan persiapan yang matang
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Indonesia adalah negeri cincin api dengan ratusan gunung yang menjadi magnet bagi para pendaki, baik domestik maupun mancanegara. Namun, di balik pesonanya, jalur pendakian menyimpan berbagai risiko, mulai dari medan ekstrem, cuaca tak menentu, hingga minimnya infrastruktur keselamatan.

Dalam lima tahun terakhir, beberapa insiden pendaki hilang, terjatuh atau terlambat dievakuasi mencuat ke publik. Peristiwa seperti di Gunung Rinjani dan beberapa gunung lainnya menjadi cermin betapa sistem keselamatan pendakian masih jauh dari ideal. Tak sedikit daerah yang masih belum memiliki sistem mitigasi risiko berbasis standar, belum lagi kendala akses komunikasi, logistik, dan koordinasi lintas pihak saat kondisi darurat.

Dalam banyak kasus, tim penyelamat menghadapi keterbatasan alat hingga sinyal komunikasi yang minim di titik-titik krusial. Selain persoalan keselamatan, hal yang tidak kalah penting adalah kesiapan dari pendaki. Selain mempersiapkan peralatan yang memadai, pendaki juga perlu untuk mempersiapkan kondisi fisik dan mental yang baik.

Persiapan bagi pendaki bukan hanya peralatan dan kesehatan, pendaki juga perlu untuk mencari informasi tentang gunung yang akan dijelajahi. Misalnya tentang trek dan medan pendakian, jalur yang aman dan peraturan selama pendakian.

Saat ini terlihat sudah semakin banyak pendaki yang menjelajahi berbagai gunung yang ada di Indonesia. Sayangnya, beberapa di antara mereka hanya berniat mendaki untuk membuat konten estetis untuk dibagikan di media sosial. Selain soal konten, pendaki-pendaki kekinian ini juga kerap abai terhadap keselamatan dan kebersihan di gunung.

1. Tak boleh diremehkan, persiapan pendakian harus matang

Infografis potret keamanan jalur pendakian. (IDN Times/Rakan)
Infografis potret keamanan jalur pendakian. (IDN Times/Rakan)

Persiapan sebelum pendakian bukan hal yang bisa dianggap enteng. Bisa dikatakan, persiapan inilah yang akan menentukan nyaman atau tidaknya pendaki selama menjelajahi gunung. Akhir pekan sebelumnya misalnya, dua pendaki remaja terjatuh dari Puncak Mega, Gunung Puntang, Desa Pasirmulya, Kecamatan Banjaran, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, pada Minggu (27/7/2025).

Dua korban, Reksa Suryalaga (15) dan Fahri (15), diketahui tengah melakukan pendakian bersama sejumlah temannya. Sekitar pukul 13.00 WIB, keduanya terjatuh ke jurang saat berada di kawasan Puncak Mega. Fahri berhasil dievakuasi lebih dahulu dalam kondisi tidak sadarkan diri. Sementara evakuasi terhadap Reksa sempat terkendala kabut tebal yang mengurangi jarak pandang.

Kepala Seksi Operasi dan Siaga SAR Bandung, Moch Adip mengatakan, semakin banyaknya mendaki yang mengalami kecelakan salah satunya karena persiapan ketika hendak mendaki kurang baik. Persiapan ini bukan hanya masalah peralatan, tapi juga pengetahuan tentang medan gunung, mental, dan fisik. Ketika semua itu tidak dipenuhi maka ada kemungkinan pendaki mengalami kecelakaan karena satu dan lain hal.

"Sekarang banyak pendaki pemula yang kurang mempersiapkan fisik, padahal mendaki itu butuh tenaga dan ketahanan. Kemudian kan logistik seperti peralatan dan alat P3K harus memadai selama durasi pendakian," kata Adib saat dihubungi IDN Times, Jumat (1/8/2025).

Hal senada disampaikan oleh Joko Wibowo, seorang pemandu bersertifikat dari Asosiasi Pemandu Gunung Indonesia (APGI). Ia mengatakan, ambisi saja tidak cukup untuk mendaki gunung. Menurutnya, apa yang terlihat di media sosial tidak selalu seindah kenyataan yang dihadapi selama pendakian.

"Selama saya memandu para pendaki, tidak pernah ada pendaki yang celaka parah. Apa lagi sampai jatuh ke jurang. Tapi ada pendaki yang nekat naik tanpa pemandu, banyak yang kena hipotermia bahkan ada yang meninggal dunia," ungkap Joko Wibowo kepada IDN Times, Jumat (1/8/2025).

Jika tidak menguasai medan, maka pendaki dapat menggunakan jasa pemandu atau porter. Ketua Tracking Organization (TO) Lombok Timur, Hamka Abdul malik menegaskan bahwa kecelakaan dalam pendakian merupakan risiko alamiah dari kegiatan petualangan di alam bebas. Sejak dibukanya pendakian Gunung Rinjani, berbagai insiden telah terjadi, namun selama ini berhasil ditangani dengan baik oleh porter dan masyarakat setempat.

Ia menekankan pentingnya bagi pendaki untuk menguasai medan pendakian, sehingga dapat meminimalisir kecelakaan. Keberadaan pemandu dan porter dapat dimanfaatkan, terutama bagi pendaki yang tidak familiar dengan medan gunung yang akan didaki. Menurutnya, ini merupakan salah satu bagian dari persiapan pendakian yang dapat dimanfaatkan oleh para pendaki, terutama bagi pendaki pemula.

2. Antara estetika dan etika: munculnya fenomena pendaki FOMO

ilustrasi istirahat saat mendaki gunung (pexels.com/Darren Tiumalu)
ilustrasi istirahat saat mendaki gunung (pexels.com/Darren Tiumalu)

Tren pendaki FOMO (fear of missing out) yang datang hanya demi foto untu diunggah di media sosial Instagram dan TikTok. Umumnya, mereka yang datang bukan karena ingin menikmati pendakian seringkali abai terhadap persiapan yang matang dan aspek keselamatan.

Salah satu pendaki yang pernah terlibat dalam 7 Summits Indonesia, Martin Rimbawan mengatakan, dulu ketika tahun 1990-an hingga 2000-an angka kecelakaan di gunung bisa dihitung jari. Sebab belum banyak orang berani mendaki gunung, dan mereka yang mendaki biasanya sudah mendapat pelatihan di komunitas baik di sekolah, kampus, atau komunitas pendaki lainnya.

"Kalau dulu yang naik gunung itu biasa dari komunitas pencinta alam. Mereka ke gunung untuk menghabiskan waktu dengan sebelumnya ada persiapan dulu," kata Martin kepada IDN Times, Minggu (3/8/2025).

Para pendaki dulu juga berbeda dari sekarang. Biasanya para pendaki dulu datang ke gunung memang untuk menikmati waktu libur sekolah atau kuliah, atau memang cuti kerja dalam waktu panjang. Sedangkan sekarang banyak orang karena takut ketinggalan alias kemudian ikut-ikutan naik gunung.

Bahkan tidak sedikit mereka yang mendaki hanya untuk pergi pagi dan pulang sore. Sedangkan pendaki dulu memang sengaja mendaki untuk menikmati suasana dengan mendirikan tenda dan menginap di atas ketinggian gunung.

Salah satu pemandu gunung di Lampung, Micho Zyafutra, risiko kecelakaan di alam terbuka bisa ditekan jika pendaki memiliki kesadaran penuh terhadap kondisi fisik dan kelengkapan pribadi. Ia menegaskan, persiapan fisik menjadi faktor utama sebelum mendaki.

Ia juga menyoroti pendaki pemula atau yang terlalu percaya diri sebagai tantangan tersendiri. Banyak dari mereka hanya fokus ingin cepat sampai puncak.

“Sering kali gak peduli sama temannya sendiri. Pokoknya yang penting sampai puncak duluan, itu keliru,” ujarnya.

Ia tak mempersoalkan pendaki yang datang untuk membuat konten. Namun, konten yang dibuat sebaiknya juga mengandung edukasi.

“Kalau cuma konten doang tanpa persiapan, itu yang bikin repot. Yang jadi korban bukan cuma mereka, tapi juga tim SAR dan ranger. Yang udah siap aja bisa kena musibah, apalagi yang setengah-setengah,” ujarnya tegas.

Salah satu pendaki gunung asal Banten bernama Acep membagikan pengalamannya dalam menjelajahi beberapa gunung yang tersebar di wilayah Banten. Menurutnya, gunung-gunung di Banten memiliki karakteristik yang "cukup ramah" bagi pendaki pemula karena ketinggiannya yang relatif rendah dibandingkan dengan gunung-gunung di Jawa Tengah atau Jawa Timur. Ini bisa dicoba bagi pendaki yang ingin menikmati alam sambil foto-foto.

Acep tidak ragu merekomendasikan beberapa gunung yang menurutnya, layak untuk didaki, di antaranya Akarasari. Ini merupakan sebutan lokal untuk tiga puncak yakni Gunung Aseupan, Gunung Karang, dan Gunung Pulosari. Ketiganya menawarkan keindahan alam, jalur pendakian yang bervariasi, serta pengalaman spiritual dan budaya yang khas Banten.

“Kalau mau cari pengalaman mendaki di Banten, Akarasari itu wajib dicoba. Ketiganya punya karakter masing-masing. Pulosari itu mistis dan bersejarah, Karang punya pemandangan yang luas, dan Aseupan tuh cocok banget buat latihan fisik karena jalurnya terus nanjak,” jelas Acep.

3. Kecelakaan dan proses penyelamatan di gunung

Infografis potret keamanan jalur pendakian. (IDN Times/Rakan)
Infografis potret keamanan jalur pendakian. (IDN Times/Rakan)

Impian Muhammad Azka (16) untuk mencapai puncak Gunung Kahung harus tertunda. Remaja asal Banjarmasin, Kalimantan Selatan, itu mengalami cedera lutut di tengah pendakian dan harus dievakuasi turun gunung.

Azka merupakan bagian dari rombongan pendaki berjumlah 12 orang, seluruhnya pelajar. Saat tiba di Pos Tiga, ia tak sanggup melanjutkan perjalanan. Tim gabungan Pokdarwis Belangian dan aparat kepolisian langsung turun tangan.

"Kejadiannya Minggu kemarin. Tim kami bersama Pokdarwis yang berjumlah 10 orang melakukan evakuasi," ujar Kapolsek Aranio, Ipda Cucu Ariawan Supriatin, Selasa (29/7/2025).

Menurut Ipda Cucu, kondisi Azka saat ditemukan sudah lemas dan tak bisa berjalan. Ia diduga mengalami cedera lutut karena kelelahan saat menapaki jalur naik turun menuju puncak.

Evakuasi tidak berjalan mudah. Perjalanan dari Desa Belangian—desa terakhir sekaligus titik awal pendakian—menuju Pos Tiga memakan waktu sekitar tiga jam. Karena tak bisa berjalan, Azka ditandu menggunakan kain sarung dan kayu seadanya.

Tidak hanya Azka, belum lama ini, publik hebok dengan kecelakaan yang menimpa Juliana Marins di Gunung Rinjani. Tak berselang lama, terjadi tiga kecelakaan lagi yang menimpa pendaki asal Negara Malaysia, Swiss dan Belanda. Hal ini menujukkan betapa persiapan sangat penting, sebab gunung tetaplah gunung. Setiap gunung memiliki tingkat kesulitan tersendiri saat didaki.

Begitu pula yang terjadi pada pendaki yang meninggal di Gunung Dempo awal 2025 lalu. Penyebab kematian korban bukan karena cuaca dingin, namun disebut-sebut karena kurangnya persiapan saat akan mendaki.

"Korban sebenarnya sudah mengaku tidak sanggup mendaki, tetapi tetap memaksa karena diajak teman-temannya. Saat naik, korban sakit," jelas Joko Wibowo, seorang pemandu bersertifikat dari Asosiasi Pemandu Gunung Indonesia (APGI).

Dirinya menilai kesiapan fisik menjadi yang utama dalam pendakian. Dirinya tidak akan mendampingi pendaki yang sejak awal tidak dalam keadaan fit. Terlebih kebanyakan pendaki pemula memaksakan diri naik gunung tanpa memperhatikan logistik mereka selama berada dalam jalur pendakian.

"Pendaki muda sekarang tidak menghiraukan masalah logistik. Kurangnya asupan nutrisi tinggi kalori justru membahayakan mereka melakukan pendakian gunung," jelas Joko.

4. Potret keamanan dan keselamatan berbagai gunung di Indonesia

IMG_20250717_100840_398.jpg
Pelatihan Vertical Rescue di Gunung Rinjani Lombok Timur. (IDN Times/Muhammad Nasir)

Sistem keselamatan jalur pendakian gunung di Indonesia masih menghadapi tantangan. Minimnya personel, keterbatasan logistik, serta kondisi geografis yang sulit dijangkau, membuat proses penyelamatan pendaki kerap berlangsung lambat. 

Dalam banyak kasus, upaya evakuasi lebih dulu dijalankan oleh jaringan relawan dan potensi SAR binaan Basarnas di kaki gunung. Salah satunya di jalur Lembanna yang menuju Gunung Bawakaraeng di Kabupaten Gowa, Provinsi Sulawesi Selatan.

"Jalur Lembanna atau jalur Bulu Ballea itu sudah ada teman di bagian registrasi. Kita berikan materi untuk penanganan pertama dalam menangani korban mulai dari gejala hipotermia dan sebagainya untuk mempercepat proses evakuasi. Karena kalau kita dari sini (Makasar), butuh waktu 4 jam," kata Kepala Seksi Operasi dan Siaga Basarnas Makassar, Andi Sultan, saat diwawancarai IDN Times via telepon, Jumat (1/8/2025).

Dia menyebut, proses awal dimulai dari laporan masyarakat. Informasi yang masuk diverifikasi terlebih dahulu, termasuk posisi pendaki, jumlah korban, dan kronologi kejadian. Setelah itu, laporan diteruskan berjenjang mulai dari operator radio, kepala jaga, kepala kasi hingga kepala kantor, sebelum tim SAR dikerahkan ke lokasi.

Untuk mengatasi kendala waktu tempuh, Basarnas Makassar membentuk dan melatih potensi SAR di titik-titik strategis. Salah satunya di jalur pendakian Gunung Bawakaraeng melalui Lembanna dan Bulu Ballea, Kabupaten Gowa. Wilayah ini menjadi akses utama yang paling ramai digunakan pendaki, terutama saat momen 17 Agustus dan libur tahun baru.

Basarnas hanya memiliki 26 personel di kantor Makassar. Jumlah tersebut harus dibagi ke 8 pos SAR yang tersebar di seluruh wilayah provinsi Sulawesi Selatan. Dalam kondisi ideal pun, pengiriman tim ke medan pegunungan memakan waktu dan tenaga yang besar.

Basarnas Makassar juga tidak memiliki helikopter sendiri. Jika evakuasi udara diperlukan, maka mereka harus berkoordinasi dengan instansi lain seperti TNI AU atau TNI AL. Contohnya saat banjir bandang di Latimojong, Basarnas bekerja sama dengan militer untuk menjangkau korban.

Persoalan kesulitan Tim SAR ini tidak hanya dirasakan oleh Basarnas di Makassar. Hal ini juga dirasakan oleh Tim SAR Bandung di Jawa Barat. Kepala Seksi Operasi dan Siaga SAR Bandung, Moch Adip mengatakan terkait peralatan dalam pertolongan di kawasan pegunungan, Kantor SAR Bandung memiliki berbagai macam alat termasuk ketersediaan helikopter. Meski demikian, pencarian korban kecelakaan di pegunungan yang ada di Jawa Barat memang biasanya tidak mudah, karena tergantung kondisi kawasan dan cuaca sekitar.

Bisa saja area kecelakaan sulit diakses sehingga pencarian korban membutuhkan waktu. Kemudian cuaca pun harus mendukung karena ketika ada kabut atau angin kencang agar sulit melakukan evakuasi korban kecelakaan di area pegunungan.

"Sebenarnya kita juga sudah koordinasi dengan komunitas pencinta alam atau pendaki di area pegunungan sehingga ketika ada kejadian mereka juga bisa terjun lebih dulu karena sudah hapal medan," paparnya.

Kesulitan medan evakuasi dan kendala pada proses penyelamatan ini juga terjadi di Gunung Rinjani yang ada di Lombok, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Balai Taman Nasional Gunung Rinjani (BTNGR) mencatat sebanyak 32 pendaki yang mengalami kecelakaan sejak pembukaan pendakian awal April 2025. Pendaki yang kecelakaan sebanyak 12 orang merupakan warga negara asing (WNA), sisanya pendaki nusantara. Dari jumlah kecelakaan itu, dua pendaki WNA meninggal dunia dan dua orang dievakuasi pakai helikopter.

"Kejadian yang menimpa Juliana membuka mata semua pihak. Bukan pengelola TNGR saja, tapi pengunjung, termasuk pemerintah pusat juga. Selain evakuasi, pascakejadian perlu juga pembenahan dan mitigasi supaya bisa zero accident," kata pelaku wisata pendakian Trekking Organizer (TO) Rinjani Trekker, Soba dikonfirmasi IDN Times, Sabtu (2/8/2025).

Terpisah, Ketua Pokja World Class Mountaineering Balai Taman Nasional Gunung Rinjani (BTNGR) Budi Soesmardi mengatakan saat ini pihaknya sedang menyosialisasikan draf SOP pendakian Gunung Rinjani yang terbaru. Revisi SOP pendakian Gunung Rinjani merupakan tindak lanjut dari rekomendasi yang disampaikan pada saat rapat koordinasi dipimpin Kemenko Polkam.

Salah satu rekomendasinya adalah evaluasi tata kelola pendakian Gunung Rinjani yang di dalamnya ada satu item yaitu revisi SOP pendakian. "Saat ini kita sedang menjaring masukan atau usulan-usulan dari pelaku wisata terutama trekking organizer terkait dengan bagian-bagian yang perlu kita benahi bersama," kata Budi.

Beberapa catatan yang terdapat pada SOP pendakian Gunung Rinjani yang baru, kata Budi, mengenai masa berlaku surat keterangan sehat calon pendaki yang awalnya berlaku H-3, sekarang berlaku H-1. Kemudian, nantinya ada kesepakatan bersama terkait dengan rasio penggunaan guide untuk pengunjung yang awalnya satu berbanding 6.

"Tapi kita akan mencari masukan dari teman-teman pelaku wisata pendakian, praktisi dan stakeholder lain terkait rasio penggunaan guide," tambahnya.

Selain itu, dalam dalam draf SOP yang baru, menekankan tentang kompetensi guide. Dalam draf SOP itu, menekankan untuk seorang guide selain terdata sebagai guide di taman nasional juga harus tersertifikasi oleh Badan Sertifikasi Nasional Profesi. "Jadi semua guide sudah legal dan kompeten untuk melakukan pemanduan di TNGR," terangnya.

Untuk sarana dan prasarana, kata Budi, sudah selesai dilakukan perbaikan jalur dari Pelawangan Sembalun menuju Danau Segara Anak. Kemudian dilanjutkan perbaikan jalur dari Pelawangan Senaru menuju Danau Segara Anak dan jalur Torean.

Tak kalah pentingnya, kata Budi, ada penambahan satu unit shelter emergency di Pelawangan 4 Sembalun yang nantinya difungsikan sebagai tempat penyimpanan peralatan evakuasi. Jika terjadi kecelakaan, peralatan evakuasi tak perlu lagi didatangkan dari Sembalun tapi sudah standby di Pelawangan 4.

Sementara itu, sistem keselamatan di jalur pendakian ini juga menjadi sorotan di Gunung Lawu. Pengelola jalur resmi bersama BPBD dan Perhutani Lawu Selatan menekankan pentingnya prosedur keselamatan dan kepatuhan terhadap aturan.

“Gunung bukan tempat main-main, keselamatan dan etika harus jadi prioritas,” tegas Mulyadi, Asper/KBKPH Lawu Selatan, Rabu (30/7/2025).

Dari sisi kebencanaan, BPBD Magetan menyatakan mereka selalu siap terlibat dalam kegiatan berisiko tinggi. Meski tidak mengatur langsung SOP pendakian, BPBD rutin berkoordinasi dengan Perhutani dan SAR, terutama saat event-event besar seperti “Ring of Lawu”.

"Kami siaga penuh jika ada kegiatan massal atau jika situasi mendesak. Koordinasi lintas lembaga akan langsung digerakkan,” jelas Eka Wahyudi, Kasi Kedaruratan dan Logistik BPBD Magetan.

Gunung Lawu bukan hanya destinasi indah, tapi juga ujian tanggung jawab. Dari SOP ketat hingga edukasi lingkungan dan kesiapsiagaan evakuasi, semua pihak berkomitmen menjadikan pendakian tak hanya menyenangkan, tapi juga aman dan beretika.

“Jangan cuma siap fisik, pastikan juga siap aturan dan etika. Selamat mendaki dengan aman dan sadar risiko,” tutup Mulyadi.

5. Pentingnya mematuhi aturan pendakian

Gunung Rinjani
Proses evakuasi warga Brasil yang jatuh di Gunung Rinjani (dok. Istimewa)

Kesalahan para pendaki yang kerap alami kecelakaan karena mereka tidak mengikuti aturan ketika berada di pegunungan tertentu. Karena terlalu senang mendaki sehingga kurang berhati-hati selama di perjalanan.

Di sisi lain, masih ada pendaki yang tidak mendaftar secara resmi atau menyimpan nomor kontak kepada petugas yang berada di area pendakian. Sehingga, ketika ada sesuatu terhadap pendaki tersebut agak susah dipastikan kondisinya karena memang tidak diketahui oleh petugas.

"Ini juga penting sehingga ketika ada hal darurat kita bisa segera merespons," ungkap Kepala Seksi Operasi dan Siaga SAR Bandung, Moch Adip.

Kemudian, para pendaki pun harus bisa mempelajari cara melakukan evakuasi atau area mana saja yang berbahaya ketika dilewati sehingga tahu harus berbuat apa ketika terjadi sesuatu termasuk kecelakaan di jalur pendakian.

Tak hanya aturan pendakian, aturan dari desa dan warga setempat juga perlu untuk diperhatikan. Seperti aturan pada gunung di Tabanan, Bali misalnya. Bendesa Adat Wongaya Gede sekaligus Ketua Umum Pura Luhur Batukau, I Ketut Sucipto, mengatakan pihak desa adat sebenarnya menerapkan aturan pelarangan pendakian, kecuali bagi mereka yang masesangi (membayar nazar) di Gunung Batukaru. 

“Kalau di Batukaru sudah kita berlakukan aturan. Ada larangan untuk pendakian, kecuali orang yang naur sesangi (membayar nazar) diperbolehkan,” ujar Sucipto saat dihubungi IDN Times melalui sambungan telepon, Sabtu (2/8/2025).

Meskipun ada larangan, nyatanya ada beberapa persoalan yang dihadapi. Berikut pembahasan selengkapnya.

Sucipto menjelaskan, ada berbagai lembaga yang bertanggung jawab dalam pengelolaan Gunung Batukaru. Seperti Desa Pinet, Kecamatan Penebel menjadi penanggung jawab upakara atau upacara Hindu Bali di Gunung Batukaru. Sedangkan Desa Sanda di Kecamatan Pupuan bertanggung jawab dalam perawatan bangunan Pura Batukau dan sekitarnya secara fisik.

Lalu Desa Wongaya Gede di Kecamatan Penebel bertanggung jawab atas pekelem atau upacara besar umat Hindu Bali di Batukaru.

Jalur pendakian menuju Gunung Batukaru dapat melewati beberapa rute di antaranya dari Desa Wongaya Gede, Pura Batukau. Kedua dari Pujungan, Pupuan. Selanjutnya melalui Pura Malen, Wanagiri, dan Jatiluwih.

Para pendaki juga dilarang untuk mendaki secara ilegal. Hal ini bertentangan dengan aturan pendakian. Jika dilanggar, pendaki yang nekat akan dimasukkan dalam daftar hitam dan diberi sanksi-sanksi lain. Tujuannya agar pendaki tersebut tidak mengulangi perbuatannya lagi.

Seperti yang terjadi pada 20 orang melakukan aktivitas pendakian secara ilegal di Gunung Merapi. Mereka diamankan petugas Balai TNGM dan aparat Kepolisian Sektor Selo Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, Minggu (13/4/2025).

Kepala BTNGM, Muhammad Wahyudi mengatakan, puluhan pendaki terlihat kaget ketika petugas gabungan mengadang mereka yang baru saja turun dari jalur pendakian Gunung Merapi.

"Mereka kaget dan tidak menyangka ketika turun dari atas, sudah ditunggu petugas. Kendaraan mereka sudah diamankan lebih dulu," kata Wahyudi pada Minggu malam.

Berdasarkan keterangan sementara yang diperoleh petugas, 20 pendaki itu naik ke jalur pendakian pada dini hari. "Sekitar jam dua pagi untuk menghindari diketahui masyarakat maupun petugas Balai TNGM," ungkap Wahyudi.

Menurut Wahyudi, 20 orang pendaki ilegal itu terdiri dari pelajar, mahasiswa, hingga karyawan yang berasal Sragen, Solo, Klaten, serta wilayah DIY berdasarkan tanda pengenal masing-masing.

Adapun jalur pendakian Gunung Merapi berada pada radius kurang dari 3 kilometer, sehingga sangat membahayakan keselamatan. Oleh karena itu, TNGM memastikan seluruh aktivitas pendakian Gunung Merapi yang belakangan marak dan tersebar melalui berbagai media sosial adalah ilegal alias tak resmi.

TNGM telah melalukan berbagai upaya sebagai respons atas maraknya aktivitas pendakian ilegal belakangan. Mulai menelusuri pemilik akun media sosial pengunggah kegiatan pendakian ilegal dan akan memproses para pedaki sesuai aturan perundang-undangan berlaku.

Penulis: Ni Komang Yuko Utami (Bali), Silviana (Lampung), Ashrawi Muin (Sulsel), Fariz Fardianto (Jateng), Debbie Sutrisno (Jabar), Rangga Erfizal (Sumsel), Hendra Lianor (Kalsel), Riyanto (Jatim), Tunggul Kumoro Damarjati (Jogja), Indah Permata Sari (Sumut), Muhammad Iqbal (Banten), Ruhaili dan Muhammad Nasir (NTB)

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Linggauni -
EditorLinggauni -
Follow Us