Kisah Guru Lereng Tambora Ngajar 6 Kelas Sehari di Tengah Keterbatasan

Bima, IDN Times – Novi Antika telah delapan tahun menjalani profesi sebagai guru di wilayah pelosok, tepatnya di SDN 1 Tambora, Desa Oi Bura, Kecamatan Tambora, Kabupaten Bima, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Banyak cerita yang mewarnai perjalanan Novi sebagai guru di sekolah yang terletak di lereng Gunung Tambora itu.
Berbagai tantangan dengan segala keterbatasan telah ia alami selama masa pengabdiannya. Namun, keterbatasan tersebut justru mendorong Novi, yang merupakan alumni Universitas Muhammadiyah Mataram (UMM), untuk bertekad mengubah keadaan. Ia ingin anak-anak didiknya memiliki kemampuan dan wawasan yang setara dengan siswa di sekolah lainnya, meskipun ia harus menerima kenyataan pahit karena tidak mendapatkan tunjangan sebagai guru terpencil, berbeda dengan beberapa guru sukarela lainnya.
"Saya mulai mengajar di SDN 1 Tambora sejak 2017. Saat itu, guru yang berstatus PNS hanya kepala sekolah saja, sementara sisanya adalah tenaga sukarela," ujarnya saat dikonfirmasi, Jumat malam (24/1/2025).
1. Ngajar 6 kelas dalam sehari

Seiring berjalannya waktu, jumlah guru di SDN 1 Tambora meningkat. Kini, ada 11 guru yang mengajar, dengan 4 di antaranya berstatus sebagai PNS dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).
Namun, motivasi para guru untuk mengajar terkadang menurun karena terhalang oleh kesibukan masing-masing. Dalam kondisi ini, Novi sering kali harus memutar otak untuk menangani kegiatan belajar mengajar bagi siswa dari kelas 1 hingga kelas 6.
"Sering saya masuk sendiri. Saat mengajar sendiri, biasanya pada jam pertama saya gabungkan dua kelas dalam satu ruangan, begitu pula di jam pelajaran kedua dan seterusnya. Capeknya luar biasa, sampai-sampai suara saya terganggu," ungkapnya.
Meski demikian, kondisi ini tidak menyurutkan semangat para siswa untuk datang ke sekolah. Motivasi mereka untuk belajar tetap tinggi, meskipun jarak antara rumah dan sekolah berkisar 3 hingga 4 kilometer.
Belum lagi, akses jalan menuju sekolah sangat buruk. Jalan berkerikil dan licin saat musim hujan, dengan hamparan hutan lereng gunung dan perkebunan warga di sekitarnya. Para siswa bahkan sering bertemu babi hutan atau ular di perjalanan.
"Saya sering berjalan kaki bersama siswa saat musim hujan seperti ini. Jalan tidak bisa dilewati motor karena menurun dan licin," jelasnya.
2. Gedung sekolah lapuk dan tidak ada internet

Selain akses jalan yang buruk, fasilitas di sekolah juga sangat terbatas. Ruang kelas yang bisa digunakan hanya tiga ruangan, sementara satu ruangan lainnya dikosongkan karena temboknya retak dan nyaris ambruk akibat gempa pada 2019.
"Plafon sudah banyak yang bolong, begitu juga dinding yang retak, dan beberapa jendela pecah akibat gempa 2019 lalu," katanya.
Lebih miris lagi, SDN 1 Tambora belum dialiri listrik dan tidak terjangkau layanan internet. Untuk menyelesaikan pekerjaan berbasis daring, para guru harus mencari sinyal internet di luar sekolah.
"Di sekolah ini, dan umumnya di Desa Oi Bura, sebagian besar wilayah tidak terjangkau layanan internet," tambah Novi.
3. Tak dapat tunjangan guru terpencil

Meskipun menghadapi berbagai tantangan, Novi mengaku tidak pernah mengeluh selama mengajar di SDN 1 Tambora. Namun, honor yang ia terima tidak sebanding dengan kerja kerasnya mencerdaskan generasi muda.
"Honor saya tidak menentu. Kadang saya menerima Rp1,2 juta setiap enam bulan sekali atau Rp1,4 juta setiap delapan bulan sekali. Honor ini tentu tidak cukup, tapi kami berusaha mencukupinya," katanya.
Untuk menambah penghasilan, Novi sempat mengajukan berkas untuk mendapatkan tunjangan sebagai guru terpencil. Namun, hingga kini pengajuannya belum membuahkan hasil, tanpa penjelasan mengenai alasan penolakan tersebut.
"Hanya saya dan dua guru lainnya yang tidak mendapatkan tunjangan guru terpencil. Sementara guru-guru sukarela lainnya mendapatkan tunjangan itu," pungkasnya.