Temuan Penyakit TBC di NTB Tembus 4.429 Kasus hingga Mei 2025

- NTB temukan 4.429 kasus TBC hingga Mei 2025
- Angka memulai pengobatan baru 18 kasus TBC
- Pengobatan pasien TBC butuh waktu minimal 6 bulan
Mataram, IDN Times - Dinas Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) mencatat temuan penyakit tuberkulosis (TBC) sebanyak 4.429 kasus sejak Januari hingga Mei 2025. Provinsi NTB sendiri memiliki estimasi atau target penemuan kasus TBC pada tahun 2025 sebanyak 19.180 kasus.
Plh Kepala Dinas Kesehatan NTB Tuti Herawati di Mataram, Senin (16/6/2025) mengatakan organisasi kesehatan dunia atau World Health Organization dalam Global TB Report 2023 menyatakan bahwa TBC masih menjadi masalah kesehatan di dunia hingga saat ini. Indonesia berada pada posisi kedua dengan jumlah beban kasus TBC terbanyak di dunia setelah India.
1. Angka memulai pengobatan baru 18 kasus TBC

Berdasarkan data Dinas Kesehatan Provinsi NTB pada tahun 2025 hingga bulan Mei, jumlah kasus ternotifikasi atau penemuan kasus TBC sebanyak 4.429, cakupan Treatment Coverage (TC) mencapai 23,9 persen. Sedangkan kasus terkonfirmasi TB RR/MDR sebanyak 24 kasus dan angka Enrollment atau capaian angka memulai pengobatan TB RR/MDR 18 kasus.
TB RR (Rifampicin Resistant) berarti TB yang resistan terhadap obat rifampisin, sedangkan TB MDR (Multidrug Resistant) adalah TB yang resistan terhadap setidaknya rifampisin dan isoniazid, dua obat lini pertama yang paling efektif untuk mengobati TB. "Adapun capaian Treatment Success Rate (TSR) di NTB sebesar 82,07 persen," terangnya.
Tuti mengatakan pemeriksaan TBC dengan metode tes cepat berbasis biomolekuler (TCM TB) merupakan salah satu solusi mengatasi TBC yang memungkinkan diagnosa TBC dilakukan dengan lebih cepat dan akurat. Sebanyak 46 unit alat TCM tersebar di seluruh Kabupaten/Kota di NTB.
2. Kendala penanganan TBC di NTB

Dia menyebut sejumlah faktor yang menjadi kendala penanganan TBC di NTB. Antara lain belum berjalannya skrining TBC pada populasi risiko tinggi, investigasi kontak belum berjalan di seluruh wilayah, notifikasi kasus pada faskes swasta masih rendah, dan jejaring internal faskes belum optimal.
Selain itu, delay reporting di fasyankes juga menjadi kendala penanganan TBC. Cakupan pemberian terapi pencegahan TBC masih rendah, pemahaman tenaga kesehatan dalam pemberian TPT belum optimal, dukungan lintas sektor dalam pencegahan faktor risiko TBC belum maksimal, serta penerapan perilaku hidup sehat untuk pencegahan TBC masih kurang.
Dins Kesehatan NTB menyusun rencana tindak lanjut atas penanganan kasus TBC antara lain dengan melakukan umpan balik capaian program TBC setiap bulan ke kabupaten/kota. Kemudian melakukan validasi data kasus TBC di Sistem Informasi Tuberkulosis (SITB), melakukan bimbingan teknis program TBC, melakukan update data logistik TBC di SITB, dan menjamin ketersediaan logistik TBC di tingkat pusat.
Dinas kesehatan Kabupaten/Kota juga melakukan umpan balik capaian program TBC setiap bulan ke fasyankes, memastikan bahwa semua penemuan dan pengobatan kasus TBC di fasyankes sudah terinput di SITB. Kemudian memastikan bahwa semua fasyankes telah melaporkan zero reporting setiap Jumat di SITB, melakukan validasi data kasus TBC tingkat fasyankes di SITB, melakukan bimbingan teknis program TBC ke fasyankes, melakukan update data logistik TBC di SITB, serta menjamin ketersediaan logistik TBC di Tingkat Kabupaten/Kota.
Tuti menjelaskan fasilitas pelayanan Kesehatan mengupayakan penemuan kasus TBC secara aktif dengan melibatkan multi pihak (HIV, Lansia, Gizi dan PTM), mengaktifkan penemuan kasus TBC melalui jejaring layanan satelit seperti Tempat praktek Mandiri Dokter, Klinik Pemerintah/Swasta dan RS Pemerintah/Swasta. Selain itu, melakukan pemantauan pengobatan pasien TBC, berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan Kbupaten/Kota terkait rujukan masuk dan keluar kasus TBC yang ditemukan, dan melakukan kegiatan investigasi kontak TBC yang melibatkan kader komunitas.
Fasyankes juga terus berkoordinasi dengan perangkat wilayah desa/kelurahan dalam melakukan penjaringan kasus. Kemudian melakukan penginputan data penemuan dan pengobatan kasus TBC ke SITB secara real time. Selanjutnya melakukan pelaporan zero reporting di SITB setiap Jum’at, melakukan update data logistik TBC di SITB.
Fasyankes dengan Tes Cepat Molekuler melaporkan kendala teknis pada alat TCM ke Dinas Kab/Kota dan ASP sesuai mekanisme pelaporan, tenaga kesehatan di fasyankes seperti dokter, lerawat, analis kesehatan dan farmasi mengikuti pelatihan TBC melalui situs lms.kemkes.go.id.
3. Pengobatan pasien TBC butuh waktu minimal 6 bulan

Tuti menambahkan berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 67 Tahun 2021 tentang Penanggulangan Tuberkulosis, bahwa Tuberkulosis masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia dan menimbulkan masalah yang sangat kompleks baik dari segi medis maupun sosial, ekonomi, dan budaya. Mengatasi permasalahan Tuberkulosis sekaligus meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia diperlukan upaya penanggulangan yang komprehensif, terpadu, dan berkesinambungan.
TBC yang tidak ditangani hingga tuntas menyebabkan resistansi obat atau kebal obat yang disebut TB RO. Untuk mencapai Eliminasi TBC tahun 2030, Indonesia menargetkan penurunan angka kejadian (incidence rate) TBC menjadi 65 per 100.000 penduduk dan target penurunan angka kematian akibat TBC menjadi 6 per 100.000 penduduk.
Dia mengatakan mengakhiri epidemi TBC menjadi salah satu target penting dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals). TBC penting untuk dieliminasi karena merupakan penyakit kronis yang dapat menular dengan mudah, melalui droplet yang berpotensi menyebar di lingkungan keluarga, tempat kerja, sekolah, dan tempat umum lainnya.
"Pengobatan TBC membutuhkan konsistensi dan komitmen, terutama dari penderita dengan kemungkinan adanya efek samping obat dan memerlukan waktu pengobatan yang tidak sebentar minimal 6 bulan," tandasnya.