Kronologis Persoalan Lahan Antara Petani Sembalun dan PT SKE

Lombok Timur, IDN Times – Ratuan kepala keluarga di Desa Sembalun ramai-ramai menolak hak guna usaha lahan seluas 120 hektare di Desa Sembalun Kecamatan Sembalun Lombok Timur NusaTenggara Barat.
Ratusan kepala keluarga di Desa Sembalun ramai-ramai menolak hak guna usaha lahan seluas 120 hektare, tepat di Desa Sembalun Kecamatan Sembalun Lombok Timur NusaTenggara Barat.
Bukan hanya di Sembalun, kasus sengketa lahan juga mewarnai proses pembangunan Sirkuit Pertamina Mandalika yang diresmikan Presiden Joko Widodo pada tanggal 12 November 2021 lalu. Hampir 900 KK di Sembalun menolak HGU lahan yang dikuasai Presiden kedua Indonesia Soeharto tahun 1960 lalu.
1.Kronologis proses HGU lahan petani di Sembalun

Direktur Lembaga Studi Bantuan Hukum Provinsi Nusa Tenggara Barat Badarudin, SH menjelaskan awal proses peralihan lahan petani di Sembalun selama masa kepemimpinan Soeharto tahun 1960 lalu.
Badarudin mengatakan, sejak kedatangan Soeharto di Sembalun tahun 1987 silam lahan seluas 550 hektare dikuasai setahun setelah kedatangan Soeharto tahun 1988-1989.
“Kedatangan Soeharto 1987 di tanah itu dalam rangka panen bawang, melihat situasi itu, Soeharto pun menguasai 550 hektare sesuai izin HGU tahun 1988,” kata Badar sapaannya, Jumat (18/2/2022).
Setahun setalah Soeharto mengeluarkan izin lokasi lahan seluas 550 hektare. Tahun 1989, izin HGU atas nama PT Sembalun Kusuma Emas seluas 183 hektare.
“Tapi waktu itu belum dialakukan pembebasan di tanah HGU itu. Sedangkan pembebasannya tahun 1990. Setelah HGU keluar ada tiga tempat. Keluarlah pembebasan tahun 1990 sesuai berita acara pembebasannya,” katanya.
2.Tanah tidak pernah digarap PT SKE

Pada pembebasan lahan tahun 1990, tanah seluas 150 hektare yang dikelola 900 KK digarap lagi tahun 1996 oleh warga Sembalun. Karena izin pembebasan lahan tak kunjung keluar setelah izin HGU, maka secara tidak langsung lahan itu dikelola rakyat tahun 1996 hingga sekarang.
“Artinya tanah itu untuk kepentingan umum. PT SKE dalam hal ini tidak memiliki itikad baik, kenapa kemudian HGU yang dekluarkan tanah 183, bahkan SKE mengalihkan itu ke PT AGRO,” katanya.
Selama digarap warga, tanah seluas 180 hektare pemerintah tidak mengeluarkan izin kelola untuk PT SKE.
“Baru keluar tahun 2021. Artinya secara UU UUPA, tidak sah pembebasan tahun 1989 itu. Karena tidak untuk kepentingan umum, dalam pikiran kita, umum untuk rakyat dan swasta,” katanya.
Badar berujar ratusan petani di Sembalun menolak HGU PT SKE yang dikeluarkan pemerintah NTB dan Pemerintah Kabupaten Lombok Timur. Selain itu, sikap Bupati dengan mengeluarkan izin HGU untuk PT SKE membuat masalah ini semakin rumit.
“Kenapa saya katakan semakin rumit, bupati mengeluarkan reforma agraria versi dia. Iya, yang bicara tentang subsidi lahan di tempat yang lain. Ini adalah cara-cara pemecah belah,” katanya.
3.Petani merasa diintimidasi

Selama proses penolakan lahan HGU seluas 120 hektare yang dikeluarkan pemerintah NTB dan Pemda Lombok Timur, kerap menimbulkan tindakan intimidasi dan represif. Petani merasa bahwa kepolisian tidak ramah terhadap warga yang menggarap lahan itu.
Bahkan, beberapa waktu lalu ujar Badar, petani di Sembalun mendapat ancaman aparat ketika proses pemasangan plang HGU milik PT SKE.
“Wajar kemudian petani mempertahankan tanahnya. Hampir semua petani berhadapan dengan tindakan kekerasan dan intimidasi,” kata Badar.
Dalam kasus ini, ujar Badar, LSBH NTB melihat banyak petani dirampas haknya dalam mengelola lahannya.
“Saya percaya bahwa ketika kaum tani berpegang kepada alat perjuangan organisasinya maka itu menjadi salah satu ruang untuk bertahan. Karena ini persoalan persatuan saja,” kata dia.
Dia juga menggarisbawahi, ancaman paling besar kaum tani di NTB khususnya adalah adanya pemecah belah gerakan ketika berhadapan dengan pemerintah atau perusahaan.
“Konsekuensi berjuang mempertahankan tanah itu, hampir mayoritas kaum tani memahami itu, kalau tidak dipukul iya dilaporkan bahkan dibunuh. Soalnya negara tidak mau, mengedepankan rakyat daripada kepentingan perusahaan,” tegas Badar.