Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

5 Perang Batin Gen Z Antara Passion dan Realita Ekonomi

Ilustrasi pria berdiri di dekat lapangan (freepik.com/freepik)

Siapa nih yang pernah ngerasa dilema antara mengejar passion atau realistis soal isi dompet? Wah, kamu gak sendirian, kok. Gen Z tuh generasi yang tumbuh di tengah semangat “kerja sesuai hati” tapi juga dihantam realita hidup yang bilang, “Eh, cicilan gak bisa dibayar pakai mimpi.” Ironis, ya? Tapi itulah kenyataannya.

Gak jarang, perang batin ini jadi sumber galau harian. Mau ngikutin hati takut gak bisa hidup layak, tapi kalau kerja sekadar buat gaji, jiwa rasanya kosong. Nah, artikel ini akan membahas lima perang batin paling relatable yang sering dialami Gen Z saat berhadapan dengan passion vs realita ekonomi.

Yuk, simak baik-baik. Siapa tahu kamu bisa nemuin secercah pencerahan dari konflik batin ini!

1. Passion bikin bahagia, tapi tagihan gak bisa ditunda

Ilustrasi memberikan uang (freepik.com/rawpixel.com)

Punya passion yang bikin kamu semangat bangun pagi itu luar biasa. Tapi begitu lihat tanggal tua dan notifikasi “tagihan belum dibayar,” kebahagiaan itu bisa langsung menguap. Banyak Gen Z yang merasa bahwa kerja sesuai passion tuh priceless, bisa melakukan hal yang disukai, berkembang secara pribadi, dan merasa hidup punya makna. Tapi kalau gak ada pemasukan yang stabil, yang ada malah stres berkepanjangan.

Di sisi lain, hidup itu penuh kebutuhan yang gak bisa ditunda. Makan, transportasi, bayar kos, langganan internet (buat ngonten atau kerja), semuanya butuh duit. Akhirnya, banyak yang terjebak di titik nanggung, kerja biar dapet duit, tapi sambil nyisihin waktu buat passion. Capek? Pasti. Tapi ini realita yang harus dihadapi dengan bijak dan strategi, bukan sekadar mengeluh.

2. Gengsi kerja kantoran vs eksplorasi dunia kreatif

Ilustrasi wanita mengerjakan tugas di dekat jendela (freepik.com/kroshka__nastya)

Dulu, kerja kantoran dianggap jalan paling aman dan terhormat. Tapi sekarang, banyak Gen Z yang ingin keluar dari “pakem” itu dan mulai ngulik dunia kreatif, jadi content creator, freelance ilustrator, atau bahkan digital nomad. Masalahnya, dunia kreatif seringkali gak stabil. Pemasukan bisa naik turun, proyek bisa datang dan pergi, dan gak semua orang bisa memahami itu, terutama keluarga atau lingkungan sekitar.

Perang batinnya makin rumit ketika gengsi mulai main peran. Di satu sisi, kerja di kantor dengan gaji tetap dan tunjangan keliatan “mapan” di mata banyak orang. Tapi di sisi lain, kerja kreatif bisa jadi lebih memuaskan secara pribadi. Jadi, harus pilih yang bikin bangga keluarga atau yang bikin hati tenang?.

Hmm..berat, ya? Tapi bukan berarti gak bisa dicari titik tengahnya.

3. Takut gagal dikejar waktu, tapi passion butuh proses

Ilustrasi pria merasa stres (freepik.com/freepik)

Banyak Gen Z yang merasa dikejar waktu, umur 25 harus sukses, 30 udah mapan. Padahal, mengembangkan passion itu butuh proses panjang dan gak semua langsung keliatan hasilnya. Ini bikin dilema, mau ngasih waktu untuk berkembang sesuai passion, tapi takut dibilang “nganggur gak jelas” atau “terlalu santai”. Tekanan sosial dan ekspektasi lingkungan sering kali bikin kita buru-buru milih jalan yang “aman” saja.

Tapi kalau terus ditahan, passion bisa jadi luka batin jangka panjang. Rasanyaseperti mengorbankan jati diri demi kenyamanan sesaat. Gak sedikit yang akhirnya menyesal karena gak ngasih diri sendiri kesempatan buat coba dan gagal. Padahal gagal itu bagian dari proses. Jadi, mending sabar dan nikmatin perjalanan, atau cepat-cepat sukses tapi hampa?

4. Pengen bermanfaat buat orang lain, tapi ekonomi sendiri belum stabil

Ilustrasi wanita memegang uang (pexels.com/Photo By: Kaboompics.com)

Pernah merasa sangat ingin membuat impact buat sekitar, buka usaha sosial, bikin gerakan komunitas, atau proyek kreatif yang bermanfaat? Tapi realitanya, dompet sendiri masih butuh diselamatkan. Di sinilah konflik batin sering muncul, idealisme versus kebutuhan pribadi. Ingin jadi orang yang punya kontribusi, tapi lagi-lagi, kondisi finansial jadi penghalang utama.

Kadang bikin kita bertanya-tanya, “Apa aku egois kalau fokus dulu buat diri sendiri?” Jawabannya? tidak. Kamu gak bisa menuang dari gelas kosong. Jadi, bangun stabilitas ekonomi dulu bukan berarti kamu mengabaikan nilai hidup. Justru itu fondasi supaya nanti kamu bisa bantu orang lain dengan cara yang lebih berdampak dan berkelanjutan.

5. Nyari kerja sesuai passion, tapi CV harus tetap masuk akal

Ilustrasi wanita membuat CV kerja (freepik.com/katemangostar)

Yang satu ini sering banget kejadian. Kamu punya passion di bidang tertentu, tapi pas buka lowongan, syaratnya panjang banget dan gak nyambung sama apa yang kamu kuasai. Atau lebih parah lagi, passion kamu gak masuk radar dunia rekrutmen konvensional. Akhirnya kamu harus “memoles” CV biar kelihatan profesional, padahal dalam hati kamu cuma ingin mendengarkan musik, gambar, atau nulis puisi.

Ini bikin banyak Gen Z merasa harus jadi dua versi, versi dunia kerja dan versi diri sendiri. Gak salah sih, adaptasi itu penting. Tapi kalau terlalu lama pura-pura, bisa bikin lelah dan kehilangan jati diri. Triknya? Temuin titik temu antara passion dan kebutuhan pasar. Biar CV kamu gak cuma keren, tapi juga jujur dan mewakili potensi sebenarnya.

Pada akhirnya, perang batin antara passion dan realita ekonomi itu bukan sesuatu yang harus dimenangkan salah satunya. Justru, tugas kita adalah nyari cara biar keduanya bisa hidup berdampingan. Gak mudah, memang. Tapi bukan berarti gak mungkin.

Ingat, kamu bukan satu-satunya yang lagi berjuang di jalan ini. Jadi, jangan terlalu keras sama diri sendiri. Tetap semangat, tetap realistis, dan yang paling penting, jangan pernah kehilangan rasa penasaran dan cinta terhadap apa yang kamu suka. Karena dari sanalah, hidup jadi lebih hidup.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Linggauni
EditorLinggauni
Follow Us