Gubernur NTB akan Reformasi Sistem Pendakian Gunung Rinjani

Mataram, IDN Times - Gubernur NTB Lalu Muhamad Iqbal menyatakan dukungan penuh terhadap inisiatif penguatan sistem penyelamatan vertikal (vertical rescue) di kawasan Gunung Rinjani. Reformasi sistem pendakian Gunung Rinjani tidak hanya bertujuan untuk mengurangi kecelakaan, tetapi juga memastikan pelestarian lingkungan Gunung Rinjani.
Selain sistem rescue, Iqbal menyoroti pentingnya edukasi bagi para pendaki, termasuk kebutuhan akan safety briefing yang wajib dilakukan sebelum pendakian. Pemprov NTB melakukan evaluasi menyeluruh terkait sistem pendakian Gunung Rinjani imbas pendaki asal Brasil Juliana Marins yang terjatuh di sekitar Cemara Nunggal jalur menuju puncak Rinjani pada Sabtu (21/6/2025).
“Kita perlu orang khusus yang memberikan safety briefing sebelum naik, bukan hanya guide,” kata Iqbal di Mataram, Kamis (3/7/2025).
1. Evaluasi menyeluruh tata kelola pendakian Gunung Rinjani

Eks Duta Besar Indonesia untuk Turki ini menyampaikan keinginannya untuk melakukan review secara menyeluruh terhadap tata kelola pendakian Gunung Rinjani. Mulai dari sistem penyelamatan, regulasi pendakian, hingga edukasi terhadap wisatawan.
“Kita mau review semuanya secara menyeluruh. Mulai dari sistem vertical rescue, kelengkapan peralatan, SOP, hingga penentuan jumlah pengunjung dan zonasi yang boleh dilalui. Mana yang benar-benar untuk wisata, mana yang untuk pendakian serius. Ini harus jelas supaya tidak ada lagi salah persepsi,” teganya.
3. Bentuk tim rescue berbasis lokal

Pada Rabu (2/7/2025), Gubernur Iqbal menerima audiensi Disyon Toba, Founder Consina yang juga Direktur Lembaga Sertifikasi Profesi untuk Vertical Rescue, serta Harry Suliztiarto, salah satu pendiri Federasi Panjat Tebing Indonesia dan Asosiasi Rope Access Indonesia.
Dia menyambut baik gagasan pembentukan tim rescue berbasis lokal. Menurutnya, masyarakat lokal seperti porter dan guide memiliki pemahaman medan yang lebih baik, dan menjadi solusi paling realistis untuk respons cepat dalam penanganan evakuasi.
“Justru yang paling siap itu masyarakat lokal. Mereka tiap hari ada di jalur. Mereka tahu betul titik-titik rawan, tahu jalan alternatif, dan secara fisik juga terbiasa,” kata Iqbal.
Iqbal mengatakan pentingnya pemasangan rambu-rambu keselamatan dan larangan di berbagai titik jalur pendakian. Dia menjelaskan negara maju yang sudah bersih saja tetap memasang rambu-rambu larangan dan pengenaan denda bagi yang melanggar.
“Negara maju yang sudah bersih aja tetap pasang tulisan ‘don’t litter’ (jangan membuang sampah sembarangan) dan ancaman denda. Kita juga harus mulai ke sana,” tegasnya.
Menurutnya, sangat penting kolaborasi antara Pemprov NTB dan komunitas rescue profesional untuk membangun sistem pendakian Rinjani yang aman, profesional, dan berdaya tahan tinggi.
“Kita tidak hanya bicara soal angka kunjungan wisata. Kita bicara soal keselamatan, kelestarian, dan martabat NTB. Kalau kita bisa benahi ini, saya yakin Rinjani akan tetap jadi ikon dunia, tapi juga jadi tempat yang manusiawi dan aman untuk semua,” tandas Iqbal.
3. Penyesuaian branding pendakian Rinjani

Direktur Lembaga Sertifikasi Profesi untuk Vertical Rescue Disyon Toba mengusulkan adanya penyesuaian dalam branding pendakian Gunung Rinjani, dari trekking menjadi mountaineering. Menurutnya, perubahan istilah ini penting agar wisatawan, terutama dari mancanegara, dapat mempersiapkan diri secara lebih matang sebelum mendaki.
"Perbedaan pemahaman kata tersebut dapat berdampak besar terhadap keselamatan dan kesiapan pendaki," kata Disyon.
Sementara itu, pendiri Federasi Panjat Tebing Indonesia Harry Suliztiarto menyarankan agar Balai Taman Nasional Gunung Rinjani (BTNGR) memiliki tim evakuasi atau penyelamatan internal yang terlatih. Dia menilai, selama ini tim SAR lebih berfungsi sebagai pendukung (back-up) dan memiliki beban tugas yang cukup banyak.
"Kami juga mengusulkan agar di beberapa jalur pendakian dipasang alat bantu keselamatan, seperti tali pengaman, untuk mempermudah dan melindungi para pendaki," ujarnya.