TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Pernikahan Dini Jadi Penyebab Banyak Balita Stunting di NTB 

Pendamping PKH temukan anak PNS menderita stunting

Wakil Gubernur NTB Hj. Sitti Rohmi Djalilah mengunjungi posyandu keluarga sebagai tempat penanganan stunting di NTB. (dok. Diskominfotik NTB)

Mataram, IDN Times - Nusa Tenggara Barat (NTB) merupakan salah satu provinsi dengan angka prevalensi kasus stunting cukup tinggi di Indonesia. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, prevalensi kasus stunting di NTB mencapai angka 33,49 persen.

Berdasarkan input data lewat sistem aplikasi online pencatatan dan pelaporan gizi berbasis masyarakat (e-PPGBM) tahun 2021, angka stunting di NTB berada pada angka 21,43 persen. Berdasarkan update data e-PPGBM per 4 Juli 2022, angka kasus stunting di NTB turun menjadi 18,88 persen. Atau sebanyak 81.015 balita yang mengalami stunting di NTB.

Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita (bayi di bawah 5 tahun) akibat dari kekurangan gizi kronis sehingga anak terlalu pendek untuk usianya. Kekurangan gizi terjadi sejak bayi dalam kandungan pada masa awal setelah bayi lahir akan tetapi, kondisi stunting baru nampak setelah bayi berusia 2 tahun.

Baca Juga: Pendaki Kelahiran Israel Jatuh dari Puncak Rinjani saat Foto-foto

1. Pernikahan dini menjadi faktor determinan stunting di NTB

Ilustrasi Pernikahan (IDN Times/Mardya Shakti)

Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi NTB dr. Lalu Hamzi Fikri mengatakan stunting tidak berkaitan dengan masalah ekonomi. Ia menyebut faktor determinan penyebab stunting di NTB adalah masih tingginya angka pernikahan dini atau pernikahan anak.

"Tidak berkaitan dengan masalah ekonomi. Lebih kepada faktor determinan stunting itu, angka pernikahan dini yang cukup tinggi," ungkap Fikri dikonfirmasi IDN Times di Mataram, Sabtu (20/8/2022).

Jika berbicara masalah ekonomi, kata Fikri, banyak produk lokal seperti sayuran, ikan dan lainnya yang mudah didapatkan dan murah di NTB. Tetapi karena pola asuh dan pola makan yang salah menyebabkan balita tidak mendapatkan makanan bergizi untuk tumbuh kembangnya di masa pertumbuhan. "Ini lebih kepada pola asuh, pola makan dan edukasi kepada keluarga," katanya.

2. Jumlah balita stunting dan angka pernikahan dini di NTB

Pengukuran berat badan balita di posyandu keluarga di NTB. (dok. Diskominfotik NTB)

Berdasarkan data e-PPGBM per 4 Juli 2022, jumlah kasus stunting di NTB sebesar 18,88 persen. Atau jumlah balita yang menderita stunting sebanyak 81.015 orang yang tersebar di 10 kabupaten/kota di Provinsi NTB.

Dengan rincian, Lombok Barat 12.521 orang atau 20,87 persen, Lombok Tengah 21.099 orang atau 23,29 persen, Lombok Timur 22.062 orang atau 18,82 persen, Sumbawa 3.630 orang atau 10,26 persen, Dompu 3.086 orang atau 14,16 persen, Bima 5.459 orang atau 13,07 persen, Sumbawa Barat 1.052 orang atau 9,22 persen, Lombok Utara 6.232 orang atau 26,22 persen, Kota Mataram 4.293 orang atau 24,38 persen dan Kota Bima 1.581 orang atau 16,67 persen.

Sementara itu, berdasarkan data Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Provinsi NTB, angka pernikahan anak yang tertinggi pada 2020 berada di Bima 235 kasus. Kemudian Lombok Tengah 148 kasus, Lombok Barat dan Lombok Utara 135 kasus, Dompu 128 kasus, Sumbawa 117 kasus, Lombok Timur 43 kasus, Sumbawa Barat 16 kasus dan Kota Mataram 8 kasus.

Sedangkan pada 2019, angka pernikahan anak tertinggi juga berada di Bima 93 kasus, Sumbawa 77 kasus, Lombok Barat dan Lombok Utara 69 kasus, Lombok Tengah 33 kasus, Lombok Timur 31 kasus, Sumbawa Barat 15 kasus, Dompu 8 kasus, dan Kota Mataram 6 kasus.

"Data penemuan kasus stunting kita sudah by name by address. Bahkan Menteri Kesehatan memberikan apresiasi karena kita sudah entry data e-PPGBM lebih dari 90 persen. Dari apek penemuan kasusnya sudah dapat. Sekarang tantangannya adalah verifikasi dan intervensi," kata Fikri.

3. Intervensi sensitif berpengaruh 70 persen menurunkan kasus stunting

Kepala Dinkes Provinsi NTB dr. Lalu Hamzi Fikri. (IDN Times/Muhammad Nasir)

Dalam penanganan kasus stunting, kata mantan Direktur RSUD Provinsi NTB ini, intervensi spesifik dan intervensi sensitif harus diperkuat. Intervensi spesifik adalah penanganan yang berkaitan dengan kesehatan. Yaitu memberikan makanan yang mengandung protein tinggi seperti telur kepada balita penderita stunting.

Selain itu, pemberian tablet tambah darah kepada remaja untuk mencegah penyakit anemia. Pasalnya, jika remaja mengalami penyakit anemia maka sebagai calon ibu rumah tangga akan berpengaruh pada anaknya yang akan kurang gizi.

Selain itu, kata Fikri, intervensi sensitif juga sangat menentukan dalam upaya menurunkan kasus balita yang mengalami stunting. Intervensi sensitif adalah penanganan faktor-faktor penyebab stunting di luar kesehatan seperti masalah sanitasi dan pernikahan dini.
Untuk itu, Pemprov NTB mendorong Pemda kabupaten/kota segera mencapai 5 pilar sanitasi total berbasis masyarakat (STBM). 5 pilar STBM itu antara lain setop buang air besar sembarangan, cuci tangan pakai sabun, pengolahan air minum dan makanan di rumah tangga, pengamanan sampah rumah tangga dan pengamanan limbah cair rumah tangga.

Saat ini, baru Sumbawa Barat dan Kota Mataram yang telah mencapai 5 pilar STBM di NTB. Sedangkan kabupaten/kota lainnya belum mencapai 5 pilar STBM.

"Kita lihat Sumbawa Barat, ketika 5 pilar STBM tercapai, kasus diare turun dan angka stunting juga menurun. Sehingga kita mendorong kabupaten/kota yang belum mencapai 5 pilar STBM. Intervensi sensitif itu pengaruhnya hampir 70 persen dalam penanganan stunting," kata Fikri.

Baca Juga: RAPBD Perubahan 2022, NTB Defisit Anggaran Rp646 Miliar 

Berita Terkini Lainnya