TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Modus Baru Rekrutmen TKI Ilegal di NTB, Calo Berikan Uang Rp5-10 Juta

Modus baru jerat awal bagi calon PMI

Calon PMI ilegal asal NTB yang digagalkan pemberangkatannya ke Timur Tengah beberapa waktu lalu. (Dok. Disnakertrans NTB)

Mataram, IDN Times - Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Provinsi NTB mengungkap modus baru rekrutmen calon Pekerja Migran Indonesia (PMI) ilegal atau Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ilegal. Di mana, calo memberikan uang 'fit' sebesar Rp5 - 10 juta kepada calon PMI yang direkrut.

"Tahun 2022 ini, muncul modus baru, di mana calo dalam merekrut calon PMI ke desa-desa dengan menggelontorkan uang "fit"sebesar Rp5 - Rp10 juta per orang. Modus calo datang bawa uang menjadi strategi ampuh untuk menarik minat dari para calon PMI dan keluarganya, terlebih tanpa memerlukan dokumen administrasi perjalanan," ungkap Kepala Disnakertrans Provinsi NTB I Gede Putu Aryadi di Mataram, Selasa (16/8/2022).

Baca Juga: Terungkap! Hasil Autopsi Guru TK di Mataram yang Dibunuh Kekasihnya 

1. Modus uang fit menjadi jerat awal bagi calon PMI

ilustrasi memberi dan menerima uang (IDN Times/Aditya Pratama)

Aryadi mengatakan semua dokumen diurus oleh calo dan jaringannya, ditambah iming-iming gaji tinggi yang akan diterima setelah bekerja nanti sangat menggiurkan bagi calon PMI. Modus ini membuat calon PMI lebih percaya kepada calo daripada petugas.

Terlebih bagi mereka yang belum memiliki informasi yang memadai tentang peluang kerja luar negeri, berikut prosedur dan perusahaan resmi yang punya izin merekrut dan job order serta risiko yang akan dihadapi di negara penempatan nantinya.

Sebaliknya dengan uang fit yang diterima di awal, calon PMI malah beranggapan mendapatkan majikan yang baik, karena belum kerja saja sudah dapat uang. Padahal uang fit tersebut merupakan jerat awal bagi calin PMI.

"Karena kenyataannya nanti setelah di negara penempatan, mereka akan dieksploitasi dan disiksa. Bekerja tanpa mengenal batas waktu, bahkan tidak digaji karena majikan sudah membayar upah atau gaji kepada calo, mafia di awal," terangnya.

2. Harus bersinergi cari solusi permasalahan PMI

Calon PMI ilegal asal NTB yang digagalkan pemberangkatannya oleh Kemnaker. (Dok. Disnakertrans NTB)

Aryadi mengatakan permasalahan PMI menyangkut masalah nyawa manusia. Karena itu, semua harus bersinergi bersama-sama mencari solusi terhadap setiap permasalahan PMI dari hulu hingga hilir. Termasuk bagaimana mengamputasi langkah para calo PMI ilegal, dengan membentengi warga mengenai pemahaman yang baik tentang kesempatan kerja luar negeri.

Dikatakan, penanganan PMI tidak hanya menjadi tugas Disnakertrans, tetapi juga lintas sektoral. Kuncinya adalah kolaborasi dalam mengedukasi warga agar bisa mengakses kesempatan kerja luar negeri secara benar dan prosedural. Aparat Pengawas Ketenagakerjaan bersama stakeholder terkait lainnya, termasuk pemerintah desa dan dusun harus terus menerus tanpa lelah dan masif mengedukasi warga, dan tidak boleh kalah dari calo atau mafia.

Untuk mencegah terjadinya kasus PMI non prosedural, pemerintah perlu secara masif memberikan informasi dan edukasi tentang bekerja di luar negeri kepada masyarakat. Fungsi bidang pengawasan dan bidang penempatan ketenagakerjaan perlu ditingkatkan.

"Harus ada kolaborasi yang kuat antara Disnaker Provinsi dan Kabupaten/Kota, hingga desa dan dusun, melibatkan stakehorlder terkait, yaitu BP2MI, TNI/Polri, Dinas Sosial, BP3AKB, Imigrasi dan NGO yang konsen terhadap buruh migran Indonesia," kata Aryadi.

Peran pemerintah kabupaten/kota sangat penting terutama di desa dan dusun dalam memberikan edukasi kepada warganya agar tidak berangkat dengan jalur non prosedural. Orang yang berangkat ke luar negeri seringkali tidak diikuti informasi yang memadai.

Di hulu, informasi terkait pasar kerja luar negeri, data mengenai Job Order dan P3MI yang resmi akan dibuat lebih mudah diakses oleh seluruh masyarakat dengan cara membentuk Fasilitas Pusat Informasi Migran pada Desa Desimigratif Mandiri.

"Kami akan bentuk Pusat Informasi Migran di Desimigratif Mandiri sebagai pioneer untuk mensosialisasikan dan mengedukasi warga mengenai informasi tentang pasar kerja luar negeri. Hal ini sesuai dengan fungsi dan tugas Pemerintah Desa yang tercantum di UU No. 18 Tahun 2017," ujar Aryadi.

Baca Juga: Dugaan 'Fee' Proyek DAK, Inspektorat NTB Klarifikasi Dikbud dan Kepsek

3. Remitansi mencapai Rp1,5 triliun per tahun

Mata uang Rupiah (ANTARA FOTO/SIGID KURNIAWAN)

Berdasarkan data, kata Aryadi, PMI prosedural saat ini berjumlah 535.000 orang di 108 negara penempatan. Dimana, 70% persen PMI bekerja di Negara Malaysia, dan kedua adalah negara-negara Timur Tengah. Jumlah remitansi yang diterima oleh Provinsi NTB setiap tahunnya mencapai Rp1,5 triliun.

Dari bulan Januari hingga Mei 2022, jumlah remitansi PMI sebesar Rp500 miliar lebih. Dengan rincian melalui Western Union sebesar Rp271 miliar dan melalui bank milik pemerintah sebesar Rp240 miliar.

Mantan Kepala Diskominfotik NTB ini menambahkan di hilir, permasalahan PMI di negara penempatan timbul karena adanya izin konversi visa. Adanya kebijakan konversi visa yang berlaku di beberapa negara penempatan inilah yang dimanfaatkan oleh calo atau tekong.

Biasanya PMI non prosedural berangkat dengan menggunakan visa kunjungan, visa umroh atau visa suaka. Kemudian setibanya di negara penempatan, dengan adanya kebijakan konversi visa, mereka mendapatkan visa kerja dan izin tinggal, sehingga menjadi legal menurut aturan di negara tersebut.

“PMI yang berangkat dengan jalur non prosedural tidak akan mendapatkan perlindungan yang memadai, karena semuanya diurus oleh mafia TPPO. Bahkan PMI tersebut tidak mengetahui isi perjanjian kerjanya,” ungkap Aryadi.

Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Malaysia sudah menerapkan OCS (One Channel System) untuk mengurangi PMI ilegal. "Kita harap Pemerintah Indonesia dapat membuat sistem yang sama di negara lain yang masih mengizinkan konversi visa dengan harapan kita bisa ikut mengawasi," harapnya.

Ia menyebutkan permasalahan PMI ini terdiri dari 4 kasus. Pertama, PMI ilegal yang direkrut secara ilegal melalui calo. Kedua PMI legal, berangkat secara prosedural, tetapi setelah di negara penempatan melarikan diri dari tanggung jawabanya untuk bekerja sehingga menjadi ilegal.

Ketiga PMI legal berangkat secara produral tetapi memperpanjang kontrak tidak melalui prosedur sehingga menjadi ilegal. Terakhir PMI yang memiliki track record tidak bagus, sudah diblacklist negara penempatan, tetapi mencari banyak cara untuk berangkat secara non prosedural. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengawasan pada proses pra penempatan di hulu yaitu saat rekrutmen dan pengurusan dokumen.

"Saya berharap kepada pihak imigrasi agar lebih selektif untuk menerbitkan paspor, khususnya bagi warga desa yang mengajukan paspor atau visa kunjungan. Karena paspor kunjungan inilah yang seringkali digunakan untuk bekerja secara non prosedural," pungkasnya.

Baca Juga: Gubernur Tunjuk Komandan Lapangan WSBK, Broker Hotel Jadi Atensi 

Berita Terkini Lainnya