Kisah Teater Lokal NTB Bertahan dari Gempuran Budaya Asing
Minimnya perhatian pemerintah dan persoalan regenerasi
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Mataram, IDN Times - Kelompok teater lokal di Nusa Tenggara Barat (NTB) berusaha bertahan di tengah gempuran budaya asing, salah satunya fenomena "Korean wave" seperti K-Pop dan K-Drama.
Korean wave atau gelombang Korea merupakan istilah yang merujuk pada popularitas hiburan dan budaya Korea, mencakup berbagai aspek yakni musik, drama televisi, film, makanan, literatur, kosmetik, dan bahasa.
Perhatian pemerintah daerah terhadap kelompok-kelompok teater lokal yang minim mengancam eksistensi teater lokal. Ditambah lagi persoalan regenerasi, minimnya anak yang bergabung dalam seni pertunjukan teater.
Baca Juga: Sirkuit Bintan Dibangun, Balap Formula 1 Batal Digelar di Mandalika?
1. Bertahan dari gempuran fenomena "Korean wave"
Pengelola Overact Theatre Mataram Bagus Prasetyo Suryanto saat berbincang dengan IDN Times di Mataram, Sabtu (28/5/2022) mengungkapkan, kelompok-kelompok teater di Kota Mataram berusaha agar bisa bertahan dari gempuran budaya asing. Ia menilai perhatian pemerintah daerah sangat minim dalam pengembangan seni pertunjukan teater ini.
"Karena ndak menghasilkan akhirnya pelaku teater ada yang memilih jalan yang lain. Karena mereka juga butuh makan dan lainnya. Setahu saya ada ndak ada pembinaan sama sekali dari pemerintah," kata Bagus.
Bagus menyebutkan regenerasi juga menjadi persoalan. Karena sedikit anak-anak yang berminat masuk seni pertunjukan teater. Misalnya di Over Act Theatre, dalam setahun sekitar 2 atau tiga orang yang ikut bergabung. Ia belum mengetahui penyebab anak-anak SMA/SMK atau mahasiswa tidak banyak tertarik masuk teater.
Kalaupun banyak yang mendaftar masuk teater tetapi yang bisa bertahan sedikit. Misalnya sebelum pandemik COVID-19, peminat seni teater bisa mencapai 50 orang. Mereka ini mayoritas siswa-siswa SMA/SMK di Mataram. Hanya saja jumlah tersebut, yang hanya mampu bertahan belajar teater sebanyak 10 hingga 15 orang.
Di masa pandemik, anak-anak yang mendaftar masuk teater sangat berkurang, turun menjadi sekitar 15 orang. Itu pun yang bertahan hanya sedikit sekitar 5 orang. Meskipun teater menjadi salah satu ekstrakurikuler di SMA/SMK, Bagus mengatakan masih kalah dengan ekstrakurikuler yang lain.
"Harapan saya paling tidak teater lebih dihargai. Karena kalau nonton film, mau mengeluarkan Rp35 ribu per jam. Mending difasilitasi untuk di SMA/SMK. Tiap bulan ada workshop tentang teater, karena itu jarang sekali dilakukan," ungkapnya.
Baca Juga: Bamsoet: Pembalap Motor NTB Minimal Sumbang 2 Emas di PON 2024