TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Fenomena "No Viral No Justice", Mahasiswa Rekonstruksi Gerakan 

Gerakan mahasiswa masih terkotak-kotak

Demo mahasiswa dan dosen Fakultas Hukum Unram di depan Mapolda NTB, Kamis (29/11/2022) yang menyoroti penghentian penyelidikan kasus dugaan pencabulan terhadap 10 mahasiswi di Mataram. (IDN Times/Muhammad Nasir)

Mataram, IDN Times - Gerakan mahasiswa berhasil mengantarkan Indonesia menuju era reformasi pada tahun 1998. Di mana, kebebasan pendapat dijamin dan kritik masyarakat mendapatkan kebebasan seluas-luasnya.

Di tengah pesatnya perkembangan media sosial, perlu rekonstruksi pola gerakan mahasiswa menyesuaikan dengan era digitalisasi. Apalagi, ada fenomena penegakan hukum menjadi viral di media sosial di mana ada anggapan "No Viral No Justice".

Sejumlah pihak menganggap pemerintah lebih peduli viral di media sosial. Semisal kritikan di TikTok tentang jalan rusak di Lampung yang memperoleh respons positif Presiden Joko Widodo. 

"Era digital saat ini mungkin tidak bisa menyamakan pola gerakan kita dengan pola gerakan 25 tahun lalu. Artinya, mahasiswa juga perlu merekonstruksi pola gerakan menyesuaikan dengan era digitalisasi saat ini," kata Ketua Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Mataram Wahyudin Safari saat berbincang dengan IDN Times, Sabtu (20/5/2023).

Baca Juga: Kemarau Mulai Merata, BMKG Keluarkan Peringatan Dini Kekeringan di NTB

1. UU ITE menjadi momok menakutkan dalam menyampaikan kritik di media sosial

Google

Wahyudin mengatakan, mahasiswa semestinya harus mampu memanfaatkan potensi perkembangan teknologi informasi. Menurutnya, platform media sosial dapat dipergunakan mahasiswa dalam menyampaikan kritikan kepada pemerintah. 

Persoalannya hal tersebut nantinya akan berbenturan dengan keberadaan Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Aparat hukum bisa leluasa menjerat kritikus pemerintah dengan memanfaatkan pasal-pasal diatur dalam UU ITE. 

"Di satu sisi kita mau mengkritik tapi di sisi yang lain kita takut akan diciduk Unit Cyber Crime. Ini menjadi soal juga ketika ada kebebasan mengkritik lewat media sosial, tetapi banyak sekali pasal karet di dalam UU ITE. Ini ketakutan kita di mahasiswa," tutur Wahyudin.

2. Gerakan turun ke jalan dan lewat media sosial

Aksi demonstrasi mahasiswa dari PMII Cabang Mataram. (dok. Istimewa)

Karenanya, Wahyudin menyebutkan para mahasiswa akhirnya tetap memilih aksi turun ke jalan dalam memperjuangkan aspirasinya. Di samping pula tetap menggelorakan kampanye lewat media sosial. 

Sebab, apabila kepentingan publik yang diperjuangkan tidak viral maka pemerintah cenderung tidak memberikan atensi.

"Saat ini kalau gak viral, tidak diatensi. Untuk itu, ada dua pilihan kalau tidak viral, kita turun ke jalan. Untuk menegaskan bahwa kepentingan publik harus diatensi pihak terkait," kata Wahyudin.

Baca Juga: Mahasiswa Temukan Bayi Masih Hidup Dibuang di Jembatan Gegutu Mataram

Berita Terkini Lainnya