Mendengar Kisah dari Pemulung di TPAR Kebon Kongok Lombok Barat
Nasib: jumlah pemulung sekarang sudah semakin banyak
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Lombok Barat, IDN Times - Keberadaan Tempat Pembuangan Akhir Regional (TAPR) Kebon Kongoq Lombok Barat menjadi satu-satunya tempat mata pencaharian sebagaian masyarakat di desa sekitar. Pasalnya, hasil yang mereka peroleh sebagai pemulung di TPAR mampu menyekolahkan anak-anaknya.
Salah seorang pemulung di Kebon Kongoq Lombok Barat Nursimin mengatakan, berprofesi menjadi pemulung sudah dilakukan sejak puluhan tahun yang lalu. Keberadaan TPA Regional sangat membantu memenuhi kebutuhan-kebutuhan sehari-harinya.
"Kalau tidak banyak pemulung penghasilan Rp700-800 ribu per minggu. Sementara anak saya yang pinter mencari sampah yang bisa dijual itu bisa sampai Rp1 juta," katanya.
Berbeda halnya dengan kondisi sekarang, pendapatannya menurun drastis. Dalam seminggu, hasil yang diperoleh hanya Rp100-150 ribu. Hal itu terjadi karena jumlah pemulung di TPA Regional sudah mulai bertambah.
"Kalau nggak dikerjakan nggak ada pekerjaan. suami nggak bisa bekerja. Anak-anak jarang bantu soalnya sudah punya tanggungan," katanya.
Baca Juga: Polisi Hentikan Penanganan Kasus Pelecehan Mahasiswi di Mataram
1. Sampah yang datang ke TPAR langsung diserbu oleh para pemulung
H. Nasib yang sudah menjadi pemulung selama lima tahun silam. Pekerjaan memulung untuk bisa membiayai anak-anaknya sekolah. Kurang lebih ada lima tahun.
"Pendapatan sehari - hari kadang-kadang Rp50 ribu. Daripada duduk-duduk di rumah kan, lebih baik kerja," katanya
Selain bekerja sebagai pemulung, H. Nasib juga bekerja menjadi petani. Karena jika mengandalkan memulung, maka tidak bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari. Hasil barang rongsokan yang dipungut dijual langsung ke pengepul yang ada di TPA regional.
"Anak saya tujuh dan paling kecil. Tiga cucu saya dan istri kerja disini juga," ucapnya.
Jumlah pemulung yang bertambah banyak, sampah yang masuk juga mulai berkurang. Biasanya satu truk dipilih oleh satu orang, namun saat ini dikerumuni oleh banyak pemulung.
"Sampah nggak ada dan pemulung banyak. Kalau baru masuk nggak ada pemulung dan sekarang banyak," ucapnya.
Sama halnya dengan H. Nasib yang sudah menjadi pemulung selama lima tahun silam. Profesi memulung untuk bisa membiayai anak-anaknya sekolah.
"Kurang lebih ada lima tahun. Pendapatan sehari - hari kadang-kadang Rp50 ribu. Daripada duduk-duduk di rumah kan, lebih baik kerja," katanya
Selain profesi sebagai pemulung H. Nasib juga berprofesi menjadi petani. Karena jika mengandalkan memulung maka tidak bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari. Hasil barang rongsokan yang dipungut dijual langsung ke pengepul yang ada di TPA regional.
"Anak saya tujuh dan paling kecil. Tiga cucu saya dan istri kerja di sini juga," ucapnya.
Baca Juga: STB TV Digital Gratis, Pemkot Mataram Usulkan 20.000 KK Penerima
IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.