Ini Alasan Mengapa Kita Ingin Potong Rambut saat Hidup sedang Kacau

Siapa yang tak pernah merasa ingin memotong rambut drastis setelah putus cinta, kehilangan pekerjaan, atau sekadar merasa hidup sedang berantakan? Bagi sebagian orang, mengubah gaya rambut saat hidup sedang kacau terasa seperti keputusan impulsif. Namun di balik gunting yang berayun itu, ternyata tersimpan banyak makna psikologis. Fenomena ini bukan sekadar urusan gaya, melainkan juga cara otak kita berusaha mengatasi rasa kehilangan kontrol.
Menariknya, keinginan untuk potong rambut muncul tak hanya pada perempuan, tetapi juga laki-laki. Bahkan, dalam banyak budaya, rambut menjadi simbol identitas, kekuatan, atau status sosial. Mengguntingnya bisa menjadi simbol “membuang masa lalu” atau memulai lembaran baru.
Berikut ulasan mengapa kita sering ingin potong rambut saat hidup terasa kacau, dari sudut pandang psikologi, budaya, hingga biologi otak manusia.
1. Rasa ingin mengendalikan sesuatu

Saat hidup terasa di luar kendali, misalnya usai perpisahan, masalah finansial, atau tekanan pekerjaan, kita cenderung mencari hal-hal kecil yang bisa kita kontrol sepenuhnya. Potong rambut menjadi salah satu cara tercepat. Tidak perlu izin siapa pun, hasilnya langsung terlihat. Ini memberi ilusi kendali di tengah kekacauan.
Fenomena ini serupa dengan orang yang merapikan rumah secara ekstrem saat stres. Otak kita merasa lebih tenang ketika bisa mengatur sesuatu secara konkret. Potong rambut memberikan perasaan “Aku masih bisa memutuskan sesuatu dalam hidupku,” yang menjadi katup pelepas stres psikologis.
2. Simbol memulai lembaran baru

Dalam banyak budaya, rambut bukan sekadar aksesori fisik, tetapi simbol identitas dan masa lalu. Menggunting rambut sering diasosiasikan dengan “melepaskan beban.” Setelah fase sulit, memotong rambut memberi sensasi seolah kita memutus hubungan dengan masa lalu.
Misalnya, banyak orang memotong rambut pendek setelah bercerai atau pindah kerja. Perubahan drastis pada penampilan menjadi deklarasi visual bahwa mereka sedang memulai babak baru. Bahkan dalam ritual keagamaan atau militer, memotong rambut kerap menjadi tanda transformasi hidup.
3. Ekspresi emosi dan identitas diri

Bagi banyak orang, rambut menjadi media ekspresi emosional. Orang yang sedang marah, frustrasi, atau sedih kerap memilih gaya rambut ekstrem sebagai cara mengekspresikan apa yang tak bisa mereka katakan dengan kata-kata. Warna neon, potongan undercut, atau memotong rambut sangat pendek, menjadi “terapi visual” sekaligus pesan kepada dunia.
Lebih jauh, perubahan rambut juga menjadi cara mengeksplorasi identitas. Seseorang mungkin ingin “menjadi orang baru” karena merasa identitas lama sudah tidak cocok. Ini adalah bentuk coping mechanism untuk memisahkan diri dari luka lama, meskipun perubahan itu bersifat sementara.
4. Dopamin dan sensasi kejutan

Potong rambut, apalagi drastis, memicu rasa excitement. Ada lonjakan dopamin, yaitu neurotransmitter yang memberi rasa senang, karena kita melakukan sesuatu yang tidak biasa. Itulah mengapa banyak orang merasa “fresh” atau lebih percaya diri setelah mengubah gaya rambut.
Sensasi kejutan ini juga memberikan distraksi dari rasa sakit emosional. Proses potong rambut membuat otak sibuk memproses stimulus baru: suara gunting, rasa rambut jatuh, atau penampilan baru di cermin. Semua itu “mengalihkan” pikiran dari rasa sedih atau kacau, setidaknya untuk sementara waktu.
5. Tekanan sosial dan budaya populer

Budaya populer sering memperkuat asosiasi antara rambut dan fase hidup baru. Film, drama Korea, hingga musik pop sering menampilkan tokoh utama memotong rambut setelah patah hati. Ini menciptakan blueprint mental “kalau lagi kacau, ubah rambutmu.”
Selain itu, media sosial menambah tekanan. Foto before-after potong rambut sering mendapat pujian. Hal ini memvalidasi keputusan impulsif kita, meski tak selalu didasari kebutuhan psikologis yang sehat. Fenomena ini menjadi kombinasi antara keinginan pribadi dan pengaruh budaya sekitar.
Mengubah gaya rambut saat hidup sedang kacau bukanlah hal remeh. Ada banyak faktor psikologis, biologis, dan sosial yang bekerja di baliknya. Bagi sebagian orang, ini menjadi simbol kebebasan, katarsis emosional, atau sekadar cara merasa punya kendali. Pada akhirnya, rambut hanyalah helai-helai keratin. Namun bagi manusia, ia bisa menjadi bahasa yang bicara lebih banyak daripada kata-kata.
Itulah ulasan mengapa kita sering ingin potong rambut saat hidup terasa kacau, dari sudut pandang psikologi, budaya, hingga biologi otak manusia.