Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Mengenal Psikosomatik, Luka Batin yang Menyamar jadi Sakit Fisik

Seorang wanita sedang di atas ranjang.
Ilustrasi Psikosomatik, Luka Batin yang Menyamar Menjadi Sakit Fisik. (pexels.com/Andrea Piacquadio)

Dalam hidup sehari-hari, kita sering menganggap tubuh dan pikiran sebagai dua hal yang terpisah. Ketika tubuh sakit, kita mencari obat. Ketika hati lelah, kita mencari hiburan. Namun kenyataannya, tubuh dan pikiran bekerja seperti dua sisi dari koin yang sama. Luka batin yang tidak tertangani, stres yang dipendam, atau emosi yang tak pernah tersampaikan bisa berubah wujud menjadi keluhan fisik. Inilah yang disebut psikosomatik, sebuah kondisi ketika tekanan psikologis muncul dalam bentuk penyakit tubuh.

Fenomena psikosomatik mengingatkan kita bahwa tubuh adalah cermin bagi kondisi batin. Ketika pikiran terus-menerus berada dalam keadaan tegang, tubuh merespons dengan memproduksi hormon stres yang memengaruhi sistem kekebalan, pencernaan, pernapasan, bahkan jantung. Rasa sakit ini nyata, bukan dibuat-buat, namun akar masalahnya bukan pada organ tubuh, melainkan pada beban emosional yang terabaikan.

Mari kita bahas bagaimana luka batin dapat menyamar menjadi penyakit fisik melalui empat sudut pandang penting.

1. Bagaimana emosi yang dipendam mengganggu kesehatan tubuh

Wanita sedih.
Ilustrasi Cherophobia, Takut untuk Bahagia dan Terluka Kembali. (pexels.com/RDNE Stock project)

Ketika seseorang terbiasa menahan emosi, entah karena tidak ingin terlihat lemah, takut menyakiti perasaan orang lain, atau tidak terbiasa mengungkapkan isi hati, tubuh mengambil alih peran untuk “berbicara”. Emosi seperti marah, sedih, kecewa, atau takut yang tidak tersalurkan menciptakan ketegangan di dalam tubuh. Ketegangan ini secara perlahan menjadi area-area “keras” yang memengaruhi otot, saraf, serta sistem hormon. Akibatnya, tubuh merespons dengan gejala seperti sakit kepala, nyeri leher, sesak napas, atau gangguan lambung.

Selain itu, emosi yang dipendam menyebabkan tubuh berada dalam keadaan waspada berkepanjangan. Sistem saraf simpatis yang seharusnya bekerja hanya dalam situasi darurat menjadi aktif terus-menerus. Kondisi ini membuat tubuh kelelahan, tetapi pikiran tetap gelisah. Dalam jangka panjang, efeknya bisa lebih serius, seperti tekanan darah tinggi, gangguan tidur, hingga menurunnya daya tahan tubuh. Luka batin yang tidak diberi ruang untuk sembuh sering kali memilih jalur tubuh sebagai bentuk ekspresi.

Ketika rasa sakit datang tanpa penyebab medis yang jelas, banyak orang kebingungan, bahkan merasa “aneh”. Padahal tubuh sedang berusaha memberi sinyal bahwa ada sesuatu yang tidak beres dalam ranah emosional. Mendengarkan sinyal ini adalah langkah pertama untuk memahami psikosomatik sebagai bentuk komunikasi antara batin dan tubuh.

2. Mengapa stres berlebihan dapat memicu penyakit fisik

Seorang wanita sedang di atas ranjang.
Ilustrasi Psikosomatik, Luka Batin yang Menyamar Menjadi Sakit Fisik. (pexels.com/Andrea Piacquadio)

Stres bukan hanya perasaan tertekan, ia adalah reaksi biologis yang memengaruhi banyak sistem tubuh. Saat stres hadir secara intens dan terus-menerus, hormon kortisol meningkat dan mengganggu kerja organ. Kortisol yang berlebih inilah yang menyebabkan munculnya gejala fisik seperti sakit perut, jantung berdebar, pusing, hingga sulit bernapas. Bagi sebagian orang, gejala tersebut begitu nyata sehingga mereka mengira mengalami penyakit serius.

Dalam situasi stres kronis, tubuh seolah hidup dalam mode “bahaya”, meskipun ancaman itu sebenarnya berasal dari pikiran: kekhawatiran masa depan, trauma masa lalu, atau tekanan hidup yang tidak kunjung reda. Mode waspada ini membuat tubuh tidak punya kesempatan untuk beristirahat atau memperbaiki kerusakan sel. Akibatnya, orang menjadi lebih rentan terhadap penyakit infeksi, kelelahan ekstrem, hingga gangguan metabolisme seperti maag atau irritable bowel syndrome (IBS).

Yang sering diabaikan adalah bahwa stres yang tidak dikelola dengan baik menciptakan siklus berulang: pikiran stres → gejala fisik muncul → gejala membuat stres bertambah → kondisi makin memburuk. Memahami pola ini dapat membantu kita menyadari bahwa mengatasi stres bukan hanya urusan psikologis, tetapi juga kebutuhan medis untuk menjaga kesehatan tubuh secara menyeluruh.

3. Peran trauma dan luka emosional yang tidak terselesaikan

Seorang wanita sedang memegang rambutnya.
Ilustrasi Cara Memulihkan Diri saat Mengalami Kelelahan Mental. (pexels.com/Leah Newhouse)

Trauma tidak selalu berasal dari kejadian besar dan dramatis. Terkadang, pengalaman kecil yang diabaikan, seperti dibesarkan dalam keluarga penuh kritik, sering diremehkan, atau kehilangan yang tidak sempat disesali, dapat meninggalkan luka batin yang dalam. Ketika trauma tidak diproses, tubuh menyimpannya sebagai memori emosional. Memori ini bisa muncul kembali dalam bentuk gejala fisik saat seseorang menghadapi situasi yang mirip dengan pengalaman menyakitkan tersebut.

Banyak orang dengan riwayat trauma melaporkan gejala seperti nyeri kronis, migrain, gangguan perut, atau kelelahan berkepanjangan tanpa penyebab medis yang jelas. Ini terjadi karena tubuh menyimpan trauma dalam bentuk ketegangan otot, pola pernapasan dangkal, dan respons stres berlebihan. Seolah tubuh selalu bersiap menghadapi bahaya, meski ancamannya sudah lama berlalu. Luka yang tidak disembuhkan ini membuat tubuh bekerja lebih keras dan akhirnya menampilkan keluhan fisik sebagai sinyal.

Trauma adalah suara masa lalu yang hidup dalam tubuh masa kini. Untuk mengurangi gejala psikosomatik, seseorang tidak hanya perlu mengobati tubuhnya, tetapi juga mengurai cerita-cerita lama yang belum terselesaikan. Terapi psikologis, journaling, atau dukungan emosional dari orang terpercaya dapat membantu memulihkan luka ini. Ketika batin mulai sembuh, tubuh pun perlahan ikut bernapas lega.

4. Pentingnya mendengarkan tubuh sebagai panggilan untuk pulih

Seorang wanita sedang bersedih.
Ilustrasi Quotes Self-Compassion yang Menjadi Pengingat saat Hidupmu Berat. (pexels.com/Liza Summer)

Tubuh tidak pernah berbohong. Ia selalu memberi tanda ketika ada sesuatu yang salah di dalam diri, baik secara fisik maupun emosional. Sayangnya, banyak orang terbiasa mengabaikan sinyal tubuh, terutama ketika kesibukan dan tuntutan hidup menjadi prioritas. Ketika tubuh mulai menunjukkan gejala psikosomatik, ada dua pendekatan yang salah kaprah: menganggapnya hanya “masalah pikiran” atau justru berfokus berlebihan pada pemeriksaan medis tanpa mempertimbangkan aspek emosional.

Mendengarkan tubuh berarti memberi ruang bagi diri untuk berhenti sejenak. Merenungkan apa yang sedang terjadi di dalam hati: apakah ada tekanan yang dipendam? Apakah ada masalah yang dihindari? Apakah ada emosi yang belum sempat diungkapkan? Sikap ini bukan hanya menenangkan, tetapi juga membantu kita menemukan akar dari gejala fisik yang muncul. Terkadang, yang tubuh butuhkan bukan obat tambahan, tetapi perhatian, istirahat, dan keberanian untuk menghadapi luka batin.

Ketika tubuh dan batin kembali selaras, gejala psikosomatik sering kali mereda dengan sendirinya. Inilah pengingat bahwa kesehatan bukan hanya soal organ yang bekerja dengan baik, tetapi juga tentang jiwa yang bersih dari beban. Tubuh berbicara karena ia ingin kita kembali pulang, pulang kepada diri sendiri, kepada ketenangan, dan kepada kehidupan yang lebih lembut.

Psikosomatik adalah jembatan yang menghubungkan dunia batin dan fisik. Ia bukan penyakit yang dibuat-buat, melainkan tanda bahwa tubuh menanggung beban yang seharusnya dibagi bersama hati. Dengan memahami bahwa luka batin dapat menyamar menjadi sakit fisik, kita dapat lebih peka terhadap diri sendiri dan orang lain.

Pada akhirnya, penyembuhan tidak hanya membutuhkan obat atau terapi medis, tetapi juga keberanian untuk mengakui bahwa kita rapuh dan butuh dipahami. Ketika hati diberi ruang untuk bercerita dan tubuh diberi kesempatan untuk beristirahat, keduanya dapat pulih bersama-sama, perlahan, lembut, dan penuh kesadaran.

Itulah ulasan tentang bagaimana luka batin dapat menyamar menjadi penyakit fisik.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Linggauni -
EditorLinggauni -
Follow Us

Latest Life NTB

See More

Mengenal Triskaidekaphobia, Ketakutan Tak Rasional pada Angka 13

28 Nov 2025, 09:00 WIBLife