Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

5 Alasan Mengapa Banyak Anak Muda Enggan Punya Anak

Ilustrasi alasan mengapa banyak anak muda enggan punya anak. (Pinterest/Mariana Teixeira)
Ilustrasi alasan mengapa banyak anak muda enggan punya anak. (Pinterest/Mariana Teixeira)

Keinginan untuk memiliki anak yang dulunya dianggap sebagai bagian alami dari kehidupan dewasa kini mengalami pergeseran yang cukup signifikan, khususnya di kalangan generasi muda. Banyak pasangan muda saat ini, baik yang sudah menikah maupun belum, secara sadar memilih untuk tidak memiliki anak atau menundanya dalam jangka waktu yang lama.

Fenomena ini terjadi secara global dan menjadi topik diskusi hangat dalam berbagai forum sosial, ekonomi, dan budaya. Pilihan untuk tidak memiliki anak bukanlah keputusan yang dibuat secara sembarangan. Ia sering kali muncul dari refleksi mendalam mengenai realitas hidup modern yang penuh tekanan, tanggung jawab besar dalam mengasuh anak, serta nilai-nilai hidup yang lebih menekankan kebebasan pribadi dan kesejahteraan mental.

Berikut 5 alasan utama mengapa banyak anak muda masa kini enggan memiliki anak.

1. Faktor ekonomi yang membebani

Ilustrasi tanda kamu tertular energi negatif orang lain. (Pinterest/Mary Goettelmann)
Ilustrasi tanda kamu tertular energi negatif orang lain. (Pinterest/Mary Goettelmann)

Salah satu alasan paling dominan adalah tekanan finansial. Membesarkan anak memerlukan biaya yang sangat besar, mulai dari kebutuhan dasar seperti makanan dan tempat tinggal, hingga biaya pendidikan, kesehatan, dan aktivitas tambahan. Di tengah naiknya harga kebutuhan pokok dan biaya hidup, banyak anak muda merasa belum memiliki kestabilan ekonomi yang cukup untuk menjadi orangtua.

Studi yang dilakukan oleh Brookings Institution pada tahun 2022 memperkirakan bahwa membesarkan satu anak hingga usia 18 tahun di Amerika Serikat memerlukan biaya sekitar $310.000 atau sekitar Rp5.224.027.000 jika dirupiahkan, belum termasuk pendidikan tinggi.

Angka ini tentu bervariasi di setiap negara, namun gambaran umum ini mencerminkan kekhawatiran nyata yang dirasakan banyak generasi muda di seluruh dunia, termasuk Indonesia.

2. Ketakutan akan dampak terhadap kesehatan mental dan kehidupan pribadi

Ilustrasi tanda orang yang terlalu dimanjakan oleh orang tuanya di masa kecil. (Pinterest/Truc Thuy)
Ilustrasi tanda orang yang terlalu dimanjakan oleh orang tuanya di masa kecil. (Pinterest/Truc Thuy)

Menjadi orang tua adalah tanggung jawab besar yang mengubah hidup secara drastis. Banyak anak muda khawatir akan kehilangan kebebasan pribadi, waktu istirahat, serta kemampuan untuk mengurus diri sendiri secara optimal. Kehidupan sebagai orang tua sering kali identik dengan stres, kurang tidur, dan tekanan sosial yang intens.

Menurut penelitian oleh Nomaguchi dan Milkie pada tahun 2020 dengan judul Parenthood and well-being: A decade in review, mengatakan orang tua, terutama ibu, mengalami tingkat stres dan tekanan mental yang lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang tidak memiliki anak.

Kesadaran akan pentingnya menjaga kesehatan mental membuat banyak anak muda lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan besar seperti memiliki anak.

3. Kekhawatiran akan masa depan dunia

Ilustrasi stres bekerja. (Pinterest/Thrive Global)
Ilustrasi stres bekerja. (Pinterest/Thrive Global)

Krisis iklim, ketidakstabilan politik, dan ketidakpastian ekonomi global menjadi pertimbangan besar bagi generasi muda. Banyak dari mereka merasa dunia saat ini bukanlah tempat yang ideal untuk membawa anak ke dalamnya. Ada kekhawatiran bahwa anak-anak yang lahir saat ini akan menghadapi masa depan yang lebih sulit, baik secara lingkungan maupun sosial.

Sebuah survei internasional yang dilakukan oleh Hickman dan kawan-kawan pada tahun 2021 menemukan bahwa lebih dari 50% responden berusia 16–25 tahun merasa tidak yakin apakah mereka ingin memiliki anak karena kecemasan terhadap perubahan iklim. Pandangan ini menunjukkan bahwa keputusan untuk tidak memiliki anak bukan hanya soal pribadi, tapi juga hasil dari keprihatinan terhadap kondisi global.

4. Nilai hidup yang lebih individual dan self-oriented

Ilustrasi tanda orang karismatik yang harus kamu miliki. (Pinterest/Anny)
Ilustrasi tanda orang karismatik yang harus kamu miliki. (Pinterest/Anny)

Banyak anak muda saat ini lebih mengutamakan pengembangan diri, kebebasan, dan pengalaman hidup dibandingkan menjalani peran tradisional sebagai orang tua. Mereka ingin fokus pada karier, traveling, hobi, atau kontribusi sosial tanpa harus terikat oleh tanggung jawab jangka panjang seperti membesarkan anak.

Generasi milenial dan Gen Z cenderung memiliki nilai hidup yang lebih personal dan fleksibel. Menurut Arnett dalam bukunya Emerging adulthood: The winding road from the late teens through the twenties, mengatakan fase emerging adulthood yang lebih panjang membuat individu modern ingin mengeksplorasi banyak hal sebelum mengambil komitmen besar, termasuk menjadi orang tua.

Dalam banyak kasus, ini bukan berarti mereka tidak menyukai anak-anak, tapi lebih pada prioritas hidup yang berbeda.

5. Minimnya dukungan sosial dan kebijakan ramah keluarga

Ilustrasi alasan pria sulit membicarakan perasaan mereka. (Pinterest/Duong Thao Vy)
Ilustrasi alasan pria sulit membicarakan perasaan mereka. (Pinterest/Duong Thao Vy)

Kurangnya sistem dukungan sosial dan kebijakan publik yang memudahkan peran sebagai orang tua juga menjadi faktor penting. Di banyak negara, termasuk Indonesia, akses terhadap cuti melahirkan yang layak, layanan penitipan anak, dan fasilitas kesehatan anak masih sangat terbatas, terutama untuk keluarga menengah ke bawah. Kondisi ini membuat keputusan untuk memiliki anak terasa seperti beban individu, bukan tanggung jawab bersama.

Penelitian yang dilakukan oleh OECD pada tahun 2020 menyatakan bahwa negara-negara dengan kebijakan ramah keluarga, seperti subsidi pendidikan, layanan childcare yang terjangkau, dan cuti orang tua yang panjang cenderung memiliki tingkat kelahiran yang lebih tinggi dibanding negara tanpa dukungan tersebut.

Itulah 5 alasan utama mengapa banyak anak muda masa kini enggan memiliki anak.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Linggauni -
EditorLinggauni -
Follow Us