KTT WWF di Bali, Walhi NTB Desak Penghentian Privatisasi Air
Kerusakan ekosistem akibat pertambangan dan pariwisata
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Mataram, IDN Times - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) NTB menyoroti perlunya penghentian privatisasi air, konservasi ekosistem, dan penyelesaian konflik kepentingan antara pemerintah dan masyarakat.
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) World Water Forum (WWF) ke-10 di Bali diharapkan menjadi momentum untuk mengadvokasi kebijakan yang lebih inklusif dan berkelanjutan dalam pengelolaan sumber daya air.
Pengelolaan sumber daya air seharusnya mengedepankan kepentingan masyarakat dan kelestarian lingkungan daripada komersialisasi dan pembangunan eksploitatif.
Direktur Eksekutif Walhi NTB Amry Nuryadin mengatakan pengelolaan sumber daya air di NTB menghadapi tantangan serius. Akibat kerusakan ekosistem, aktivitas pertambangan, dan urbanisasi yang menyebabkan penurunan debit air serta konflik dengan masyarakat lokal, seperti kasus proyek SPAM di Lombok Timur.
Pengelolaan sumber daya air di NTB menjadi tantangan besar. Beberapa faktor yang mempengaruhi ini antara lain kerusakan ekosistem hutan dan daerah aliran sungai (DAS), penurunan debit air, dan peningkatan kepadatan penduduk akibat urbanisasi.
"Selain itu, aktivitas pertambangan dan perubahan musim juga berdampak pada ketersediaan air bersih," kata Amry di Mataram, Kamis (23/5/2024).
1. 60 persen kawasan hutan di NTB dalam kondisi kritis
Amry menyoroti kerusakan ekosistem, pembangunan tambang, pengelolaan sumber air, dan privatisasi sumber air merupakan beberapa isu utama yang perlu ditangani.
Ia menyebut 60 persen atau sekitar 650,000 hektare dari 1,1 juta hektare kawasan hutan di NTB berada dalam kondisi kritis, yang berdampak pada tata kelola sumber daya air.
Kerusakan ekosistem dan ekologi ini disebabkan beberapa faktor. Salah satunya adalah aktivitas pertambangan, seperti PT AMNT yang berada di kawasan hutan (IPPKH) seluas 7000 Ha. Kemudian pertambangan PT STM memegang izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) di Kecamatan Hu’u, Kabupaten Dompu seluas 19.260 Ha.
Kemudian penambangan pasir besi di Pesisir Dedalpak Pringgabaya Lombok Timur seluas 1.438 Ha, serta tambak udang di sempadan pantai Pulau Sumbawa dan Lombok Timur bagian utara.
Secara umum, dengan total luasan 169.000 Ha berada di Kawasan hutan dan lahan-lahan produktif, belum lagi maraknya pertambangan ilegal di Pulau Lombok dan Sumbawa.
Sementara pada sektor pariwisata, di kawasan pesisir salah satunya KEK Mandalika seluas 1.250 Ha. Kemudian rencana pembangunan Global Hub Bandar Kayangan di Lombok Utara seluas 7.030 Ha, juga akan mengancam terjadinya kerusakan ekologi pesisir.
Serta rencana pembangunan kereta gantung di kawasan Hutan Rinjani seluas 500 Ha. Menurutnya, hal ini mengancam terjadinya kerusakan mata air di NTB.
Baca Juga: Maju Pilgub, Pj Gubernur NTB Mundur Paling Lambat 16 Juli 2024