TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

IKP Meroket, Kekerasan terhadap Jurnalis Masih Jadi Catatan di NTB  

Kekerasan terhadap jurnalis banyak berakhir damai

Ilustrasi (IDN Times/Mardya Shakti)

Mataram, IDN Times - Indeks Kebebasan Pers (IKP) di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) pada tahun 2021 meroket ke posisi 12 nasional. Pada tahun 2020, IKP NTB berada pada posisi 28 nasional.

Meskipun IKP NTB naik sangat signifikan, namun kasus kekerasan terhadap jurnalis atau wartawan masih jadi catatan di daerah yang masuk kategori cukup bebas jika melihat IKP NTB 2021. Berdasarkan data Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Mataram, kekerasan jurnalis di NTB sebanyak 21 kasus.

Baca Juga: Ini Daftar Hotel Tempat Kru dan Pembalap MotoGP Mandalika Menginap

1. Kekerasan terhadap jurnalis masih jadi catatan di NTB

Ketua AJI Mataram Sirtupilaili (Dok. Pribadi)

Ketua AJI Mataram Sirtupilaili saat berbincang dengan IDN Times di Mataram, Sabtu (5/2/2022) mengatakan IKP NTB memang terjadi peningkatan berdasarkan survei yang dilakukan Dewan Pers pada 2021. Namun AJI Mataram punya catatan terkait kebebasan pers di NTB.

"Masih ada beberapa oknum baik dari kalangan pemerintah maupun organisasi kemasyarakatan yang melakukan intimidasi kepada wartawan," kata Sirtu.

Sirtu mengatakan bahwa memang tidak ada kasus kriminalisasi terhadap wartawan di NTB. Tetapi kekerasan terhadap jurnalis dalam bentuk kekerasan fisik, meminta media menghapus berita dan mengganti judul berita masih terjadi di NTB.

"Kekerasan yang menonjol tidak ada seperti pembunuhan, atau penculikan kepada wartawan. Cuma dalam bentuk intimidasi diancam akan digugat masih ada. Ini menjadi catatan kami," terangnya.

Jumlah kasus kekerasan terhadap jurnalis di NTB memang tidak banyak. Namun kekerasan yang dialami jurnalis sangat memengaruhi secara psikologis mereka di lapangan. Ia juga menyoroti belum adanya media yang konsisten mengkritisi kebijakan pemerintah daerah yang merugikan publik. Hal ini disebabkan kuatnya pengaruh dari pemerintah daerah

"Sebagai lembaga ekonomi media masih bergantung dari iklan Pemda. Belum ada media yang konsisten mengkritisi. Dan itu bisa memengaruhi indepedensi. Sehingga ancaman kebebasan pers itu berupa fisik dan ekonomi," kata Sirtu.

Apalagi di masa pandemik COVID-19, ia menilai independensi media semakin lemah. Hal ini menjadi tantangan dalam kebebasan pers di NTB. Ia mengatakan kerja sama antara pemerintah daerah dengan media diperbolehkan.

"Tetapi Pemda jangan sampai mengintervensi kebijakan redaksi. Meskipun ada kerja sama, ruang kritik tetap dilakukan secara profesional dan proporsional," katanya.

Sirtu juga melihat kasus kekerasan terhadap jurnalis di NTB kebanyakan berakhir damai. Sehingga pelaku kekerasan terhadap jurnalis tidak dihukum setimpal dan tidak memberikan efek jera.

2. Jurnalis alami pemukulan saat peliputan

Jurnalis Radar Mandalika Muh. Arif (Dok. Pribadi)

Pada 2021 lalu, ada beberapa kasus kekerasan terhadap jurnalis di NTB. Seperti kasus pemukulan jurnalis Radar Maandalika Muh. Arif. Ia diduga dipukul salah satu oknum Satpol PP Provinsi NTB saat meliput aksi unjuk rasa di depan Kantor Gubernur NTB.
Saat berbincang dengan IDN Times di Mataram, Jumat (4/2/2022), Arif mengatakan sebenarnya kasus pemukulan itu akan dibawa ke ranah hukum.

Kasus pemukulan yang menimpa Arif juga diadvokasi oleh AJI Mataram. Anggota Satpol PP NTB yang memukul Arif sudah meminta maaf.

"Saat keputusannya berkas laporan mau dibawa. Cuma ada rilis bahwa sudah damai. Sehingga ndak jadi melapor. Dari kantor sebenarnya tergantung saya mau melaporkan ke ranah hukum atau tidak," kata Arif.

Supaya kejadian yang menimpanya tidak terulang, Arif meminta pejabat paham terhadap tugas jurnalis. Apalagi dia sering turun liputan ke lapangan.

Baca Juga: Kemenparekraf Siapkan 11 Food Truck saat Event MotoGP Mandalika 

Berita Terkini Lainnya