Lombok Utara, Wisata Dunia dengan Kemiskinan Tertinggi di NTB

NTB masuk 8 provinsi termiskin di Indonesia

Mataram, IDN Times - Kabupaten Lombok Utara masih menjadi provinsi dengan persentase kemiskinan tertinggi di provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Berdasarkan data BPS, persentase kemiskinan di Lombok Utara sebesar 27,04 persen pada Maret 2021, jauh di atas rata-rata persentase kemiskinan NTB, sebesar 14,14 persen pada periode yang sama.

Lombok Utara merupakan daerah yang terkenal sebagai destinasi wisata dunia. Tiga pulau kecil yang berada di Lombok Utara yaitu, Gili Trawangan, Gili Meno dan Gili Air menjadi tujuan wisatawan baik domestik dan mancanegara. Selain itu, Lombok Utara juga menjadi salah satu pintu masuk untuk mendaki Gunung Rinjani, yaitu melalui Senaru.

Pengentasan kemiskinan bukan saja menjadi pekerjaan rumah (PR) yang besar Pemda Lombok Utara, tetapi juga Pemprov NTB. Pasalnya, NTB masuk 10 besar provinsi dengan persentase kemiskinan tertinggi di Indonesia.

1. Pemda perlu membuat Nesparda

Lombok Utara, Wisata Dunia dengan Kemiskinan Tertinggi di NTBRumah warga di Dusun Teluk Kombal Desa Pemenang Barat Lombok Utara. (IDN Times/Muhammad Nasir)

Wakil Ketua Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPKD) Provinsi NTB Lalu Gita Ariadi mengatakan Pemda kabupaten/kota perlu membuat Neraca Statistik Pariwisata Daerah (Nesparda) sebagai acuan dalam mengambil kebijakan yang lebih terarah untuk pengentasan kemiskinan di Lombok Utara. Dari Nesparda, akan diketahui komposisi masyarakat lokal yang terserap dan terlibat dalam sektor pariwisata.

"Dari data terpadu yang dibuat antara Pemda dan BPS terkait Nesparda, akan ketemu jawaban seperti itu. Komposisi tenaga kerja pelaku pariwisata dari mana? Apakah dominan orang lokal atau dari luar Lombok Utara. Kalau dominan dari luar, patut diduga rembesan pariwisata belum dinikmati langsung masyarakat di sana," kata Gita dikonfirmasi di Mataram, Sabtu (15/10/2022).

Sekda NTB ini menyatakan pentingnya dibuat Nesparda untuk mengetahui seberapa banyak masyarakat lokal di Lombok Utara yang terlibat langsung dalam pusaran kegiatan sektor pariwisata. Sehingga, menurutnya hal ini perlu dikaji oleh Pemda KLU bersama BPS.

"Kalau memang masih sedikit masyarakat yang terserap di sektor pariwisata maka menjadi tugas pemerintah setempat bagaimana membekali masyarakatnya agar memiliki keterampilan dan familiar dengan pariwisata yang mereka miliki. Itu sebagai sumber penghidupan langsung," kata Gita.

Mantan Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) NTB ini, menambahkan akan banyak informasi yang diperoleh dengan membuat Nesparda. Dari informasi-informasi itu kemudian dirumuskan menjadi kebijakan daerah. Sehingga, Nesparda juga perlu dibuat oleh semua daerah di NTB yang mengandalkan sektor pariwisata untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

"Data Nesparda itu sebuah potensi yang bila kita manfaatkan sangat membantu proses pembangunan menjadi terarah seperti pengentasan kemiskinan," ucapnya.

Baca Juga: Waspada! Badai Sonca Sebabkan Gelombang Tinggi di Perairan NTB 

2. Standar garis kemiskinan berubah, angka kemiskinan NTB rentan turun naik

Lombok Utara, Wisata Dunia dengan Kemiskinan Tertinggi di NTBSekda NTB, H. Lalu Gita Ariadi (Dok. Istimewa)

Berubahanya standar garis kemiskinan dari Bank Dunia dapat menyebabkan angka kemiskinan yang turun naik di NTB. Bank Dunia dalam laporan terbarunya mengubah standar garis kemiskinan yang mengacu pada aturan purchasing power parities (PPP) 2017, menggantikan PPP 2011.

Bank Dunia melihat kenaikan garis kemiskinan di berbagai negara. Bank Dunia menetapkan garis kemiskinan ekstrem menjadi US$ 2,15 atau setara Rp 32.757,4 (dengan kurs Rp 15.236 per dolar AS) per orang per hari pada PPP 2017. Standar tersebut naik dibandingkan PPP 2011, yakni sebesar US$ 1,9 atau Rp 28.984,4 per orang per hari.

"Risikonya pada daerah kritis garis kemiskinan yang rentan turun naik. Ini yang menjadi fokus perhatian untuk diberikan penguatan ekonomi. Sehingga jangan sampai begitu terjadi guncangan ekonomi atau parameter kemiskinan, maka dia terguncang," kata Gita.

Dengan perubahan standar garis kemiskinan dari Bank Dunia, lanjut Gita, Pemda harus bekerja lebih keras lagi. Sebelum pandemik COVID-19, persentase kemiskinan di NTB pada angka 13 persen lebih. Namun begitu pandemik COVID-19, angka kemiskinan NTB naik menjadi 14 persen lebih.

Tetapi setelah pandemik COVID-19 mulai mereda, angka kemiskinan NTB mengalami penurunan meskipun terjadi perlambatan. "Tapi sekarang tetap ada penurunan. Kita akan terus fokus program, kegiatan yang lebih berkualitas, efisiensi dan efektivitas perencanaan pembangunan," tandasnya.

3. Penduduk miskin di NTB sebanyak 731.940 jiwa

Lombok Utara, Wisata Dunia dengan Kemiskinan Tertinggi di NTBKepala BPS Provinsi NTB Wahyudin (Dok. BPS NTB)

BPS Provinsi NTB telah merilis angka kemiskinan pada Maret 2022. Persentase penduduk miskin di provinsi NTB pada Maret 2022 sebesar 13,68 persen. Terjadi penurunan sebesar 0,15 persen terhadap September 2021. Kemudian terjadi penurunan persentase angka kemiskinan sebesar 0,46 persen terhadap Maret 2021.

Kepala BPS Provinsi NTB, Wahyudin menyebutkan jumlah penduduk miskin di NTB pada Maret 2022 sebanyak 731.940 orang. Jumlah penduduk miskin berkurang sebanyak 3.360 orang terhadap September 2021 dan berkurang 14.720 orang terhadap Maret 2021.

Persentase penduduk miskin perkotaan di NTB pada September 2021 sebesar 14,54 persen turun menjadi 14,10 persen pada Maret 2022. Sedangkan persentase penduduk miskin pedesaan pada September 2021 sebesar 13,12 persen, naik menjadi 13,24 persen pada Maret 2022.

Wahyudin menyebutkan jumlah penduduk miskin perkotaan di NTB pada Maret 2022 turun sebanyak 5.830 orang. Sebelumnya pada September 2021, jumlah penduduk miskin perkotaan sebanyak 387.670 orang. Sedangkan pada Maret 2022, penduduk miskin perkotaan turun menjadi 381.840 orang.

Sedangkan pada periode yang sama, jumlah penduduk miskin pedesaan di NTB naik sebanyak 2.450 orang pada Maret 2022. Pada September 2021, jumlah penduduk miskin pedesaan di NTB sebanyak 347.640 orang. Dengan kenaikan itu, penduduk miskin pedesaan di NTB naik menjadi 350.090 orang pada Maret 2022.

Garis kemiskinan di NTB pada Maret 2022 mengalami kenaikan. Disebutkan, garis kemiskinan pada Maret 2022 sebesar Rp459.826,- per kapita per bulan. Dibandingkan September 2021, garis kemiskinan naik sebesar 4,10 persen. Sedangkan jika dibandingkan Maret 2021, garis kemiskinan di NTB terjadi kenaikan sebesar 8,58 persen.

Dengan memperhatikan komponen Garis Kemiskinan (GK), yang terdiri dari Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Bukan Makanan (GKBM), lanjut Wahyudin, peranan komoditi makanan masih jauh lebih besar dibandingkan peranan komoditi bukan makanan. Besarnya sumbangan GKM terhadap GK pada Maret 2022 sebesar 74,55 persen.

Pada Maret 2022, komoditi makanan yang memberikan sumbangan terbesar pada garis kemiskinan di NTB, baik perkotaan maupun pedesaan, pada umumnya hampir sama. Beras masih memberi sumbangan terbesar sebesar 18,96 persen di perkotaan dan 20,72 persen di pedesaan.

Kemudian rokok kretek filter memberikan sumbangan terbesar kedua terhadap garis kemiskinan di NTB yaitu sebesar 11,55 persen di perkotaan dan 12,04 persen di pedesaan. Komoditi lainnya adalah daging ayam ras menyumbang garis kemiskinan sebesar 3,71 persen di perkotaan dan 2,94 persen di pedesaan.

Selanjutnya telur ayam ras 3,18 persen di perkotaan dan 2,98 persen di pedesaan, kue basah 2,70 persen di perkotaan dan 2,63 persen di pedesaan, mie instan 2,62 persen di perkotaan dan 2,52 di pedesaan. Sementara komoditi bukan makanan yang memberikan sumbangan terbesar terhadap garis kemiskinan baik di perkotaan dan pedesaan adalah perumahan, bensin, listrik, pendidikan, perlengkapan mandi, dan lainnya.

Baca Juga: The Dare, Band Asal Lombok Wakil Indonesia di Festival Musik Malaysia

4. NTB masuk 10 provinsi termiskin di Indonesia

Lombok Utara, Wisata Dunia dengan Kemiskinan Tertinggi di NTBIlustrasi warga miskin (ANTARA FOTO/Asep Fathulrahman)

Berdasarkan data BPS periode Maret 2022, NTB masuk 8 provinsi termiskin di Indonesia. Dari 10 provinsi termiskin di Indonesia, NTB berada di peringkat 8 besar.

Adapun 10 provinsi termiskin di Indonesia adalah Papua 26,56 persen, Papua Barat 21,33 persen, Nusa Tenggara Timur 20,05 persen, Maluku 15,97 persen, Gorontalo 15,42 persen. Kemudian Aceh 14,64 persen, Bengkulu 14,62 persen, Nusa Tenggara Barat 13,68 persen, Sulawesi Tengah 12,33 persen dan Sumatera Selatan 11,90 persen.

Sebelumnya, Kepala Bappeda NTB Iswandi mengatakan Pemda terus bekerja menurunkan angka kemiskinan di NTB. TKPKD provinsi dan TKPKD kabupaten/kota mengkonsolidasikan program-program di semua sektor untuk percepatan penurunan kemiskinan di NTB.

"Jadi pemerintah terus bekerja dalam percepatan penurunan kemiskinan itu. Terbukti dengan adanya progres penurunan. Bahwa belum mencapai yang lebih progresif, bagian dari ikhtiar yang sedang kita laksanakan," katanya.

5. Gagal capai target RPJMD

Lombok Utara, Wisata Dunia dengan Kemiskinan Tertinggi di NTBDirektur Fitra NTB, Ramli Ernanda (dok. Ramli Ernanda)

Sebelumnya, Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) NTB menyoroti penurunan angka kemiskinan di Provinsi NTB pada periode Maret - September 2021, yang hanya turun sebanyak 11.360 orang atau 0,31 persen. Fitra menilai penurunan angka kemiskinan NTB gagal mencapai target dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) NTB 2019-2023 yang ditetapkan sebesar 13,42 persen.

Direktur Fitra NTB, Ramli Ernanda menyebutkan pada 2021, Pemerintah Provinsi NTB mengalokasikan anggaran sekitar Rp3,77 triliun dari APBD untuk sektor ekonomi, pendidikan, kesehatan, perlindungan sosial, perumahan dan fasilitas umum. Namun penurunan angka kemiskinan Provinsi NTB tahun 2021, tidak mencapai target RPJMD.

Dikatakan, BPS mencatat angka kemiskinan Provinsi NTB per September 2021 hanya turun sebesar 0,31 persen dari angka kemiskinan tahun 2020 yang mencapai 14,23 persen, berkurang menjadi 13,84 persen. Capaian tersebut masih di bawah target penurunan kemiskinan tahun 2021 dalam RPJMD NTB tahun 2019-2023 yang ditetapkan sebesar 13,42 persen.

Dengan penurunan angka kemiskinan sebesar itu, dalam setahun terakhir Pemprov NTB hanya mampu mendongkrak tingkat kesejahteraan penduduknya sekitar 33 persen penduduk miskin yang terdampak COVID-19 pada tahun 2020 keluar dari bawah garis kemiskinan. Rasio ini setara dengan 2,8 ribu rumah tangga miskin. Sehingga sekitar 66 persen atau 20,7 ribu jiwa penduduk miskin baru terdampak COVID-19 lainnya masih terjebak dalam kemiskinan.

Penurunan angka kemiskinan NTB dalam satu tahun terakhir memang cukup berat. Hal ini dikarenakan adanya penambahan jumlah penduduk miskin sebesar 32,15 ribu jiwa selama pandemik COVID-19 pada tahun 2020. Kondisi ini diikuti dengan kesenjangan yang cenderung meningkat karena gini ratio Provinsi NTB tahun 2021 sebesar 0,384.

Pemprov NTB menargetkan angka kemiskinan dan gini ratio pada akhir kepemimpinan Gubernur dan Wakil Gubernur NTB, Zulkieflimansyah - Sitti Rohmi Djalilah atau Zul-Rohmi masing-masing pada angka 11,92 persen dan 0,297 poin. Jumlah penduduk miskin di NTB per September 2021 sebanyak 735,3 ribu jiwa.

Pada September 2020, jumlah penduduk miskin menjadi 746,04 ribu jiwa atau meningkat 40,36 ribu jiwa. Dari jumlah tersebut mengutip hasil Susenas BPS tahun 2020 TNP2K menyatakan sekitar 285 ribu penduduk NTB atau 5,5 persen berada dalam kemiskinan ekstrem.

Fitra NTB menemukan sejumlah persoalan, antara lain, anggaran yang dialokasikan Pemprov NTB kurang efektif menekan angka kemiskinan. Tahun 2021, Pemprov NTB mengalokasikan anggaran sekitar Rp3,77 triliun dari APBD untuk sektor ekonomi, pendidikan, kesehatan, perlindungan sosial, perumahan dan fasilitas umum. Meskipun anggarannya besar, tetapi hanya mampu mengurangi sekitar 2,8 ribu rumah tangga miskin keluar dari garis kemiskinan.

Fitra NTB menilai intervensi kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan kurang berdampak dan diindikasikan tidak tepat sasaran. Sebagian besar anggaran terkait penurunan angka kemiskinan di NTB dialokasikan untuk belanja bantuan, baik berupa hibah maupun bansos yang diarahkan untuk menguatkan daya beli dan mengurangi beban pengeluaran masyarakat.

di sisi lain, alokasi anggaran yang diarahkan untuk belanja produktif, yang diharapkan mampu memberikan daya ungkit terhadap pemulihan ekonomi, penyediaan lapangan kerja, dan peningkatan pendapatan atau perbaikan upah cenderung lebih kecil hanya 20 persen. Bahkan lebih kecil dari alokasi untuk belanja pegawai yaitu 25 persen.

Sinergi dan kolaborasi antar pemerintah daerah Provinsi, Kabupaten/Kota, masyarakat sipil dan pihak swasta di NTB belum terlembagakan secara kuat dalam menurunkan angka kemiskinan di daerah. Secara kumulatif anggaran terkait penurunan kemiskinan yang dialokasikan seluruh Pemda di NTB cukup besar, bahkan secara persentase tertinggi di Kawasan Timur Indonesia yaitu sekitar 64 persen dari total APBD.

Tingkat penurunan angka kemiskinan NTB jauh lebih rendah untuk periode Maret 2021-September 2021, yaitu sebesar -0,31 poin persen dibandingkan lima provinsi lain dengan proporsi anggaran yang lebih kecil. Yaitu Sulawesi Utara (-0,41 poin %), Maluku Utara (-0,51 poin persen), NTT (- 0,55 poin %), Sulawesi Tengah (-0,82 poin %), dan Maluku (-1,57 poin %).

Berdasarkan temuan-temuan tersebut, Fitra menyarankan Pemprov NTB untuk segera melakukan evaluasi atas pelaksanaan kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan, bila diperlukan melakukan revisi atas kebijakan yang diambil.

Pemprov NTB juga perlu meningkatkan tata Kelola pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan, terutama pada tahapan perencanaan program/kegiatan dan anggaran, untuk meningkatkan efektivitas, efisiensi dan akuntabilitas pelaksanaannya. Di sisi lain, Pemprov NTB perlu menguatkan koordinasi dan kolaborasi dalam penanganan kemiskinan di daerah. Dengan memastikan keterlibatan masyarakat sipil dan pihak swasta secara aktif, partisipatif, setara dan inklusif.

Baca Juga: Cekcok Antarpelajar di Mataram, Tiga Keluarga Kena Tusukan Pisau 

Topik:

  • Linggauni

Berita Terkini Lainnya