Kisah Hiba, 15 Tahun di Pengungsian Ahmadiyah karena Rumah Dibakar

Besar di Transito, lewati masa sulit hingga lulus kuliah

Mataram, IDN Times - Pengungsi Ahmadiyah di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) masih bertahan hingga saat ini. Meski banyak yang sudah kembali ke kampung halamannya, namun tidak sedikit pula yang masih bertahan. Salah satunya adalah Hibatunnur (22). Dia masih bertahan di lokasi pengungsian Transito di Lingkungan Monjok Kelurahan Pejanggik Kecamatan Mataram, Kota Mataram. 

Hiba adalah salah satu korban insiden kerusuhan jemaah Ahmadiyah asal Lombok Timur tahun 2002 silam. Saat itu dia masih kecil dan turut mengungsi bersama orang tuanya.

Dia bahkan mengalami dua kali insiden yang melibatkan jemaah Ahamdiyah. Insiden pertama terjadi di Lombok Timur dan insiden kedua terjadi di Kabupaten Lombok Barat. Saat ini, pengungsian Transito menjadi tempat paling aman bagi dirinya dan pengungsi Ahmadiyah lainnya.

1. Rumah Hiba sudah dua kali hancur

Kisah Hiba, 15 Tahun di Pengungsian Ahmadiyah karena Rumah DibakarKisah remaja Ahmadiyah di Mataram IDN Times/Ahmad Viqi

Usia Hiba saat insiden mengerikan tahun 2002 di Lombok Timur baru beranjak 3 tahun. Rumah yang dia tempati bersama tiga saudara dan kedua orang tuanya itu dibakar oleh beberapa oknum. Diketahui bahwa beberapa oknum tidak menginginkan keberadaan jemaah Ahmadiyah di lingkungan mereka. Sehingga mereka diusir dan rumah mereka dibakar.

"Waktu itu saya belum paham kenapa rumah kami dibakar," kata Hiba bertutur, Rabu (15/12/2021).

Sebelum insiden mengerikan itu, kata Hiba, dia bersama kelima anggota keluarganya telah diungsikan ke kantor Kepolisian Resort Lombok Timur untuk menghindari korban jiwa. Ketika itu polisi telah mengevakuasi seluruh jemaah Ahmadiyah.

"Jadi sudah di kantor polisi. Saya juga tidak begitu ingat kejadian waktu itu," tutur Hiba.

Setelah insiden tersebut, bersama kelima anggota keluarganya ia mengungsi di Transito Kota Mataram. "Jadi kami merasa amanlah waktu itu di Mataram," katanya.

2. Pindah ke Lombok Barat

Kisah Hiba, 15 Tahun di Pengungsian Ahmadiyah karena Rumah DibakarAnak-anak Ahmadiyah di Mataram IDN Times/Ahmad Viqi

Setelah berangsur membaik, Hiba pun memilih keluar dari pengungsian Transito Kota Mataram dan pindah menuju perumahan Jemaah Ahmadiyah di Lingkungan Ketapang Desa Kekeri Kecamatan Gunungsari Kabupaten Lombok Barat. Hiba merasakan kedamaian pada tempat barunya itu hanya sampai tahun ketiga saja.

Tidak lama kemudian muncul isu tentang jemaah Ahmadiyah yang dianggap sesat. Padahal, Hiba dan keluarganya baru tiga tahun menempati rumah barunya itu. Keluarganya terpaksa menjual tanah di Lombok Timur untuk kemudian membeli rumah di kawasan Lombok Barat.

"Tahun 2002 itu memang keluar dari Transito pindah ke Ketapang," kata Hiba.

Setelah insiden 2002 dia memang sempat tinggal di sebuah indekos. Setalah itu Hiba bersama keluarga pindah menuju Ketapang. 

"Tahun 2006 itu kembali ada insiden pelemparan di Ketapang," kata Hiba.

Usianya saat itu baru beranjak tujuh tahun. Dia tak lupa memori kelam kasus pelemparan yang meratakan rumahnya itu. Rasa takut dan trauma menyelimuti Hiba hingga saat ini. Dia masih khawatir apakah dirinya dapat diterima di lingkungan barunya.

"Lagi-lagi kasusnya mirip seperti di Lombok Timur," ujar Hiba.

Hiba mulai paham dengan kondisi yang dia alami tahun 2006. Insiden itu terjadi saat dia bermain. Dia kemudian mendapat informasi bahwa akan ada orang yang akan merusak kampung jemaah Ahmadiyah.

"Saya lari ke sawah waktu itu. Saya bahkan melihat langsung peristiwa pengerusakan itu di depan mata saya," ujarnya.

Baca Juga: 4.077 Kamar Hotel di Kota Mataram Siap Sambut Tamu MotoGP 2022

3. Kembali mengungsi di Transito

Kisah Hiba, 15 Tahun di Pengungsian Ahmadiyah karena Rumah DibakarAnak-anak Ahmadiyah di Mataram IDN Times/Ahmad Viqi

Kasus pengerusakan rumah jemaah Ahmadiyah itu terjadi sekitar bulan Februari tahun 2006. Hiba bersama keluarganya kembali mengungsi ke Transito. Mereka merasa lebih aman setelah kembali ke Transito.

"Sampai sekarang kan tinggal di Transito," ujarnya.

Setelah kejadian tahun 2006 itu, Hiba tak lagi melihat insiden pengerusakan rumah jemaah Ahmadiyah saat berada di Transito. Dia pun mulai kehidupan baru di pengungsian Transito Kota Mataram. 

Pada usia 7 tahun, Hiba mulai belajar aktif di SDN 42 Kota Mataram yang tak jauh dari lokasi pengungsian Transito. Ketika masuk sekolah dasar, Hiba juga kerap didiskriminasi dari kawannya. Hal itu membuatnya kesulitan memiliki teman bermain di luar jemaah Ahmadiyah.

"Tapi saya enggak tahu kenapa mereka membenci kami waktu itu," ujar Hiba. 

Setelah masuk sekolah menengah pertama di SMPN 15 Kota Mataram, teman-teman Hiba mulai menerima perbedaan yang diyakininya. Dia mulai mendapatkan teman bermain di sekolah itu.

"Pernah sih (didiskriminasi). Cuma enggak separah waktu SD dulu," jelas Hiba. 

Kehidupan Hiba pun terus berlanjut di Pengungsian Transito Kota Mataram. Setelah lulus dari SMPN 15 Mataram, Hiba pun mendapat beasiswa untuk melanjutkan sekolah di SMA Arif Rahman Hakim di Kota Tangerang Jakarta. 

Hiba sengaja memilih SMA di Tangerang dengan alasan milik jemaah Ahmadiyah pusat. Dia tinggal di kampung jemaah Ahmadiyah di sana. 

Usai lulus SMA pada tahun 2017 silam, Hiba kemudian kembali ke Transito untuk menjalankan pendidikan S1 di Universitas Negeri Mataram (Unram). Memilih masuk Unram, karena tidak ingin jauh dari kedua orang tuanya.

Kedua orangtuanya bekerja sebagai petani di lahan warga dan orang tuanya membutuhkan bantuan dirinya. Dia pun dengan senang hati ketika lulus murni di Fakultas Pertanian Program Studi Agroteknologi lewat jalur SBMPTN.

"Saya senang lulus. Apalagi dapat pembayaran UKT itu grade 1. Kan murah itu bayar SPP-nya cuma Rp500 ribu," ujar Hiba.

Baca Juga: Rp42 Ribu Per Kilogram, Harga Cabai di Mataram Kian "Pedas" 

4. Cita-cita menjadi petani milenial

Kisah Hiba, 15 Tahun di Pengungsian Ahmadiyah karena Rumah DibakarPetani Cabai. (ANTARA FOTO/Basri Marzuki)

Selama empat tahun duduk di bangku kuliah, Hiba pun merasa harus meneruskan jejak kedua orang tuanya yang melakoni kehidupan sebagai seorang petani. Kedua orang tua Hiba tekun bertani demi biaya sekolahnya. Orang tuanya mampu membiayai sekolah Hiba dari hasil bercocok tanam sayur mayur di lahan warga.

Orang tua Hiba menjual lahan di Ketapang dan menyewa lahan milik warga di Desa Kekeri Kecamatan Gunungsari. Lahan seluas 200 meter persegi itu ditanani beragam tanaman sayur.

"Ibu saya jual ke pasar. Bapak yang tanam di Ketapang dekat bekas rumah yang dirusak dulu," ujarnya.

Setelah lulus dari Fakultas Pertanian, Hiba ingin meneruskan usaha kedua orang tuanya. Namun kendala yang harus dihadapi Hiba kesulitan membangun bisnis pertanian di Transito.

"Kesulitan menanam tanaman pertanian. Lahan di sini kan sempit. Jadi enggak bisa," katanya.

Dia ingin menjadi petani milenial. Namun dia tidak memiliki lahan yang dapat digarap. Sehingga dia berusaha untuk mencari modal agar bisa membeli lahan dan meneruskan cita-citanya menjadi petani milenial di era modern.

"Kami kan kesulitan akses untuk kembali hidup normal," ujar Perempuan kelahiran 7 September tahun 1999 ini.

Selama ini, akses pendidikan, data kependudukan, layanan kesehatan sudah mulai Hiba nikmati. Hanya tempat tinggal layak yang belum bisa dia rasakan. Dia ingin tinggal secara bebas di luar transito. Namun dia dan keluarganya masih trauma dan belum bisa mewujudkan hal itu.

"Kami minta itu sih ke Pemerintah. Kita bisa tinggal bebas seperti orang pada umumnya. Jadi kan bisa bertani nanti," katanya.

Cita-cita untuk menjadi petani milenial pun Hiba kubur dalam-dalam. Karena keterbatasan modal dan lahan. Akhirnya dia berusaha mencari pekerjaan di perusahaan yang ada di Kota Mataram.

"Saya coba melamar pekerjaan di berbagai perusahaan di Kota Mataram. Ini sudah empat kali ngelamar belum dipanggil," cetus Hiba.

5. Menerima perbedaan

Kisah Hiba, 15 Tahun di Pengungsian Ahmadiyah karena Rumah Dibakargoogle

Semakin dewasa, perbedaan itu mulai dirasakan lebih melebur. Bahkan, kata Hiba, selama duduk di bangku kuliah, dia tidak pernah mendapat perlakuan diskriminatif dari rekan-rekannya. 

"Semakin ke sini sepertinya semakin bagus sih. Karena saya kira tidak mungkin bisa seragam, pasti ada perbedaan, walaupun misalkan saya Ahmadiyah, saya tidak mempermasalahkan keyakinan orang," katanya. 

Setelah lulus bulan Oktober 2021, untuk mengisi waktu senggang, Hiba bersama 10 rekan pemuda jemaah Ahmadiyah mulai aktif memberikan pengajian di pengungsian Transito Kota Mataram.

"Selama tidak bekerja, hari Senin sampai hari Kamis, ngajar di Transito, ngajar anak PAUD sampai SD jadi guru ngaji," tuturnya.

Ilmu yang ia dapat dari bangku kuliah harus bisa memberi manfaat bagi anak-anak di pengungsian Transito. Dia ingin anak-anak di Transito juga bisa mendapatkan pendidikan yang tinggi seperti dirinya.

"Paginya bantu ibu, sorenya ajarkan Al-Quran ke adik-adik. Ada yang ngajar sejarah islam Bahasa Inggris, dan pelajaran tentang lingkungan," kata Hiba.

Selama mengajar di Transito bersama 10 remaja lainnya, Hiba mendapat dana insentif dari jamaah Ahmadiyah pusat di Tangerang. Meski tak seberapa, namun dia merasa senang bisa membagikan ilmunya itu kepada anak-anak Transito.

"Iya sebulan itu dapatlah Rp 200 ribu," katanya. 

Kini Hiba telah menjadi orang penting bagi anak-anak di pengungsian Transito Kota Mataram. Namun Hiba selalu berharap memiliki rumah pribadi yang lebih nyaman. Dia juga bisa berkreasi lebih banyak jika memiliki tempat tinggal yang layak.

"Tidak seperti di Transito, kamar terbatas," ujar dia.

Hiba juga berpesan kepada warga lainnya untuk tidak membenci jemaah Ahmadiyah. Sama seperti jemaah Ahmadiyah yang tidak mempermasalahkan keyakinan siapapun, dia berharap semua orang dapat menghargai apa yang mereka yakini. Dia juga tidak pernah memaksa siapapun untuk mengikuti atau memercayai keyakinannya itu.

"Kita mau hidup aman diterima di tengah masyarakat. Pastinya hak untuk bebas hidup itu sama. Kami ingin tinggal berdampingan dengan masyarakat umum lainnya," pungkas Hiba.

Baca Juga: Wow! Mataram jadi Kota Terbaik dalam Pencegahan Korupsi di Indonesia

Topik:

  • Linggauni

Berita Terkini Lainnya