Menilik Tantangan Kesehatan Mental pada Pengurus Tempat Ibadah

- Pengurus tempat ibadah memikul beban emosional dalam melayani umat
- Tekanan sosial dan harapan tinggi menimbulkan konflik internal serta memengaruhi kesehatan mental pengurus tempat ibadah
- Keterbatasan dukungan psikososial dan dampak burnout terhadap pelayanan ibadah membuat pentingnya upaya menjaga kesehatan mental
Pengurus tempat ibadah seringkali dianggap sosok yang kuat secara spiritual, penuh kesabaran, dan selalu siap membantu umat. Namun, di balik peran mulia tersebut, mereka menyimpan beban emosional yang tidak sedikit. Mengurus berbagai aktivitas keagamaan, menghadapi persoalan jemaat, hingga tuntutan administratif, membuat pengurus tempat ibadah rawan mengalami kelelahan mental.
Sayangnya, isu kesehatan mental pada pengurus tempat ibadah masih jarang dibicarakan secara terbuka. Padahal, kondisi kesehatan mental mereka sangat memengaruhi kualitas pelayanan spiritual dan sosial di lingkungan tempat ibadah. Ketika pengurus mengalami stres atau burnout, bukan hanya diri mereka yang terdampak, tetapi juga umat yang mereka layani.
Berikut ulasan tentang tantangan kesehatan mental pada pengurus tempat ibadah, faktor penyebabnya, serta upaya yang bisa dilakukan untuk menjaga kesejahteraan psikologis mereka.
1. Beban emosional dalam melayani umat

Menjadi pengurus tempat ibadah bukan sekadar mengurus administrasi atau kegiatan ibadah, melainkan juga menjadi tempat curhat dan penyalur keluh kesah jemaat. Banyak umat datang dengan masalah rumah tangga, keuangan, bahkan persoalan pribadi yang berat. Pengurus sering diminta memberi nasihat, mendamaikan konflik, atau sekadar menjadi pendengar yang baik, kata Sutanto dalam jurnalnya yang berjudul Kesehatan Mental di Lingkungan Keagamaan: Studi Kasus Pengurus Gereja dan Masjid.
Namun, mendengarkan kisah-kisah sedih atau masalah berat secara terus-menerus dapat menyebabkan compassion fatigue, yaitu kelelahan emosional akibat terlalu banyak berempati pada masalah orang lain. Jika tidak diantisipasi, kondisi ini bisa memicu stres, kecemasan, atau bahkan depresi pada pengurus tempat ibadah.
2. Tekanan sosial dan harapan tinggi

Pengurus tempat ibadah kerap ditempatkan di posisi yang serba salah. Mereka diharapkan menjadi teladan moral, selalu sabar, tidak boleh marah, dan mampu memecahkan berbagai masalah. Ekspektasi ini menimbulkan tekanan sosial yang besar. Setiap tindakan mereka selalu berada di bawah sorotan umat, bahkan dalam kehidupan pribadi, ungkap Hidayah dalam Jurnal Psikologi dan Agama.
Tekanan ini semakin berat ketika muncul perbedaan pendapat dalam pengelolaan tempat ibadah. Konflik internal, baik antar-pengurus maupun dengan jemaat, sering terjadi. Karena merasa harus menjaga citra tempat ibadah, pengurus terkadang memilih memendam masalah, yang pada akhirnya berdampak pada kesehatan mental mereka.
3. Keterbatasan dukungan psikososial

Meskipun menjadi sosok yang selalu siap mendengar keluh kesah jemaat, pengurus tempat ibadah sendiri sering tidak memiliki tempat untuk mencurahkan isi hati. Budaya malu atau tabu membicarakan kesehatan mental di lingkungan keagamaan membuat mereka enggan mencari bantuan. Ada ketakutan dianggap kurang beriman atau tidak mampu menjalankan peran spiritual.
Padahal, setiap orang berpotensi mengalami tekanan mental, termasuk pengurus tempat ibadah. Ketiadaan dukungan psikososial yang memadai membuat pengurus cenderung memendam masalah hingga menumpuk menjadi beban psikologis yang berat. Inilah yang sering memicu gangguan kesehatan mental seperti burnout atau depresi.
4. Dampak burnout terhadap pelayanan ibadah

Burnout di kalangan pengurus tempat ibadah tidak hanya berdampak pada kesehatan pribadi, tetapi juga pada kualitas pelayanan ibadah. Pengurus yang mengalami stres berlebihan bisa kehilangan semangat, menjadi mudah marah, atau tidak lagi sabar melayani umat. Hal ini berpotensi menurunkan kualitas pelayanan spiritual, bahkan memicu konflik dengan jemaat, kata Nugroho dan Lestari dalam jurnalnya yang berjudul Compassion Fatigue pada Tokoh Agama dan Pengurus Tempat Ibadah.
Selain itu, burnout dapat memengaruhi pengambilan keputusan penting di lingkungan tempat ibadah. Keputusan yang diambil dalam kondisi emosional yang tidak stabil seringkali tidak tepat, bahkan dapat memperkeruh suasana. Oleh karena itu, menjaga kesehatan mental pengurus bukan hanya penting bagi mereka pribadi, tetapi juga demi keberlangsungan pelayanan yang baik kepada umat.
5. Upaya menjaga kesehatan mental pengurus tempat ibadah

Untuk mencegah burnout, penting bagi pengurus tempat ibadah memiliki waktu istirahat yang cukup dan tidak memaksakan diri menangani semua masalah umat seorang diri. Pelatihan manajemen stres atau pendampingan psikologis perlu diberikan sebagai bagian dari pembinaan pengurus. Kegiatan retreat atau rekoleksi khusus untuk pengurus juga terbukti membantu memulihkan kondisi mental mereka.
Selain itu, umat pun memiliki peran penting. Memberi penghargaan, empati, dan dukungan sosial kepada pengurus dapat menjadi modal besar dalam menjaga kesehatan mental mereka. Lingkungan tempat ibadah sebaiknya mulai membuka ruang diskusi tentang kesehatan mental, agar stigma perlahan hilang dan para pengurus merasa aman untuk mencari bantuan ketika diperlukan.
Itulah ulasan tentang tantangan kesehatan mental pada pengurus tempat ibadah, faktor penyebabnya, serta upaya yang bisa dilakukan untuk menjaga kesejahteraan psikologis mereka.