Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Mengenal Cherophobia, Takut untuk Bahagia dan Terluka Kembali

Wanita sedih.
Ilustrasi Cherophobia, Takut untuk Bahagia dan Terluka Kembali. (pexels.com/RDNE Stock project)

Kebahagiaan adalah sesuatu yang hampir semua orang cari. Namun, bagi sebagian orang, kebahagiaan justru terasa menakutkan. Ada perasaan ganjil yang muncul ketika hal-hal berjalan terlalu baik, seolah sesuatu yang buruk pasti akan datang setelahnya. Rasa takut itu dikenal sebagai cherophobia, ketakutan terhadap kebahagiaan.

Bukan karena seseorang tidak ingin bahagia, tetapi karena dalam pikirannya, kebahagiaan sering berujung pada kekecewaan, kehilangan, atau luka yang pernah dirasakan di masa lalu. Cherophobia sering kali tumbuh dari pengalaman emosional yang dalam.

Mungkin seseorang pernah bahagia, lalu kehilangan segalanya secara tiba-tiba. Mungkin pula ia pernah tertawa lepas, lalu di saat berikutnya, dikhianati oleh kenyataan. Akibatnya, kebahagiaan tak lagi terasa aman, ia berubah menjadi sesuatu yang harus dihindari.

Berikut pembahasan cherophobia, bagaimana ia tumbuh, bagaimana ia memengaruhi cara kita hidup, dan bagaimana kita bisa perlahan berdamai dengan kebahagiaan itu sendiri.

1. Ketika bahagia terasa seperti ancaman

Wanita takut telanjang.
Ilustrasi Gymnophobia, Rasa Takut dan Malu Melihat Diri Telanjang. (pexels.com/cottonbro studio)

Bagi seseorang dengan cherophobia, kebahagiaan bukanlah tempat yang menenangkan, melainkan pintu menuju potensi penderitaan. Setiap kali sesuatu berjalan baik, muncul bisikan halus di pikiran, “Jangan terlalu senang, nanti pasti ada yang salah.” Otak mencoba melindungi diri dengan membatasi rasa senang agar tidak terlalu tinggi, karena ketakutan bahwa semakin tinggi kita terbang, semakin sakit pula jatuhnya. Maka, mereka belajar untuk menahan diri, tidak terlalu gembira, tidak terlalu berharap, tidak terlalu mencintai.

Namun, di balik pertahanan itu sebenarnya ada luka yang belum sembuh. Cherophobia sering kali merupakan bentuk mekanisme bertahan, cara tubuh dan pikiran menghindari rasa sakit yang dulu pernah begitu menyakitkan. Mereka bukan tidak ingin bahagia, mereka hanya takut mengulang tragedi. Tapi, jika kita terus menghindari kebahagiaan karena takut kehilangan, bukankah itu sama saja seperti menolak hidup itu sendiri?

2. Akar luka di balik ketakutan

Wanita sedih.
Ilustrasi Cherophobia, Takut untuk Bahagia dan Terluka Kembali. (pexels.com/RDNE Stock project)

Setiap ketakutan memiliki cerita. Dalam kasus cherophobia, cerita itu sering kali berakar pada pengalaman traumatis atau kehilangan mendalam. Seseorang mungkin pernah memiliki masa di mana semuanya terasa sempurna, lalu tiba-tiba runtuh tanpa peringatan. Luka itu meninggalkan pesan diam-diam di dalam diri: kebahagiaan adalah jebakan. Maka, tanpa sadar, seseorang mulai menjaga jarak dari apa pun yang berpotensi membuatnya merasa terlalu senang.

Sayangnya, luka yang tidak dihadapi justru memperkuat ketakutan. Dengan menolak bahagia, kita memang menghindari risiko terluka, tapi kita juga menutup pintu bagi pemulihan. Padahal, kebahagiaan bukan musuh; ia adalah bagian dari keseimbangan hidup. Menerima kebahagiaan bukan berarti lupa pada masa lalu, tapi belajar untuk tidak terus hidup di dalamnya. Luka masa lalu tidak bisa dihapus, tapi kita bisa belajar menatapnya tanpa takut, dan memberi diri kesempatan untuk sembuh melalui momen-momen kecil yang hangat.

3. Belajar memercayai kebahagiaan lagi

Sepasang kekasih sedang berjalan bersama.
Ilustrasi Pesan Cinta Sapardi Djoko Damono, Sederhana tapi Abadi. (pexels.com/Katerina Holmes)

Mungkin yang paling sulit dari cherophobia adalah percaya, percaya bahwa kebahagiaan bisa hadir tanpa ancaman, bahwa tidak semua yang baik akan berakhir buruk. Kepercayaan ini tidak tumbuh seketika. Ia butuh waktu, ruang, dan kesabaran. Dimulai dari hal kecil: menikmati secangkir kopi tanpa merasa bersalah, tersenyum pada orang lain tanpa curiga, atau membiarkan diri tertawa tanpa berpikir sesuatu akan salah setelahnya.

Belajar mempercayai kebahagiaan juga berarti memberi ruang bagi diri untuk mengalami perasaan secara utuh. Tidak semua rasa bahagia harus diukur atau diawasi. Kadang, kebahagiaan yang paling tulus datang dari momen sederhana, dari kehadiran, dari penerimaan, dari rasa syukur akan hal-hal kecil yang berjalan baik hari ini. Perlahan, kita akan menyadari bahwa kebahagiaan bukan sesuatu yang mengancam, tapi sesuatu yang memberi kekuatan untuk bertahan.

4. Menerima bahwa hidup adalah campuran cahaya dan luka

Seorang wanita sedang di ladang bunga.
Ilustrasi Tanda Kamu Sudah Mengatur Prioritas Hidup dengan Tepat. (pexels.com/Karina Rymarchuk)

Tidak ada kebahagiaan yang sepenuhnya bebas dari risiko, sama seperti tidak ada kesedihan yang berlangsung selamanya. Hidup adalah percampuran keduanya. Dan justru di antara percampuran itulah kita belajar menjadi manusia, belajar mencintai meski bisa terluka, belajar tertawa meski pernah menangis. Mungkin, inilah cara semesta mengajarkan keseimbangan: bahwa kebahagiaan sejati bukan berarti tanpa kesedihan, melainkan kemampuan untuk tetap membuka hati meski tahu hidup tidak selalu mulus.

Cherophobia perlahan bisa dilepaskan, bukan dengan memaksa diri untuk bahagia, tapi dengan menerima bahwa bahagia dan sedih adalah bagian dari perjalanan yang sama. Biarkan diri merasakan keduanya tanpa penolakan. Karena pada akhirnya, keberanian terbesar bukanlah menolak rasa sakit, tapi memilih untuk tetap hidup sepenuhnya, termasuk menikmati kebahagiaan, sekecil apa pun bentuknya.

Itulah pembahasan cherophobia, yaitu ketakutan untuk bahagia dan terluka kembali.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Linggauni -
EditorLinggauni -
Follow Us

Latest Life NTB

See More

5 Cara Memulihkan Diri Kamu saat Mengalami Kelelahan Mental

16 Nov 2025, 14:00 WIBLife