TKW NTB korban TPPO di Libya tiba di Pendopo Gubernur NTB, Senin (3/7/2023). (IDN Times/Muhammad Nasir)
Sementara itu, lanjut Aryadi, Pemprov NTB juga membentuk Satgas Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PMI) sesuai amanat UU No. 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan PMI. Prosedur penempatan TKI atau PMI ke luar negeri diatur secara jelas dalam UU No. 18 Tahun 2017.
"Ketika dia melanggar, kita tindak dengan UU No. 18 Tahun 2017. Di situlah tugas kami memberikan edukasi dan kesaksian kepada aparat penegak hukum sehingga duduk perkaranya jadi jelas. Biasanya memang TPPO ini sangat berat pembuktiannya. Sehingga setiap kasus TPPO pasti digandengkan dengan UU Perlindungan PMI," terang Aryadi.
Sejak 2017 - 2022, tercatat sebanyak 537.497 TKI asal NTB yang bekerja di 108 negara penempatan dengan berbagai sektor pekerjaan di luar negeri. Dimana, sekitar 80 persen dari jumlah tersebut bekerja di sektor ladang sawit di Malaysia. Dari data Badan Pusat Statistik (BPS) per Agustus 2022, angkatan kerja di Provinsi NTB sebanyak 2,87 juta orang. Artinya 18 persen angkatan kerja di NTB adalah TKI.
Ia menjelaskan jumlah tren kasus TKI ilegal mengalami penurunan, tetapi masih banyak warga yang belum paham tentang informasi pasar kerja luar negeri. Sehingga masih ada yang berangkat secara non prosedural. Oleh karena itu, Disnakertrans beserta stakeholders terkait perlu duduk bersama untuk mengidentifikasi penyebab TKI non prosedural agar dapat ditentukan solusi yang tepat.
Mantan Kepala Diskominfotik NTB ini menyebutkan setidaknya ada 5 penyebab warga NTB menjadi TKI ilegal atau non prosedural. Pertama, warga NTB yang menjadi TKI ilegal kebanyakan adalah pekerja non skill dengan pendidikan SMP ke bawah dengan pekerjaan yang dilirik adalah Asisten Rumah Tangga atau pekerjaan di sector domestik.
Oleh karena itu, pemerintah gencar memberikan pelatihan gratis untuk meningkatkan skill dan kompetensi agar TKI memiliki value sehingga semakin diperhitungkan ketika bekerja ke luar negeri.
"Saat ini pemerintah juga memberikan perhatian lebih pada pengiriman tenaga kerja yang memiliki skill ke luar negeri seperti ke Jepang, Korea, Hongkong, Taiwan, danblain-lain," ucap Aryadi.
Kedua, informasi dan pengetahuan masyarakat tentang prosedur kerja ke luar negeri masih sangat terbatas. Menurutnya, perlu ada kerja sama dengan berbagai pihak agar informasi yang benar bagaimana menjadi TKI prosedural bisa sampai ke warga.
Ketiga, warga seringkali terbuai dengan iming-iming para calo. Modus yang banyak ditemukan di lapangan adalah masyarakat direkrut oleh oknum yang mengatasnamakan diri sebagai petugas lapangan perusahaan. Padahal kantor pusat P3MI tersebut tidak tahu ada rekrutmen. Oknum petugas lapangan menjanjikan warga pekerjaan yang mudah di tempat yang enak dengan gaji besar.
Kemudian semua dokumen diurus oleh petugas lapangan, yang mana tentunya dokumennya ilegal atau palsu. Bahkan warga diberikan uang uang jalan agar lebih yakin untuk berangkat.
"Sampai di negara penempatan, karena gajinya sudah diambil mafia, jadi gajinya tidak dibayar oleh user. Bahkan seringkali mereka dieksploitasi disuruh bekerja keras melebihi jam kerja, dilecehkan dan disiksa," tutur Aryadi.
Keempat, ada juga warga yang modusnya berangkat secara prosedural tapi ketika masa kontrak habis, mereka memperpanjang secara non prosedural. Kelima, meski awalnya berangkat secara prosedural, tapi di negara penempatan TKI itu kabur dari perusahaannya sehingga menjadi ilegal. Sayangnya meski sudah tahu ada resiko seperti itu, warga seringkali abai dan tetap termakan buaian janji calo. Padahal apa yang dilakukan calo ini sudah termasuk TPPO.