Korupsi RSUD KLU, Prof Mudzakir: Hanya BPK yang Berhak Hitung Kerugian
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Mataram, IDN Times - Sidang lanjutan perkara dugaan korupsi proyek penambahan ruang operasi dan ICU Rumah Sakit Umum Daerah Lombok Utara di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi Mataram, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) dilakukan pada Senin (19/9/2022). Sidang ini menghadirkan saksi ahli Guru Besar Ilmu Hukum Pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Profesor Mudzakir.
Mudzakir dihadirkan untuk memberikan pandangan hukum dalam kapasitas sebagai saksi yang meringankan untuk empat orang terdakwa kasus dugaan korupsi itu. Terdakwa adalah Sulaksono, Darsito, Samsul Hidayat, dan Bakri.
1. Lembaga yang berhak menghitung kerugian negara
Pada kesempatan itu, Mudzakir memaparkan pandangan hukum tentang lembaga negara yang berhak melakukan penghitungan kerugian dalam sebuah kasus pidana korupsi.
"Sesuai konstitusi, hanya BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) yang berhak melakukan audit kerugian negara. Lembaga lain, tidak bisa," kata Mudzakir di hadapan majelis hakim Pengadilan Tipikor yang dipimpin Sri Sulastri seperti dilansir dari Antara pada Selasa (20/9/2022).
2. Dasar hukum
Dasar BPK melakukan audit kerugian negara, lanjut Mudzakir, telah tercantum dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan.
"Dari tiga aturan itu sudah jelas dasar hukum BPK melaksanakan audit kerugian negara," ujarnya.
Baca Juga: Terlibat Kasus Narkoba, Dua Anggota Polisi di Dompu Kini Nonaktif
3. Hasil penghitungan Inspektorat dan BPK berbeda
Dalam kasus dugaan korupsi proyek RSUD Lombok Utara, jaksa menggandeng Inspektorat NTB sebagai pihak yang melakukan audit kerugian negara. Hasil audit aparat pengawas internal pemerintah (APIP) tersebut menemukan kerugian negara sekitar Rp1,75 miliar.
Jumlah ini jauh lebih besar dibanding temuan kerugian awal hasil audit rutin BPK sebesar Rp212 juta dari total anggaran proyek senilai Rp6,4 miliar pada APBD 2019.
4. Hasil audit di luar BPK
Mengenai langkah jaksa menggunakan hasil audit Inspektorat NTB sebagai kelengkapan alat bukti kasus, Mudzakir mengatakan hal tersebut sebagai sebuah inkonstitusional atau bertentangan dengan konstitusi.
Meskipun demikian, Mudzakir menambahkan belum ada konsekuensi hukum terkait upaya jaksa atau penyidik menggandeng ahli audit di luar BPK.
"Jadi, sejauh ini sah-sah saja. Sepanjang itu menjadi kepentingan internal," ucap Guru Besar UII.
5. Harus rekomendasi BPK
Mudzakir juga menjelaskan bahwa lembaga di luar BPK boleh melakukan audit kerugian negara, tetapi syaratnya harus ada rekomendasi dari BPK.
"Artinya, institusi lain sudah mendapatkan tugas dari BPK langsung untuk melakukan audit," tambahnya.
Selanjutnya mengenai metode penghitungan kerugian negara, ia mengatakan bahwa total loss dan potential loss sudah tidak berlaku lagi. Hal itu sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi.
"Pada inti substansinya, sistem itu melanggar kepastian hukum. Makanya metode perhitungan kerugian negara harus dilakukan dengan secara factual loss atau real loss. Artinya, kerugian negara itu harus nyata, tidak bisa menggunakan sistem kira-kira atau angan-angan," tegas Mudzakir.
Baca Juga: Cara Lain Promosi Wisata Melalui 'Open Golf Tournamen' di Lombok
IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.