Walhi Sebut 7.280 Pulau dalam Ancaman Krisis Iklim, Termasuk NTB 

Walhi desak pemerintah evaluasi proyek industri ekstraktif

Mataram, IDN Times - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Region Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Maluku Utara, dan Papua (Banusramapa) menyebutkan sebanyak 7.280 pulau terancam krisis iklim dan bencana. Dari 17.504 pulau di Indonesia, sebanyak 7.280 pulau berada di wilayah Banusramapa, salah satunya NTB.

Walhi Region Banusramapa melihat pembangunan infrastruktur, industrialisasi berbasis kawasan seperti industri pertambangan, industri kehutanan, perkebunan sawit monokultur, industri food estate dan industri pariwisata sangat berpotensi menurunkan daya dukung dan daya tampung lingkungan. Selain itu, menyingkirkan hak kuasa dan kelola masyarakat di wilayah pesisir laut dan pulau-pulau kecil di wilayah Banusramapa.

"Kebijakan yang dipenuhi oleh industri ekstraktif justru akan mempercepat bencana ekologi serta menciptakan pengungsi iklim akibat dari hilangnya tempat bermukim di pesisir dan pulau-pulau kecil," kata Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional Walhi Parid Ridwanudin dalam keterangan yang diterima, Senin (20/2/2023).

1. Benteng terakhir keanekaragaman hayati dan diversifikasi pangan lokal

Walhi Sebut 7.280 Pulau dalam Ancaman Krisis Iklim, Termasuk NTB Ilustrasi bendungan. Dok. Istimewa / WIjaya Karya (WIKA)

Parid Ridwanudin menjelaskan 7.280 pulau yang berada di wilayah Banusramapa, hidup beragam kebudayaan bahari yang menjadi ciri khas nusantara. Selain itu, wilayah Banusramapa adalah benteng terakhir keanekaragaman hayati dan diversifikasi pangan lokal Nusantara. 

Ironis, kebijakan pembangunan di Indonesia saat ini berkebalikan dengan prinsip kekayaan biodiversitas, serta kedaulatan dan keberlanjutan pangan masyarakat di Banusramapa yang memiliki ciri panjang wilayah pesisir serta pulau-pulau kecil. 

Itu di antara gegap gempita pembangunan yang digaungkan oleh Pemerintah adalah ekspansi proyek strategis nasional yang jumlah 210 proyek. Sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2022, yang bias pembangunan infrastruktur dan industrialisasi skala besar berbasis kawasan.

"Pada masa depan, orientasi pembangunan semacam ini akan mendorong hilangnya ruang kedaulatan rakyat, baik dalam tata kuasa maupun tata kelola kelola rakyat," katanya.

Baca Juga: Darurat  Mikroplastik, Ketika Sungai di NTB Dijadikan Tong Sampah 

2. 35 ribu keluarga nelayan terdampak proyek tambang

Walhi Sebut 7.280 Pulau dalam Ancaman Krisis Iklim, Termasuk NTB Nelayan di Pantai Mapak Indah Kota Mataram usai pulang melaut. (IDN Times/Muhammad Nasir)

Ia menyebutkan dari data Izin Usaha Pertambangan per November 2021, tercatat 2.919.870,93 hektare atau sebanyak 1.405 IUP di wilayah pesisir, dan 687.909,01 hektare atau 324 IUP di wilayah laut. Dengan persentase pertambangan timah 373.265,58 hektare (13%), batubara 446.215,40 hektare (14%), biji dan pasir besi 538.769,99 hektare (18%), nikel 568.169,85 hektare (20%), emas 583.161,86 Ha (20%), granit dan marmer 5.999,80 hektare (0,2%), gamping dan tanah liat 35.121,66 hektare (1%), mangan 37.599,88 hektare (1%), tembaga 80.489,39 hektare (3%), pasir dan batu 81.814,974 hektare (3%), lain-lain 169.262,54 hektare (6%).

Walhi mencatat sebanyak 35 ribu keluarga nelayan terdampak proyek tambang. Dalam jangka panjang, pemberian izin usaha pertambangan, mendorong penurunan jumlah nelayan yang sangat signifikan. Selain dampak pertambangan, proyek reklamasi di tahun 2019 dengan luasan 79.348 hektare telah mengakibatkan 747.363 orang nelayan kehilangan wilayah tambatan perahu dan wilayah tangkapan di pesisir laut.

Sementara total luasan reklamasi yang direncanakan sampai 2040 yang tertuang dalam 22 RZWP3K seluas 2.698.734,04 hektare. Selain itu, sektor pariwisata dan kawasan konservasi laut yang juga merupakan rangkaian proyek strategis nasional berkontribusi terhadap hilangnya wilayah tangkapan nelayan. 

Pemerintah menargetkan 32 juta hektar pada 2030 kawasan konservasi laut. Ada 88 KSPN sampai tahun 2025, mayoritas di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Serta ada ratusan Kawasan Pengembangan Pariwisata Nasional (KPPN) dan Kawasan Destinasi Pariwisata Nasional (KDPN).

Diungkapkan, sepanjang 2010 - 2019, telah terjadi penurunan jumlah nelayan. Pada tahun 2010 tercatat sebanyak 2,16 juta orang nelayan. Namun pada tahun 2019, jumlahnya tinggal 1,83 juta orang.  Dalam satu dekade terakhir, 330.000 orang nelayan di Indonesia telah berkurang. Penyebab utamanya diakibatkan oleh industri ekstraktif, seperti tambang pasir di laut yang merusak wilayah tangkap nelayan.

Dikatakan, kebijakan pembangunan di Indonesia belum memperlihatkan arah pada jalur yang tepat dalam upaya memenuhi target Perjanjian Paris untuk menjaga suhu bumi tidak melewati ambang batas 1,5 derajat celcius. Seperti yang disampaikan Presiden Indonesia dalam pidatonya di pertemuan COP 26 yang berlangsung di Glasgow.

Berdasarkan Laporan IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) Februari 2022, peningkatan suhu akan memaksa ikan berpindah dari wilayah tropis. Sehingga akan mengurangi pendapatan nelayan tradisional di Indonesia sebesar 24 persen.

Di mana, 95 persen akan mencapai kategori level ancaman tertinggi, berdampak pada perikanan yang bergantung dengan karang.  Di Asia Tenggara, 99 persen terumbu karang akan mengalami pemutihan dan mati dikarenakan krisis iklim pada tahun 2030.

Masyarakat yang berada di 3.658 desa pesisir di Banusramapa akan merasakan dampak dari kebijakan proyek strategis nasional. Terutama penggunaan energi fosil dalam pengembangan industri pertambangan di wilayah timur Indonesia yang semakin mempercepat laju degradasi lingkungan serta krisis iklim. Sehingga berdampak pada kerentanan pangan, ketidakpastian hasil tangkapan nelayan, hilangnya pulau-pulau kecil dan bencana ekologi.

"Walhi Region Banusramapa melihat rezim saat ini sepertinya melupakan bahwa Indonesia sangat rentan terhadap bencana alam karena dikelilingi oleh gunung berapi aktif yang tersebar di darat dan laut, 12 sesar aktif yang berpotensi terjadinya gempa dan tsunami," terangnya.

3. Meningkatnya risiko bencana di NTB

Walhi Sebut 7.280 Pulau dalam Ancaman Krisis Iklim, Termasuk NTB Direktur Eksekutif Walhi NTB Amri Nuryadin. (dok. IDN Times)

Direktur Eksekutif Walhi NTB, Amri Nuryadin bahwa NTB salah satu daerah yang menjadi lokus sejumlah pembangunan proyek strategis tersebut. Namun keberadaan proyek strategis nasional dan investasi sebagian besar jauh dari harapan akan mendatangkan berkah bagi rakyat NTB.

Sebaliknya, justru telah meninggalkan berbagai kerugian dan kerusakan alam di NTB, baik di kawasan hutan sampai dengan pesisir. Amri mengatakan sebagian besar pembangunan di NTB tidak memberikan kontribusi yang signifikan bagi kesejahteraan rakyat.

Tetapi justru berdampak serius hingga terjadinya kerusakan ekologi, perubahan bentang alam baik kawasan hutan maupun pesisir yang mengakibatkan meningkatnya risiko bencana di NTB.

Walhi NTB menyebutkan angka kemiskinan di NTB sekitar 13,83 persen dari jumlah penduduk yang mencapai 735,30 ribu jiwa. Salah satu investasi yang digadang dan menurut Pemerintah Provinsi NTB akan mendatangkan berkah bagi pariwisata di NTB adalah pembangunan kereta gantung di kawasan hutan Rinjani (RTK 1) dengan luas areal 500 hektar beserta pembangunan infstrukturnya dengan nilai investasi sebesar Rp2,2 triliun.

"Walhi NTB melihat pembangunan tersebut akan meningkatkan terjadinya laju kerusakan hutan di NTB dan hanya memberikan keuntungan bagi investor bukan menjadi solusi dari kesulitan ekonomi rakyat pasca pandemik COVID-19," katanya.

Selain laju kerusakan hutan di NTB yang begitu parah yakni hampir 60 persen dalam keadaan kritis, keterancaman kerusakan ekologi juga terjadi di pesisir pulau Lombok dan Sumbawa. Hal ini diduga kuat disebabkan oleh investasi skala besar dalam industri pariwisata yaitu KEK Mandalika di pesisir selatan Lombok Tengah seluas 1.250 hektare.

Kemudian investasi tambak udang yang merata berada di seluruh pesisir Pulau Lombok, investasi budidaya mutiara skala besar yang menyebabkan hilangnya sebagian besar ruang tangkap nelayan di pesisir Jerowaru Lombok Timur. Selain itu, rencana pembangunan Global Hub Bandar Kayangan di Kabupaten Lombok Utara seluas 7.030 hektare juga akan mengancam terjadinya kerusakan ekologi pesisir Lombok Utara.
Amri menyebut ada sejumlah pertambangan besar yang menguasai lahan dalam wilayah hutan dan pesisir. Antara lain PT. Aman Mineral Nusa Tenggara dengan luas 125.341,42 hektare di Kabupaten Sumbawa Barat dengan dampak seriusnya juga terjadi karena pembuangan limbah tailing ke pesisir pantai.

Kemudian industri tambang yang sedang memulai eksplorasinya yaitu PT. Sumbawa Timur Mining (STM) yang memegang izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) di Hu’u dompu dengan luas 19.260 hektare yang merupakan wilayah Kawasan hutan di Hu’u Dompu. Hal ini juga mengancam kerusakan di pesisir Pantai Lakey Dompu. Begitu juga proyek smelter yang saat ini tengah dibangun di Kabupaten Sumbawa Barat seluas 100 hektare yang mengancam pesisir di Benete-Maluk, Sumbawa Barat.

Keterancaman akan terjadinya kerusakan ekologi dan privatisasi pulau-pulau kecil juga sangat dikhawatirkan terjadi terhadap 403 pulau di NTB. Baik investasi pariwisata dan juga investasi skala besar lainnya. Adapun pulau-pulau kecil di NTB yaitu Lombok Barat sebanyak 126 pulau, Lombok Tengah 44 pulau, Lombok Timur 65 pulau, Kabupaten Sumbawa 23 pulau, Kabupaten Bima 23 pulau, Dompu 58 Pulau, Kabupaten Sumbawa Barat 19 pulau dan Lombok Utara 3 pulau.

Untuk itu, Walhi Region Banusramapa mengimbau kepada seluruh masyarakat sesegera mungkin memetakan dan mendokumentasikan semua wilayahnya sebelum hilang akibat dari bencana ekologi dan krisis iklim terutama wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Pemerintah juga didesak mengevaluasi dan menghentikan seluruh proyek industri ekstraktif di wilayah pesisir dan pulau kecil di kawasan timur Indonesia.

Selain itu, mendorong pemerintah menjamin pengakuan dan perlindungan wilayah kelola rakyat di wilayah pesisir pulau kecil serta segera menyusun skema penyelamatan kawasan dan masyarakat pesisir dari ancaman dampak buruk krisis iklim.

Baca Juga: Gawat! Sungai di Daerah Tercemar Mikroplastik, Pemda Ngapain Saja?

Topik:

  • Linggauni

Berita Terkini Lainnya