Pemerintah Targetkan Pengurangan Emisi Karbon 1.185 Juta Ton

KLHK harap NTB jadi contoh perangi perubahan iklim global

Mataram, IDN Times - Indonesia telah menyatakan komitmennya dalam upaya pengendalian krisis iklim global atau global climate crisis. Salah satu caranya dengan meratifikasi Paris Agreement melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement to The United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC).

Aturan ini membatasi kenaikan rata-rata suhu global di bawah 2 derajat celcius dari tingkat pre-industrialisasi. Selain itu juga membatasi kenaikan suhu hingga di bawah 1,5 derajat celcius selain menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) secara mandiri oleh masing-masing negara.

Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Hanif Faisol Nurofiq di Mataram, Selasa (22/8/2023) mengatakan para negara pihak (party) yang telah meratifikasi Perjanjian Paris wajib menyampaikan Nationally Determined Contributions (NDC) yang berisi target penurunan emisi GRK hingga tahun 2030 yang telah di-submit pada tahun 2017. Kemudian ditindaklanjuti dengan penyusunan Road Map NDC Mitigasi pada tahun 2019.

1. Target pengurangan emisi karbon sampai 41 persen di 2030

Pemerintah Targetkan Pengurangan Emisi Karbon 1.185 Juta TonDirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Hanif Faisol Nurofiq. (IDN Times/Muhammad Nasir)

Hanif mejelaskan berdasarkan dokumen NDC Indonesia menetapkan target pengurangan emisi karbon nasional sebesar 29 persen atau setara 834 juta ton CO2 dengan usaha sendiri. Targetnya sampai dengan 41 persen atau setara dengan 1.185 juta ton CO2 dengan dukungan internasional yang memadai pada tahun 2030.

Target NDC Indonesia sebesar 29 persen secara nasional dapat tercapai melalui penurunan emisi GRK sebesar 17,2 persen pada sektor kehutanan, 11 persen pada sektor energi, 0,32 persen pada sektor pertanian, 0,10 persen pada sektor industri, dan 0.38 persen pada sektor limbah.

"Sektor kehutanan dan lahan memberikan konstribusi penurunan emisi GRK hampir 60% dari total target penurunan emisi gas rumah kaca yang dikomitmenkan secara nasional," kata Hanif.

Hanif menambahkan untuk mendukung target net zero emission, Pemerintah melalui Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang ditetapkan secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional.

Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca didukung utamanya dengan pendekatan Indonesia’s Forestry and Other Land Use (FOLU) Net Sink 2030 yang telah ditetapkan melalui Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor: SK. 168/MENLHK/PKTL/ PLA.1/2022 tanggal 24 Februari 2022. Secara garis besar terdiri dari Rencana Operasional Indonesia’s FOLU Net Sink 2030 dan Tim Kerja Indonesia’s FOLU Net Sink 2030.

Baca Juga: Kampanyekan Caleg Perindo, Komisaris ITDC Dilaporkan ke Bawaslu NTB  

2. Rentan terhadap dampak perubahan iklim

Pemerintah Targetkan Pengurangan Emisi Karbon 1.185 Juta TonPetugas memadamkan kebakaran hutan di kawasan Gunung Rinjani di jalur pendakian Aik Berik Lombok Tengah. (dok. BTNGR)

Hanif menyatakan Indonesia merupakan negara yang rentan terhadap dampak perubahan iklim yang berdampak pada frekuensi bencana alam yang semakin tinggi. Sebagai negara agraris dan kepulauan, Indonesia sangat dirugikan oleh dampak perubahan iklim, terutama di saat pembangunan sosio-ekonomi untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan makmur.

"Saat ini kini kita sedang menghadapi fenomena El Nino 2023 berupa kemarau panjang hampir di seluruh wilayah Indonesia. Dampak yang potensial terjadi berupa kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) serta polusi asap. Ini menjadi tugas kita semua untuk dapat bersinergi untuk bergerak cepat untuk melakukan mitigasi dan aksi-aksi penanganan segala dampak yang ditimbulkan oleh El Nino," ujarnya.

Pada 2023, kata Hanif, implementasi Indonesia’s FOLU Net Sink 2030 dalam penyebarluasan informasi terhadap program Indonesia’s FOLU Net Sink 2030 di tingkat sub-nasional sampai di tingkat tapak dilakukan di 16 provinsi, termasuk NTB. 16 provinsi tersebut antara lain Papua, Bengkulu, Sulawesi Barat, Papua Barat, Maluku, Maluku Utara, Sulawesi Selatan, Bangka Belitung, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Gorontalo, Kepulauan Riau, Bali, NTB dan NTT.

"Kami berharap Provinsi NTB dapat menjadi contoh leading by example bagi provinsi lain maupun wilayah lain di dunia untuk memerangi permasalahan perubahan iklim global," harapnya.

Hanif mengatakan target pengurangan emisi karbon secara nasional sudah jelas. Nantinya akan disusun secara detail sampai ke tingkat tapak yang disesuaikan dengan kondisi lanskap masing - masing daerah.

"Paling tidak di kacamata kami, ada 7 rencana operasional untuk NTB. Rencana operasional secara total ada 12. Tetapi lanskapnya berbeda-beda. Untuk NTB, ada 7 rencana operasional yang harus kita bangun. Ini sesuai dengan kondisi di NTB," terang Hanif.

3. Kerusakan hutan jadi tantangan di NTB

Pemerintah Targetkan Pengurangan Emisi Karbon 1.185 Juta TonWakil Gubernur NTB Sitti Rohmi Djalilah. (dok. Diskominfotik NTB)

Berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor: SK.6598/MENLHK-PKTL/KUH/PLA.2/10/2021 tentang Peta Perkembangan Pengukuhan Kawasan Hutan Provinsi NTB, sampai dengan 2020 luas kawasan hutan adalah 1.067.477,03 hektare yang tersebar di 10 Kabupaten/Kota atau 54,25 persen. Luas tutupan lahan 43,99 persen dari total luas Provinsi NTB yaitu 1.967.589 hektare.

Dengan tingkat deforestasi pada tahun 2020 sampai 2021 seluas 212,5 hektare. Kondisi tersebut menjadi penopang utama dalam upaya pengendalian perubahan iklim dalam pencapaian target Enhanced NDC dan kontribusi untuk mencapai net zero emission.

Wakil Gubernur NTB Sitti Rohmi Djalilah mengatakan kerusakan hutan menjadi salah satu tantangan dalam upaya pengurangan emisi karbon. Untuk mencegah kerusakan hutan bukan tanggungjawab satu pihak saja, tetapi harus didukung semua elemen masyarakat.

"Masalah lingkungan ini tidak seperti membalik telapak tangan. Mengembalikan hutan yang sudah terlanjur dijadikan ladang jagung, tidak seperti kita membalikkan telapak tangan. Membabatnya cepat tapi kembalinya butuh waktu bertahun-tahun," katanya.

Untuk menangani kerusakan hutan di NTB, sejak 2018 sudah digagas program NTB Hijau yang bekerja sama dengan berbagai pihak termasuk KLHK. "Ke depan ini acuannya semakin jelas. Dengan adanya FOLU Net Sink 2030, semakin enak kita bekerja ke depan," ujarnya.

Sebelumnya, Kepala Dinas LHK NTB Julmansyah mengatakan Pemerintah Pusat memberikan target penurunan emisi karbon di Provinsi NTB sebesar 3 juta ton ekuivalen. KLHK menargetkan NTB harus bisa menahan laju deforestasi agar bisa menekan emisi sebanyak 2 juta ton ekuivalen, kemudian dari degradasi hutan sebesar 1 juta ton ekuivalen.

Julmansyah menyebutkan ada tiga sektor terbesar yang menyebabkan emisi karbon di NTB. Pertama, sektor energi yaitu masih banyaknya industri yang menggunakan batubara dan minyak bumi sebagai bahan bakar pembangkit listrik. Itulah yang menyebabkan karbondioksida.
Ke

dua, sektor kehutanan. Akibat pembalakan dan perambahan hutan sehingga melepaskan karbondioksida ke udara. Serta ketiga adalah pengelolaan sampah. Sampah menjadi salah satu penyumbang emisi terbesar di NTB karena melepaskan gas metan.

Baca Juga: Overpopulasi, Relawan Sebut Anjing Liar di Lombok Perlu Disterilisasi

Topik:

  • Linggauni

Berita Terkini Lainnya